Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 yang memungkinkan partai politik yang lolos parlemen pada Pileg 2019 untuk menggunakan nomor urut sebelumnya. Apakah Perppu itu untuk mengakomodasi usulan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada September lalu? Jika demikian, apakah ini bukti Jokowi tengah terancam secara politik?
“The nature of war is constant change.” – Sun Tzu
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Jokowi Rentan Dihancurkan? pada 9 November 2022, telah diberikan wanti-wanti bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mengukur dengan jelas cakupan pengaruh dan daya tawarnya di hadapan partai politik.
Setelah menunjukkan gestur begitu percaya diri dengan sinyal-sinyal dukungan politik ke berbagai kandidat, Jokowi tampaknya tengah menyadari bahwa daya tawarnya tidak sebesar itu di hadapan partai politik.
Ada dua fenomena politik lugas untuk menyimpulkan hal tersebut. Pertama, dikumpulkannya relawan Jokowi di Gelora Bung Karno (GBK) pada 26 November 2022. Kedua, Jokowi mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 yang memungkinkan partai politik yang lolos parlemen pada Pileg 2019 untuk menggunakan nomor urut sebelumnya.
Show of Force Jokowi?
Pada fenomena politik pertama, secara cepat dapat disimpulkan bahwa Jokowi tengah melakukan show of force atau unjuk kekuatan. Simpulan itu juga dikemukakan oleh Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief dan politisi PDIP Masinton Pasaribu.
Dalam studi perang dan militer, taktik show of force digunakan untuk memberitahu lawan bahwa dirinya tidak main-main apabila harus mengerahkan kekuatan yang dimiliki. Biasanya, taktik ini digunakan agar pihak lawan mengurungkan niatnya untuk memberikan perlawanan.
Dalam studi Hubungan Internasional (HI), terdapat sebuah istilah yang disebut sebagai gunboat diplomacy atau diplomasi kapal perang. Salah satu diplomasi kapal perang yang paling bersejarah adalah Ekspedisi Perry di Jepang pada tahun 1853.
Kala itu, Jepang merupakan negara yang mengisolasi dirinya dari berbagai kekuatan asing, khususnya dari negara-negara Barat. Hal itu kemudian mendorong Amerika Serikat (AS) mengirimkan kapal-kapal perangnya yang dipimpin oleh Komodor Matthew C. Perry yang membuat panik seantero Jepang.
Kepanikan itu kemudian berujung pada keputusan Jepang untuk membuka perdagangan dengan pihak asing.
Prinsip daya gertak seperti itu juga digunakan dalam strategi show of force di masa modern. Andrew Scobell dalam tulisannya Show of Force, menjelaskan bahwa taktik show of force juga pernah digunakan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap Republik Tiongkok (Taiwan) pada tahun 1995-1996.
Saat itu, Taiwan dianggap semakin menjauh dari kebijakan One-China policy yang digaungkan oleh RRT. Negara Tirai Bambu tersebut akhirnya menggunakan taktik show of force dengan melakukan tes-tes rudal di perairan dekat wilayah Taiwan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, show of force dengan melakukan latihan militer di dekat wilayah Taiwan kerap dilakukan oleh RRT. Tentu saja, itu untuk mengingatkan Taiwan atas kebijakan One-China policy. Terlebih lagi, AS terlihat mulai ikut campur dalam kebijakan tersebut.
Kembali pada Jokowi. Jika pernyataan Andi Arief dan Masinton benar bahwa Jokowi tengah melakukan show of force, pertanyaannya, untuk apa itu dilakukan?
Jika menarik benang kronologisnya, tampaknya show of force itu merupakan respons terhadap pernyataan terbuka berbagai partai politik yang gerah dengan sinyal-sinyal politik Jokowi. Berbagai elite partai bahkan menegaskan ke Jokowi agar tidak mencampuri kedaulatan partai politik untuk mengusung capres-cawapres.
Artinya, jika benar show of force itu adalah sebuah respons, maka dapat disimpulkan bahwa Jokowi tengah merasa insecure alias tidak percaya diri dengan pengaruh politiknya.
