Site icon PinterPolitik.com

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

jokowi makin tak terbendung

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Ageman Songkok Singkepan Ageng dalam Upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2023. (Foto: Sekretariat Presiden)

Dengarkan artikel berikut

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/09/ketika-masa-masa-awal.mp3

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?


PinterPolitik.com

Ketika masa-masa awal Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), mungkin sebagian besar orang akan setuju bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki kekuatan politik yang begitu besar. Siapa pun, pada saat itu, tampak saling berebut “restu” Jokowi. Tanpa terkecuali Anies Baswedan, yang sempat temui Gibran Rakabuming Raka di Kota Solo pada November 2022.

Dengan pengaruhnya yang begitu besar di akhir periode, banyak pengamat politik kala itu menilai bahwa Jokowi tampaknya merupakan anti-tesis dari teori lameduck president, sebuah istilah yang meyakini bahwa pengaruh politik seorang presiden akan melemah di akhir periode.

Namun, di sisa 2 bulan terakhir jabatannya ini, apakah pandangan tersebut masih berlaku untuk Jokowi? Well, kalau kita lihat perkembangan berita, jawabannya sepertinya: tidak.

Kalau kita perhatikan baik-baik, saat ini Jokowi dan masing-masing “penerus”-nya tampak semakin tertodong kasus hukum. Kaesang Pangarep mulai tersandera dugaan gratifikasi jet pribadi, yang juga ikut menyeret kakaknya, Gibran. Sementara, Jokowi sendiri tampaknya “dikelitiki” kasus rasuah timah setelah namanya disebut oleh salah satu saksi untuk Helena Lim, dkk. Jokowi disebut minta agar tambang illegal dibina agar jadi legal.

Dalam perspektif politik, kasus-kasus tersebut layak membuat kita bertanya-tanya tentang soliditas dukungan serta kekuatan politik Jokowi. Apakah ini adalah indikasi bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah?

Jokowi dan Pompey Magnus

“Politik itu dinamis”. Adagium ini mungkin merupakan pepatah paling diyakini oleh banyak orang ketika mereka pertama kali menaruh perhatian kepada politik. Kendati satu aktor politik adalah musuh dari lawannya pada tahun ini, tetapi bisa saja pada tahun depan ia menjadi pendamping dari lawannya tersebut.

Karena dinamisnya politik, salah satu alasan utama yang dapat diasumsikan terkait melemahnya kekuatan politik Jokowi pun adalah kecenderungannya mengandalkan political loyalty—kesetiaan para politisi dan elite politik. Kesetiaan ini, bagaimanapun, memiliki sifat yang sangat rapuh dan mudah berubah. Untuk memahami situasi ini dengan lebih baik, kita bisa melihat sebuah analogi yang menarik dalam sejarah Romawi, yaitu perbandingan antara Julius Caesar dan Pompey.

Pompey adalah seorang pemimpin yang awalnya memiliki posisi yang sangat kuat secara politik. Dengan dukungan dari Senat Romawi dan sebagian besar elite aristokrasi, dia tampak tidak terkalahkan. Namun, salah satu kelemahan utama Pompey adalah ketergantungannya pada political loyalty dari para senator dan elite politik. Kesetiaan yang berasal dari kelompok ini terbukti sangat mudah goyah ketika situasi berubah.

Pada akhirnya, Pompey kalah dari Julius Caesar, seorang jenderal dan pemimpin politik yang berhasil memanfaatkan dua bentuk kesetiaan yang lebih kuat dan berkelanjutan: military loyalty dan people loyalty.

Caesar tidak hanya memiliki dukungan dari pasukan militernya, tetapi juga dari rakyat. Military loyalty—kesetiaan para prajuritnya—diperoleh melalui hubungan yang dibangun dari kepercayaan dan rasa hormat. Caesar tidak hanya memerintah dari jauh, tetapi turun langsung ke medan perang bersama prajurit-prajuritnya, menunjukkan keberanian dan kepemimpinan yang kuat.

