Menghadapi revolusi digital ke empat atau digital 4.0, Indonesia harus mulai bersiap mengimbangi kemajuan teknologi.
PinterPolitik.com
“Jelas menggemparkan bahwa teknologi telah melampaui kemanusiaan kita.”
Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde saat berkunjung ke Indonesia akhir Februari lalu, mengingatkan Pemerintah Indonesia akan revolusi digital yang mulai mengubah struktur ekonomi di seluruh dunia. Sehingga mau tak mau, Indonesia juga harus memanfaatkan revolusi yang tengah terjadi dan mempersiapkan masyarakat agar bisa menghadapi perubahan.
Era milenial yang ditandai dengan mulai berkembangnya industri teknologi, dari munculnya produk-produk telepon seluler hingga internet nirkabel, memang terbukti telah membawa banyak perubahan dari segala sisi kehidupan manusia. Kemampuan internet ini, kemudian mengubah segala bentuk teknologi yang sebelumnya analog atau manual, menjadi teknologi digital yang serba otomatis.
Akibat perubahan era analog ke digital yang cepat, menurut Lagarde, membutuhkan upaya penyesuaian yang menyeluruh. Baik dari segi infrastruktur digital, sistem pendidikan, dan juga peningkatan kapasitas masyarakat. Kesemua ini, tentu membutuhkan perencanaan dan keseriusan Pemerintah dalam pelaksanaannya.
Apalagi, Indonesia saat ini mempunyai penduduk dengan usia produktif yang sangat tinggi. Berdasarkan sensus penduduk, pada tahun 2017 hingga 2019 ini, Indonesia tengah memasuki masa bonus demografi usia produktif (usia 15-64 tahun) pertama. Bahkan, diperkirakan usia Generasi Milenial (usia 15-35 tahun) yang lahir di era 80-an, saat ini jumlahnya mencapai sekitar 52 persen.
Tingginya angka angkatan muda ini tentu juga akan berkaitan dengan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai, tak hanya dengan keahlian mereka tapi juga dengan kebutuhan perusahaan-perusahaan yang ada. Apalagi, berdasarkan studi dari Lembaga McKinsey, 60 persen pekerjaan saat ini terdiri dari tugas-tugas yang dapat dilakukan secara otomatis.
Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana langkah-langkah untuk menciptakan peluang yang diperlukan tersebut? Terutama bagi para Generasi Milenial yang akan berhadapan dengan kebutuhan keahlian model pertumbuhan baru, yaitu yang sangat bergantung dengan inovasi teknologi. Misalnya terkait kecerdasan buatan, robotika, bioteknologi, hingga teknologi finansial.
Hilangnya Batasan Manusiawi
“Saya takut pada hari di mana teknologi kelak akan menggantikan interaksi antar manusia. Dunia akan memiliki generasi yang idiot.”
Ketakutan Albert Einstein yang dikenal sebagai pakar matematika dan fisika ini, telah jauh-jauh hari dikatakan. Bahkan ketika komputer saja masih belum ditemukan. Baginya, kemajuan teknologi hanya akan menciptakan kemudahan yang akan membuat generasi selanjutnya menjadi malas berinteraksi dengan manusia lain, sehingga terkesan idiot.
Faktanya, ketakutan Einstein ini belakangan telah terbukti. Kemajuan teknologi – terutama di bidang komunikasi, memang membuat manusia tidak lagi harus menyediakan banyak waktu untuk berinteraksi dengan manusia lain. Munculnya telepon seluler dan internet, bahkan dapat menyatukan manusia dari seluruh dunia dengan begitu mudah dan cepat.
Kenyataan ini diamini oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya, The World is Flat. Jurnalis dan kolumnis asal Amerika Serikat ini menyatakan, salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan digitalisasi yang mampu menghilangkan batasan-batasan wilayah yang awalnya ada akibat keterbatasan manusia.
Dulu, batasan wilayah dapat dijembatani melalui teknologi transportasi yang semakin canggih. Namun di era digital ini, semua orang dari berbagai negara di belahan dunia bisa ada dalam satu percakapan komunikasi tanpa harus beranjak dari wilayahnya masing-masing. Penyatuan global dalam satu media, yaitu layar komputer maupun telepon seluler inilah yang kemudian Friedman nyatakan sebagai “bumi datar”.
Tak pelak, kehadiran internet dan telepon selular memang kemudian mampu menaikkan kelasnya menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Bagi Generasi Milenial yang kerap disebut sebagai Generasi Zaman Now, pulsa telepon selular maupun kuota internet menjadi kebutuhan paling penting. Bahkan BPS pada 2016 mencatat, internet telah menjadi kebutuhan pokok pertama menggantikan makan.
Internet sebagai salah satu terobosan utama revolusi digital, terbukti tak hanya menggantikan komunikasi interpersonal, tapi juga sektor industri. Internet mampu mempersingkat dan mempermudah transaksi, baik fisik maupun jasa. Sehingga tak heran kalau dalam Generasi Milenial sekarang, timbul “penyakit nunduk” (wajahnya selalu fokus ke telepon selular) dan nomophobia (takut kehilangan telepon genggam).
