Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menawari Ridwan Kamil (RK) untuk menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Jika RK menerima tawaran itu, apakah Partai Golkar akan meninggalkan koalisi pendukung Prabowo Subianto?
PinterPolitik.com
Meskipun ditinggalkan PKB ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), koalisi pendukung Prabowo Subianto masih menjadi yang terbesar dengan total 207 kursi. Di bawahnya terdapat koalisi pendukung Anies Baswedan dengan 167 kursi dan koalisi pendukung Ganjar Pranowo dengan 147 kursi DPR.
Peta itu terbilang cukup mengejutkan. PDIP yang awalnya dipercaya akan menjadi magnet bagi partai lain, justru baru berhasil menarik PPP. Sebagaimana diketahui, PDIP adalah peraih kursi terbanyak dengan 128 kursi DPR. Itu juga membuat PDIP menjadi satu-satunya partai yang dapat mengusung paslon tanpa berkoalisi di Pilpres 2024.
Namun, tawaran langsung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Ridwan Kamil (RK) sekiranya dapat mengubah peta koalisi yang ada. RK mengaku ditawari oleh Megawati untuk menjadi cawapres Ganjar.
Respons Partai Golkar terhadap pengakuan itu terbilang menarik. Partai beringin menegaskan bahwa mereka tidak bisa melarang kadernya itu untuk menjadi cawapres Ganjar.
“Kalau diminta berpasangan dengan Pak Ganjar, saya kira itu sebuah kehormatan dan bagi Golkar, tentu tidak ada alasan untuk melarang karena saya yakin bahwa dia tetap sebagai salah satu Waketum DPP partai Golkar,” ungkap Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono pada 8 September 2023.
Lantas, jika RK menerima tawaran Megawati, mungkinkah Partai Golkar akan meninggalkan Prabowo?
Tiga Skenario
Jika Partai Golkar bergabung dengan PDIP, dapat dipastikan koalisi pendukung Ganjar akan menjadi yang terbesar. Partai Golkar memiliki 85 kursi di DPR. Artinya, koalisi pendukung Prabowo akan tersisa 122 kursi, dan koalisi pendukung Ganjar menjadi 232 kursi dengan tambahan 85 kursi dari Partai Golkar.
Itu akan menjadi perubahan yang menarik dan begitu drastis. Koalisi pendukung Prabowo yang awalnya menjadi yang terbesar justru menjadi yang paling kecil.
Namun, jika memang Ridwan Kamil mengambil tawaran Megawati, Golkar tidak harus meninggalkan Prabowo. Kasusnya dapat kita lihat pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2014.
Jusuf Kalla (JK) yang merupakan kader Partai Golkar justru menjadi cawapres kandidat yang tidak didukung partai beringin.
Di Pilpres 2004 Jusuf Kalla maju menjadi pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu Partai Golkar mendukung pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid. Kemudian, di Pilpres 2014 JK menjadi cawapres Jokowi. Saat itu Partai Golkar mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Artinya, terdapat tiga kemungkinan jika Ridwan Kamil mengambil tawaran Megawati.
Pertama, Partai Golkar akan berlabuh ke PDIP. Kedua, Partai Golkar dalam tanda kutip bermain dua kaki. Mereka tetap mendukung Prabowo, namun RK dibiarkan menjadi cawapres Ganjar.
Lalu ketiga, jika dinilai membelot, RK bisa saja dipecat sebagai kader Partai Golkar.
David Ingram dalam tulisannya Why Is Organizational Structure Important? menegaskan bahwa sangat penting sebuah organisasi memiliki struktur formal yang jelas agar pengikut organisasi tidak kebingungan menentukan arah, identitas, dan situasi organisasi.
Sebagai organisasi yang dituntut memiliki identitas yang jelas, sangat penting bagi partai politik untuk menunjukkan bahwa kadernya tegak lurus terhadap keputusan partai. Itu adalah pesan terhadap publik bahwa kader di partai sangat solid dan memiliki nilai dan tujuan bersama.
Apabila Partai Golkar sangat ketat menerapkan prinsip itu, sangat mungkin untuk memecat Ridwan Kamil jika ternyata berlabuh ke kubu Ganjar.
Lantas, dari ketiga skenario tersebut, mana yang kira-kira paling mungkin akan terjadi?
Golkar Main Dua Kaki?
Dari tiga skenario itu, yang paling besar kemungkinannya mungkin adalah skenario nomor dua.
Untuk skenario pertama, ada desas-desus yang menyebutkan bahwa partai-partai lain ingin melihat pergantian kekuasaan. Sinyal-sinyalnya juga dapat dibaca dari komentar warganet dengan munculnya tagline “asal jangan PDIP”.
Melihat dari kacamata teoritis, fenomena itu telah lama dijelaskan oleh sosiolog Italia Vilfredo Pareto dalam teorinya Sirkulasi Elite. Menurut Pareto, kursi kekuasaan akan selalu berganti karena elite yang lain selalu ingin menggeser elite yang tengah berkuasa.
Mungkin, sebagai partai yang memiliki sejarah yang begitu besar, Partai Golkar ingin mendapatkan peranan yang lebih besar di bawah kekuasaan baru nantinya. Dan harapan itu terletak pada Prabowo Subianto. Bukan tidak mungkin terdapat ketidakpuasan terhadap pembagian kekuasaan di bawah era PDIP saat ini.
Untuk skenario ketiga, kasus Jusuf Kalla di Pilpres 2004 dan Pilpres 2014 adalah bantahan yang kuat. Partai Golkar sekiranya tidak sama seperti PDIP yang langsung memecat kadernya yang berbeda dukungan. Salah satu kasusnya adalah Budiman Sudjatmiko yang dipecat PDIP karena mendukung Prabowo Subianto.
Pilpres 2024 sepertinya akan menjadi kali ketiga di mana kader Partai Golkar menjadi cawapres yang tidak didukung partai beringin.
Menariknya, fenomena itu seolah merupakan sebuah siklus yang berulang 10 tahun sekali. Tahun 2004, tahun 2014, dan nantinya tahun 2024.
Entah kebetulan atau tidak, ini mengingatkan kita pada pepatah bahwa “sejarah itu mengulang dirinya sendiri”.
Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Semua ini tergantung dari keputusan Ridwan Kamil terhadap tawaran Megawati. (R53)