Ini menciptakan hubungan yang kuat dengan pasukannya, menjadikannya pemimpin yang didukung penuh oleh mereka. Selain itu, Caesar juga sangat ahli dalam menggalang people loyalty. Melalui kebijakan yang populis, dia mendapatkan dukungan dari rakyat, terutama kelas bawah dan menengah yang merasakan manfaat langsung dari kebijakan-kebijakannya.

Sebaliknya, Pompey lebih nyaman mengandalkan para aristokrat dan elite politik. Kesetiaan politik ini, seperti yang terbukti dalam sejarah, adalah kesetiaan yang sangat mudah goyah. Ketika situasi berubah, para politisi lebih sering mengikuti arah yang menguntungkan mereka, bukan pemimpin yang mereka dukung. Pada akhirnya, ketika Caesar maju dengan kekuatan rakyat dan militer di belakangnya, para pendukung Pompey dengan cepat beralih pihak atau mundur, menyebabkan kekalahannya di medan perang.

Kondisi ini memberikan analogi yang relevan dengan apa yang mungkin mulai terjadi pada Jokowi saat ini. Selama masa-masa akhir kepemimpinannya, Jokowi tampak sangat mengandalkan dukungan dari elite politik dan koalisi partai politik. Namun, sama seperti Pompey, political loyalty dari para politisi dan elite partai bukanlah kesetiaan yang dapat diandalkan untuk jangka panjang.

Lantas, mungkinkah Jokowi bernasib sama seperti Pompey, yakni ditinggal orang-orang yang selama ini tampak setia padanya?

Jangan Melupakan Sejarah

Elite politik cenderung oportunistik, mengalihkan dukungan ketika situasi politik berubah atau ketika ada tokoh yang dianggap lebih kuat atau lebih menjanjikan secara elektoral. Ketika Jokowi mulai kehilangan pengaruh dan muncul pesaing baru yang lebih kuat, bisa jadi para politisi yang sebelumnya mendukungnya akan mulai mencari perahu politik baru yang lebih menguntungkan.

Pada saat yang sama, Jokowi tampaknya tidak memiliki kekuatan military loyalty atau people loyalty yang cukup kuat. Hubungan Jokowi dengan militer tidak pernah benar-benar menonjol, hanya sebagai panglima tertinggi ketika dirinya menjadi presiden, berbeda misalnya dengan Prabowo Subianto yang memang dikenal sebagai tokoh berpengaruh dalam militer sebelum dirinya terpilih jadi presiden.

Sementara itu, terkait dukungan dari rakyat kepada Jokowi, meskipun masih ada, tidak selalu sekuat di awal kepemimpinannya. Kebijakan-kebijakan populis yang pernah membuatnya dicintai banyak orang kini tak lagi banyak terdengar, terutama dengan berbagai tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi negara.

Dalam konteks ini, kesalahan terbesar yang mungkin dilakukan Jokowi adalah ketergantungannya pada political loyalty, yang sama rapuhnya dengan yang dimiliki Pompey. Tanpa kekuatan people loyalty dan military loyalty yang dapat menopang pengaruh politiknya, Jokowi bisa menghadapi situasi yang serupa dengan Pompey: kehilangan kekuasaan ketika para elite politik yang dulu mendukungnya beralih ke pihak yang lebih kuat atau lebih menguntungkan secara politis.

Terlebih lagi, suka tidak suka tampuk kekuasaan sudah hampir saatnya berganti. Oktober nanti, Jokowi mau tidak mau akan menjadi seseorang yang secara de facto tidak akan memiliki akses kekuatan seperti yang sekarang ia miliki. Maka dari itu, penting untuk kita pertanyakan kembali, kira-kira sampai kapan loyalitas para elite tersebut akan terjaga? (D74)

Exit mobile version