Saat Teknologi Kuasai Manusia
“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi seluas langit dan bumi.”
Kemampuan teknologi yang dapat merambah ke berbagai sektor kepentingan manusia, memang tak lepas dari imajinasi – seperti yang dikatakan Einstein di atas. Tanpa imajinasi, tentu revolusi digital akan sulit tercapai. Bahkan Fisikawan dan Astronomist Michio Kaku dari Universitas City, Amerika Serikat, berani mengatakan kalau di masa datang robot pun bisa memiliki memori, perasaan, dan sensitivitas layaknya manusia.
Di masa lalu, ucapan profesor keturunan Jepang ini mungkin akan ditertawakan dan tidak akan dipercaya. Namun di era digital 4.0, semua itu mungkin saja terjadi. Perkembangan industri yang juga memasuki revolusi industri 4.0, memungkinkan semua itu menjadi nyata. Bahkan McKinsey juga memprediksikan kalau dalam lima tahun ke depan, sebesar 52,6 juta jenis pekerjaan akan digantikan oleh mesin.
Pembuktian paling dekat, dapat kita lihat dari bagaimana peranan tenaga manusia yang kini banyak diambilalih oleh internet maupun telepon selular. Maraknya e-commerce misalnya, sedikit banyak membuat para pedagang yang berjualan di toko-toko fisik mulai ditinggalkan pembeli. Penjualan tiket pesawat dan kereta yang dulunya membutuhkan banyak loket dan penjaga, kini bisa diminimalisir melalui pemesanan online.
Bahkan situs Asia Nikkei Jepang, Februari lalu, melaporkan banyaknya bank di Jepang yang memutuskan menutup cabang-cabangnya akibat peralihan transaksi dan jasa perbankan melalui digital. Penutupan cabang ini, tentu mengakibatkan hilangnya lapangan kerja dan para tenaga kerja baru terancam kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Hilangnya lapangan-lapangan kerja akibat kemajuan teknologi digital ini, diyakini akan semakin banyak di waktu mendatang. Di sisi lain, jutaan kesempatan kerja baru pun ikut muncul. Hanya saja, peluang baru ini membutuhkan keahlian dan kemampuan “baru” pula. Perubahan sektor tenaga kerja inilah yang diingatkan Lagarde sebelumnya.
Industri digital saat ini, selain mengandalkan mesin-mesin robotik, juga membutuhkan tenaga-tenaga ahli yang tak hanya mampu mengoperasikan, tapi juga berinovasi. Tak jarang, perusahaan-perusahaan besar yang sudah maju membutuhkan tenaga kerja yang ahli di beberapa bidang sekaligus, ini tentu membuat persaingan semakin berat.
Sayangnya lagi, laju teknologi yang begitu cepat ini belum diimbangi dengan perubahan yang cepat pula dari sektor pendidikan. Sehingga pada akhirnya, tenaga kerja yang tersedia tidak mampu diserap oleh peluang kerja di industri yang tersedia (under qualified). Di sisi lain, industri pun mengalami kesulitan dalam mencari tenaga kerja dengan keahlian yang dibutuhkan (miss match).
Adanya miss match di sektor industri ini, memang tak lepas dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Fakta ini terkuak dari penelitian Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dirilis Maret lalu. Dari 11 negara yang diteliti, kualitas pendidikan Indonesia yang meliputi 5 indikator (governance, availability, accesibility, acceptability, adaptability) hanya menempati posisi 7, di bawah Filipina dan Ethiopia.
Ketidakmampuan sektor pendidikan untuk segera bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri digital, juga diakui oleh Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lelono. Sehingga untuk mengatasinya, Kemenaker pun berupaya memasukkan tenaga kerja – terutama yang baru lulus kuliah (fresh graduate), ke Balai Latihan Kerja (BLK).
Bila dicermati dari kondisi ketenagakerjaan saat ini, membuktikan bahwa Teori Human Capital yang menempatkan pendidikan sebagai investasi dan status quo, sudah tidak lagi berhasil di era digital 4.0. Sehingga jalan keluar Kemenaker dengan mengadopsi Teori Kredensialisme, yaitu menjembatani pendidikan dengan ketidaksesuaian tenaga kerja yang tersedia atau “gejala persediaan” (supply phenomina) melalui pelatihan-pelatihan kerja merupakan jalan keluar yang tepat.
Namun pertanyaannya sekarang, bagaimanakah pelatihan-pelatihan tersebut dapat diberikan secara merata dan menyeluruh ke seluruh tenaga kerja di penjuru negeri? Lagi-lagi, semua terpulang pada Pemerintah untuk segera menyediakan infrastruktur serta sarana dan prasarananya. Kesemua itu, tentu juga membutuhkan waktu dan tenaga, padahal kemajuan teknologi terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jadi tak heran bila pada masanya, Einstein pernah mengatakan kalau kemajuan teknologi bagaikan kapak di tangan seorang penjahat patologis (ilmu kedokteran di bidang analisa tubuh). Selain mampu “mengobati penyakit” di dalam tubuh perindustrian secara efektif, namun teknologi juga bisa menjadi “pembunuh” bagi manusia bila tak ikut berlari lebih cepat dari perkembangannya. (R24)