Benarkah dikotomi sipil-militer telah menghilang?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erdebatan soal sipil-militer dalam kepemimpinan seolah tidak ada habisnya. Salah satu pihak kerap mengklaim diri sebagai pemimpin yang lebih baik. Masing-masing menganggap bahwa mereka memiliki keunggulan khusus dibandingkan pihak lawannya.
Dikotomi sipil-militer tersebut terkadang coba ditengahi dengan menggabungkan dua unsur saling berlawanan tersebut. Secara tradisional, banyak politisi yang berupaya membentuk pasangan sipil-militer dalam jalan mereka menuju kursi kepemimpinan. Tidak hanya mencoba mengatasi dikotomi, langkah ini juga dilakukan dalam rangka memaksimalkan perolehan suara.
Meski begitu, nyatanya tidak semua orang sepakat bahwa dikotomi sipil-militer itu masih ada. Partai Gerindra misalnya, mengganggap saat ini dikotomi tersebut tidak lagi relevan. Bagi partai berlogo Garuda, masyarakat saat ini sudah memprioritaskan hal lain seperti kepemimpinan, kredibilitas, dan rekam jejak ketimbang faktor latar belakang sipil atau militer.
Jika melihat sejarah panjang hubungan sipil-militer di negeri ini, apakah dikotomi tersebut sudah benar-benar hilang? Benarkah masyarakat tidak lagi sepenuhnya mempersoalkan latar belakang seperti itu? Ataukah Gerindra memiliki maksud lain dari pernyataan tersebut?
Menurun, Tapi Tidak Hilang
Jika melihat dari segi survei, pernyataan Gerindra tersebut tidak bisa dikatakan sepenuhnya benar. Perlu diakui bahwa keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin dari latar belakang tertentu masih ada. Akan tetapi, persentase keinginan masyarakat tersebut memang bukan yang teratas.
Dalam urusan preferensi presiden dan wakil presiden (wapres) misalnya, masih ada masyarakat yang memasukkan unsur latar belakang militer pada preferensi mereka. Jika dibandingkan preferensi lain, keharusan unsur militer ini jadi yang teratas dari segi latar belakang.
Kondisi tersebut terungkap misalnya pada survei nasional yang dirilis oleh Indo Barometer. Dalam survei tersebut terlihat bahwa 4 persen responden menghendaki presiden yang berasal dari kalangan militer. Selain itu, terlihat pula bahwa ada 4,5 persen responden yang cenderung lebih menyukai wakil presiden dari militer.
Angka-angka tersebut memang bukan yang tertinggi. Dalam preferensi capres misalnya, kriteria yang paling disukai masyarakat adalah sikap tegas dengan 12,2 persen. Hal serupa juga terlihat dalam syarat wapres yang dipuncaki oleh kriteria cocok sebagai wakil dengan 18,5 persen. Meski begitu, nyaris semua persyaratan itu mengarah ke sifat, bukan latar belakang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor militer masih berpengaruh di masyarakat.
Secara spesifik, keharusan kandidat berlatar belakang militer muncul dalam pertanyaan kriteria sosok pendamping bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa dikotomi sipil-militer masih ada. Masyarakat tampak masih menghendaki pendamping militer untuk melengkapi Jokowi yang berasal dari unsur sipil.
Masih dari survei Indo Barometer, terlihat bahwa ada 10,3 persen responden yang menginginkan cawapres Jokowi berasal dari kalangan militer. Angka tersebut tergolong tinggi dan berada di urutan kedua dari keseluruhan kriteria cawapres Jokowi.
Berdasarkan kondisi tersebut, sulit untuk bisa mengatakan bahwa dikotomi sipil-militer sudah benar-benar hilang. Terlihat bahwa masyarakat masih membedakan pemimpin berlatar militer dan non-militer. Dalam kasus preferensi cawapres Jokowi misalnya, tergambar bagaimana pasangan masih menginginkan adanya pasangan sipil dan militer.
Jarak Kepercayaan Sipil-Militer
Secara umum, masyarakat memang memiliki masalah kepercayaan dalam memandang latar belakang sipil dan militer. Dalam kadar tertentu, masyarakat cenderung menaruh kepercayaan lebih tinggi kepada militer ketimbang sipil. Kondisi ini seringkali disebut sebagai gap atau jarak dalam kepercayaan sipil-militer. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Raphael S. Cohen peneliti dari RAND Corporation.
Cohen menangkap fenomena di Amerika Serikat (AS) di mana perkembangan masyarakat saat ini cenderung lebih menyukai pemimpin yang berasal dari militer. Dalam survei yang dilakukan oleh Pew terungkap bahwa 17 persen masyarakat menginginkan pemerintahan berbasis militer.
Menurut Samuel P. Huntington kondisi ini terjadi karena adanya pra-eksistensi privilese militer. Pemerintahan militer yang menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah sipil akan terus memiliki pengaruh substansial di dalam masyarakat. Militer kemudian meminta imbalan dari kemauan mereka kembali ke barak meski masih berpengaruh di masyarakat.
Pasangan jenderal minimal kolonel lah. Di bawah kolonel ga elok kali ya. Tapi klo dua2nya dari kubu militer, sipil ga punya peranan dong. Ga elok juga ya.
