Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa punya ‘misi agung’ menyelamatkan warga Suku Anak Dalam (SAD). Tapi apa perlu membuat mereka meninggalkan kepercayaan adatnya?
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]angis Menteri khofifah meledak tatkala menyaksikan anak-anak warga Suku Anak Dalam (SAD), Jambi menyambutnya dengan lagu “Indonesia Raya” dan “Indonesia Pusaka”. Rasa harunya itu silh berganti dengan kebanggaan saat menyaksikan anak-anak SAD mampu melafalkan Pancasila dengan baik.
Sudah dua tahun ini, Khofifah berkomitmen menarik warga SAD untuk menetap di sebuah perumahan. Tak hanya itu, ia beserta seperangkat kebijakan Kementerian Sosial, hendak memudahkan akses berbagai layanan pemerintah, seperti pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, kesempatan kerja, ketahanan pangan, hingga advokasi sosial, lingkungan hidup, dan pelayanan sosial.
Namun, ada yang mengganjal dari niat baik Khofifah dan Kementerian Sosial. Salah satu syarat mendapatkan segala pelayanan pemerintah itu, harus didahului dengan adanya KTP dan KK. Dalam lembaran surat tersebut, mereka harus memilih salah satu agama monoteis, seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan kata lain, warga SAD harus meninggalkan kepercayaan adat mereka.
Tak tangung-tanggung, prosesi perpindahan agama tersebut itu juga dibantu oleh Front Pembela Islam (FPI) serta ormas Islam lain, seperti Hidayatullah. Ustad Reyhan dari Ormas Hidayatullah mengatakan jika warga SAD tak punya tujuan hidup, sebab mereka tak mengenal ‘akhirat’. Khofifah juga mengeluarkan pernyataan yang kurang lebih senada, dengan memeluk Islam atau Kristen, warga SAD kini mengenal Tuhan.
Bukankah pandangan dan kebijakan Kementerian Sosial tersebut bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di awal November 2017 lalu? MK resmi memutuskan pemeluk agama kepercayaan bisa mencantumkan kepercayan mereka di kolom agama KTP dan KK. Lantas, mengapa diskriminasi kepada penganut aliran kepercayaan harus dilakukan kembali, terutama oleh lembaga pemerintah?
Lagu Sendu dari Hutan
Salah satu warga SAD sekaligus kepala Desa warga SAD yang sudah berganti agama, Yuguk alias Muhammad Yusuf, mengemukakan bahwa keputusannya berganti agama lebih kepada kebutuhan bertahan hidup. “Keputusannya saat itu sangat berat dan sulit, namun kami merasa tak punya pilihan jika kami ingin maju,” ujarnya kepada BBC sambil berbisik.
Mau bagaimana lagi? Lahan dan hutan tempat mereka tinggal sudah habis terbakar dan digantikan perkebunan sawit. Beberapa warga SAD yang tinggal di kawasan perkebunan sawit, bahkan harus menderita gatal-gatal akibat air yang tak lagi bersih.
Selain alam yang semakin tercemar, cerita Yusuf, kebakaran hutan yang terjadi dua tahun lalu juga telah melahap hutan dan kawasan gambut seluas 21.000 kilometer persegi, atau setara dengan 30 kali luas Singapura. Bahkan dalam beberapa kajian, deforestasi yang terjadi di Indonesia selama 20 tahun belakangan, merupakan yang tercepat di dunia.
Kebakaran hutan tersebut, mengakibatkan setengah juta warga, baik warga SAD maupun Sumatera dan sekitarnya, terkena dampak asap beracun dari kebakaran. Puluhan orang meninggal dunia akibat penyakit pernapasan.
Menghadapi hal tersebut, Yusuf dan sebagian besar sukunya kabur ke desa terdekat dan lainnya lari ke dalam hutan di taman nasional. Di desa tempat Yusuf berlindung inilah, ia dan keluarganya berhadapan dengan prosesi masuk agama Islam.
“Setelah beberapa lama, kami berniat mengirim anak-anak ke sekolah, tapi guru di sekolah ingin melihat akta kelahiran mereka. Sementara untuk memperoleh akta kelahiran harus ada akta perkawinan, dan untuk mendapat akta perkawinan harus memeluk agama yang diakui negara,” jelas Yusuf.
Setelah tempat tinggal ‘lenyap’, mereka pun terpaksa tinggal menetap. Kini, mereka juga harus disesaki dengan urusan birokratis nan pengap, yakni mengurus surat akta, hanya untuk mendapatkan hak dasar kesejahteraan hidup yang mestinya dipenuhi sesuai janji pemerintah.
Diskriminasi terhadap warga SAD tak berhenti di sana. Masyarakat Sumatera yang tinggal di sekitar mereka masih kerap memandang warga SAD sebagai orang terbelakang. Bahkan Butet Manurung, antropolog yang menghabiskan hidup bersama mereka selama bertahun-tahun mengatakan, jika warga SAD banyak dianggap sebagai manusia yang belum sempurna berevolusi.