Oleh karenanya, Jokowi dan pendukungnya merasa perlu unjuk kekuatan agar partai politik tidak memandang sinis sinyal dukungan politik sang RI-1.
Megawati Terlalu Powerful?
Kemudian, pada fenomena politik kedua. Dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tampaknya merupakan akomodasi terhadap usulan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada pertengahan September 2022. Pada saat itu, Megawati berharap PDIP tetap menggunakan nomor urut 3 di Pileg 2024.
Bukti kuatnya hubungan Perppu itu dengan usulan Megawati dapat dilihat dari respons elite PDIP, yakni Bambang “Pacul” Wuryanto. Ketua Bappilu PDIP itu memberikan sanggahan terbuka bahwa Perppu itu semata-mata untuk mengakomodasi usulan Megawati.
Kendati Bambang Pacul membantah, sinyal politik yang dapat dibaca adalah, respons terbuka itu menunjukkan isu ini merupakan isu krusial.
Singkatnya, jika isu Perppu Nomor 1 Tahun 2022 merupakan akomodasi terhadap usulan Megawati bukanlah isu vital, Bambang Pacul tentu tidak akan memberikan sanggahan terbuka semacam itu. Dengan kata lain, kuat dugaan Jokowi memang mengakomodasi usulan Megawati.
Jika demikian yang terjadi, ini menjadi afirmasi kuat terhadap kesimpulan Djayadi Hanan dalam bukunya Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia.
Hanan menjelaskan, alasan utama dibentuknya koalisi di Indonesia adalah demi menjaga stabilitas pemerintahan dan membuat DPR mendukung pemerintah dalam menjalankan agendanya.
Disebutkan, banyaknya partai politik membuat upaya konsensus menjadi sulit karena membutuhkan banyak diskusi, musyawarah, dan perdebatan. Dengan adanya koalisi, terlebih jika menjadi mayoritas, partai politik menjadi lebih akomodatif terhadap agenda eksekutif.
Kendati demikian, Hanan memberikan catatan menarik. Secara tersirat, Hanan menegaskan, loyalitas partai koalisi hanya terjadi ketika kepentingan mereka diakomodasi oleh Presiden.
Ini dicontohkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih Gubernur Bank Indonesia (BI) saat itu, Boediono, sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2009.
Saat itu, partai koalisi SBY sebenarnya kecewa karena merasa diabaikan. Mereka bahkan berusaha “memberontak” dan akan mengusung calonnya sendiri. Sadar atas kekecewaan itu, SBY bersikap responsif dengan menjanjikan partai koalisinya tawaran menarik dan strategis. Pendekatan itu terbukti berhasil.
Tidak hanya pada kasus Boediono, pada berbagai situasi, partai koalisi tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah. Hanan menjelaskan fenomena ini dengan istilah “partai kritis”. Tanpa harus menjadi oposisi, kader partai koalisi di DPR nyatanya tetap bersikap kritis.
Pada kasus Hak Angket Mafia Pajak pada 2011, misalnya, berbeda dengan sikap Sekretariat Gabungan Koalisi (Setgab), Partai Golkar dan PKS justru menerima pembentukan panitia khusus (pansus) angket perpajakan.
Pada koalisi pemerintahan Jokowi, kita dapat melihat contohnya pada Fadli Zon. Meskipun Partai Gerindra merupakan partai koalisi, Fadli Zon tetap bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Penjelasan Hanan memberi kita satu kesimpulan penting. Pada realitasnya, harus diakui bahwa kekuatan politik Presiden berada di bawah partai politik. Pada kasus Jokowi, suka atau tidak, seperti yang berulang kali ditegaskan oleh Megawati, mantan Wali Kota Solo itu hanyalah kader partai biasa.
Well, pada akhirnya, kita dapat menarik kembali kesimpulan dalam artikel Jokowi Rentan Dihancurkan?. Jokowi tampaknya harus lebih berhati-hati mengukur pengaruhnya di hadapan partai politik, khususnya di hadapan PDIP.
Dengan sinyal kuat Jokowi berhasil diintervensi Megawati dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2022, suka atau tidak, seperti dalam kesimpulan Hanan, Jokowi sekiranya tengah terancam dengan kekuatan partai politik. (R53)