— Nazaruddin Sjamsudin (@nazarsjamsuddin) July 5, 2018
Meskipun demikian, seiring dengan menanjaknya wacana tentang demokrasi, kepemimpinan militer terus-menerus mengalami pemburukan makna. Perlu diakui, agar demokrasi berjalan dengan baik, pemisahan antara sipil militer menjadi hal yang diperlukan.
Pentingnya kontrol sipil terhadap militer di dalam politik diungkapkan oleh Huntington. Dalam banyak kasus militer yang berpolitik sangat rentan membentuk pemerintahan berbentuk kediktatoran militer. kemampuan mereka menggunakan senjata dan operasi intelijen membuat pemerintahan dianggap berbahaya. Oleh karena itu, militer harus profesional dan ditunjukkan dengan kembali ke barak sebagai prasyarat dari demokrasi liberal.
Di luar itu, pengalaman buruk dengan pemimpin berlatar belakang militer juga bisa mempengaruhi wacana pemimpin dari kalangan prajurit. Hal ini misalnya pernah dialami Indonesia di masa kepemimpinan Soeharto.
Hal ini membuat pasangan militer-militer tergolong rentan tidak mendapat simpati di masyarakat. Meski masih memiliki pengaruh, pandangan buruk terhadap pemimpin militer membuat pasangan seperti ini jarang dibentuk oleh parpol di negeri ini.
Gerindra Jual Prabowo-AHY
Terlihat bahwa dikotomi sipil-militer di mata masyarakat masih belum benar-benar hilang. Lalu mengapa Gerindra mengeluarkan pernyataan bahwa dikotomi tersebut sudah tidak berlaku di masyarakat? Apakah pernyataan tersebut memiliki hubungan dengan langkah mereka jelang pesta demokrasi di 2019?
Diberitakan bahwa belakangan Gerindra tengah menjalin kedekatan dengan Partai Demokrat. Usaha membangun hubungan ini tidak lain ditujukan untuk mencari peluang koalisi jelang Pilpres 2019. Disebutkan bahwa mesranya hubungan Gerindra-Demokrat memunculkan wacana pasangan Prabowo Subianto-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Di atas kertas, pasangan ini terlihat bisa menjadi penantang cukup serius bagi petahana Jokowi. Jika acuannya perolehan survei, kedua figur ini tergolong moncer dan memiliki popularitas cukup baik di mata masyarakat.
Kedua tokoh ini juga bisa dikatakan diperebutkan oleh sejumlah parpol untuk diusung. Banyak parpol dan kadernya yang mengharap bisa meminang atau dipinang Prabowo atau AHY untuk berpasangan di Pilpres nanti.
Meskipun demikian, pasangan ini tergolong pasangan yang tidak konvensional. Baik Prabowo maupun AHY sama-sama memiliki pengalaman dinas ketentaraan. Lazimnya, para politisi akan mengusahakan pasangan sipil-militer agar terjadi keseimbangan dua unsur.
Jika melihat pada hasil survei preferensi masyarakat sepertinya masih terpaku pada pasangan yang mewakili dua latar belakang berbeda. Hal ini merujuk pada kriteria cawapres untuk Prabowo. Dalam survei Indo Barometer, kriteria pasangan yang berasal dari militer menempati urutan buncit dengan 0,9 persen suara responden. Terlihat bahwa masyarakat tidak begitu suka jika ada pasangan militer dengan militer.
Kalau Demokrat berkoalisi dengan Gerindra Opsinya aeperti tawaran Pak Prabowo yaitu AHY Wapres, siapapun Capesnya. Kalau koalisi dengan Golkar Airlangga sangat mungkin jadi cawapres.
— andi arief (@AndiArief__) July 12, 2018
Kondisi tersebut sejalan dengan survei cawapres untuk Jokowi. Kriteria berasal dari militer muncul di urutan kedua bagi capres dengan latar belakang sipil tersebut.
Dua hal tersebut menunjukkan bahwa dikotomi sipil-militer masih berpengaruh di dalam masyarakat. Masyarakat sepertinya cenderung masih menggemari pasangan tradisional sipil-militer ketimbang formula baru militer-militer seperti Prabowo-AHY.
Bisa saja pernyataan Gerindra tentang pudarnya dikotomi sipil-militer adalah sebagai upaya awal untuk menjual pasangan Prabowo-AHY. Gerindra tampak ingin mengikis preferensi masyarakat yang lebih menyukai pasangan sipil-militer ketimbang militer-militer. Partai yang dipimipin Prabowo ini boleh jadi tengah testing the water pasangan Prabowo-AHY dari segi elektabilitas.
Di luar itu, Gerindra juga seperti tengah menurunkan ketakutan masyarakat terhadap pasangan pemimpin yang sama-sama berlatar militer. Ketakutan anti-demokrasi dan trauma Orde Baru coba dikaburkan dengan pernyataan bahwa dikotomi sipil-militer telah hilang.
Apapun itu, pasangan Prabowo-AHY sejauh ini masih sebatas wacana. Hal serupa berlaku dengan pandangan masyarakat tentang pentingnya pasangan sipil-militer yang masih bisa berubah di survei berikutnya. Menarik untuk ditunggu apakah pasangan Prabowo-AHY akan benar-benar terwujud dan seperti apa kansnya nanti. (H33)