“Masyarakat di Sumatera yang mayoritas Muslim menjuluki warga SAD, sebagai Kubu. Itu artinya mereka sangat kotor, mereka sampah, bahkan jangan dilihat karena terlalu jijik. Kubu juga bisa bermakna primitif, bodoh, bau busuk. Pada dasarnya belum menjadi manusia, evolusinya belum sempurna,” tutur Butet.
Padahal, sama seperti halnya Islam, Protestan, maupun Hindu, dan Budha, para pemegang kepercayaan adat memiliki konsep Ketuhanannya sendiri.
Melanggar HAM dan Keputusan MK
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menunjuk adanya indikasi pelanggaran HAM terhadap para pemeluk agama lokal atau aliran kepercayaan pada warga SAD. Komisioner Komnas HAM Sandra Monjaga berkata, pelanggaran yang terjadi tak hanya sekedar tak bisa beribadah sesuai kepercayaan mereka, tapi juga hak sipil dan politiknya.
Nada serupa juga ditunjukkan Mijak, salah satu warga SAD. Mijak merasa tak dihormati kebudayaan dan kepercayaannya dari kebijakan Khofifah tersebut. “Kami disebut orang nomaden, tanpa agama, tanpa budaya. Kami tidak dihormati. Agama kami, kepercayaan kami, tidak dihormati,” kata Mijak.
Padahal, jika hendak mengikuti logika para penganut agama selain kepercayaan adat, para warga SAD memiliki konsep Ketuhanannya sendiri. Seperti yang sempat disampaikan Ustadz Reyhan bahwa warga SAD tak mengenal akhirat, apakah pernyataannya itu benar?
Ngandung, Kepala Adat Orang Rimba Makekal Hulu menjelaskan konsep akhirat kepercayaan SAD. “Setelah meninggal dan ditaruh di pasoron (makam dalam konsep warga SAD), mereka akan menuju hentew (sebutan untuk alam tempat hidup setelah di bumi). Orang-orang yang semasa hdup berbuat baik, mereka akan ditempatkan di tempat terbaik di hentew. Sebaliknya, mereka yang semasa hidupnya jahat, akan ditempatkan di tempat yang buruk. Anak-anak yang masih suci, akan langsung menuju tempat di hentew,” jelasnya.
Tumenggung Celitai, salah satu rombongan warga SAD yang masih tinggal di lahan hutan yang tersisa, mengungkapkan pula konsep kepercayaan yang dianutnya. Ia percaya, hutan adalah tempat tinggal dewa-dewi yang mereka yakini.
Selain itu, bagi warga SAD, sungai adalah jalur perlintasan dewa. Konsep ini, membuat mereka tekun menjaga kelestarian hutan dan kebersihan sungai. Dewa-dewa yang mereka yakini tersebut, mereka anggap sebagai penghubung antara orang SAD dengan Tuhan yang mereka sebut sebagai “Tuhan Kuasa”.
Tak Perlu Diskriminasi
Niat Khofifah tentu tak sepenuhnya buruk. Menteri Sosial tersebut menyadari bahwa lahan dan hutan, tempat warga SAD tinggal dan berburu, semakin sempit dan terancam punah. “Tidak ada hutan bagi mereka untuk berburu. Sungai tempat mereka memancing dan minum sudah terpolusi dan begitu pula udaranya. Jadi kami memberikan mereka rumah, desa untuk hidup,” jelas Khofifah.
Dari pemikiran itu, Kementerian Sosial bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, berencana membangun sejumlah unit rumah untuk warga SAD. Mau bagaimana lagi, hal termudah yang dilakukan pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi warga SAD adalah program-program tersebut.
Bahkan Presiden Joko Widodo tahun lalu ikut meresmikan kawasan pemukiman dan lahan untuk warga SAD ini. Tak ketinggalan, ia juga bertemu dengan tetua suku warga SAD. Pertemuan ini, tercatat merupakan yang pertama kali dilakukan oleh seorang Presiden di Indonesia.
Namun dari apa yang dikatakan Khofifah, agama tak seharusnya menjadi bagian yang perlu dicampuri, bahkan diubah. Seperti yang sudah dipaparkan, warga SAD sudah memiliki konsep Ketuhanan yang menuntut keselarasan dengan alam. Menyebut warga SAD tak mengenal Tuhan, adalah sikap mendiskreditkan, jika tak mau dikatakan serampangan.
Jika pemerintah ‘tulus’ membantu warga SAD mendapatkan fasiltas dasar hidup, maka akui pula kepercayaan adat mereka, tanpa ‘pemaksaan’ untuk memilih salah satu dari 6 agama yang ada. Bagaimana tidak? Jika tak memilih, mereka tak berhak mendapat fasilitas yang sudah dijanjikan pemerintah.
Tentu bukan hal lucu, jika ketentuan yang sudah MK canangkan di tanggal 7 November lalu, mengenai pengakuan terhadap penghayat kepercayaan di kolom e-KTP dan KK, harus dilanggar oleh pemerintah sendiri. Dalam kasus ini, dilanggar oleh Khofifah sebagai pengambil keputusan di Kementerian Sosial. (Berbagai Sumber/A27)