Site icon PinterPolitik.com

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Ma'ruf Amin. (Foto: Instagram @khmarufamin)

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan bahwa dirinya akan mendorong perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, mulai dari sektor industri produk halal hingga perbankan syariah. Di satu sisi meningkatnya ekonomi Islam memang memiliki manfaat ekonomi khususnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara, di sisi lain pemerintahan Jokowi-Ma’ruf juga dapat diuntungkan secara politik mengingat ekonomi Islam sendiri tumbuh berkat menguatnya pengaruh Islam dalam perpolitikan Indonesia.


PinterPolitik.com 

Wapres Indonesia yang ke-13 tersebut mengatakan bahwa ia akan merevisi Perpres Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah untuk memperkuat kelembagaan perekonomian Syariah. Selain itu Ma’ruf mengatakan bahwa nantinya ia akan memimpin langsung Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.

Selain meningkatkan ekonomi Islam di level domestik, Ma’ruf juga mengutarakan keinginannya agar Indonesia tidak hanya menjadi negara produsen sertifikat halal alias hanya menjadi “tukang stempel” saja, namun juga harus menjadi produsen produk halal dunia.

Pernyataan Ma’ruf ini sebenarnya bukan suatu hal yang mengejutkan.

Banyak pihak yang sudah melihat bahwa sebagai wakil Jokowi, Ma’ruf Amin akan banyak mengurusi permasalahan ekonomi dan hal-hal terkait dunia Islam.

Pandangan ini muncul mengingat latar belakangnya sebagai ulama besar di Indonesia, khususnya dalam lingkaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU).

Selain itu, Ma’ruf juga dikenal sebagai sosok ekonom syariah mengingat gelarnya sebagai Profesor Ekonomi Muamalat Syariah dan Ketua Dewan Pengawas Syariah di beberapa bank.

Pun pada saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) yang lalu, ekonomi Islam menjadi salah satu program yang “dijual” Jokowi-Ma’ruf ke masyarakat.

Peluang Ekonomi yang Besar

Setidaknya dalam sudut pendang ekonomi, rencana Ma’ruf untuk mendorong ekonomi Islam di Indonesia patut untuk diapresiasi.

Hal ini dikarenakan besarnya potensi perekonomian Islam di level domestik maupun global, serta masih belum optimalnya kontribusi industri halal nasional bagi perekonomian Indonesia.

Menurut Rencana Induk Ekonomi Islam Indonesia tahun 2019-2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, ekonomi Islam dipercaya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kemudian, menurut Bank Indonesia (BI), pada tahun 2018 ekonomi Islam memiliki kontribusi sebesar 80 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Global Islamic Economy Report, konsumsi masyarakat Indonesia di sektor ekonomi Islam juga terus meningkat, di mana pada tahun 2017 konsumsi tersebut sudah menyentuh angka Rp 3.087 triliun.

Selain konsumsi domestik yang besar, secara global peluang ekonomi Islam juga sangat menjanjikan.

Pada tahun 2017, masyarakat muslim global menghabiskan Rp 29.594 triliun dalam hal gaya hidup halal dan diprediksi akan meningkat menjadi sekitar Rp 42.259 triliun pada tahun 2023.

Selain itu, aset perbankan syariah global juga terus mengalami peningkatan di mana pada tahun 2017, nilai asetnya sudah menyentuh Rp 33.807 triliun.

Sedikit catatan bahwa angka ini akan terus meningkat mengingat pemeluk agama Islam merupakan kelompok religuis dengan pertumbuhan populasi paling tinggi dibanding kelompok agama lain.

Pertumbuhan ini kemudian diprediksi akan menjadikan Islam sebagai agama dengan jumlah pemeluk terbesar di dunia pada tahun 2075.

Sayangnya, hingga saat ini peran Indonesia dalam perekonomian Islam global masih sangat kecil.

Ambil contoh di mana Indonesia hanya menyumbangkan 3,3 persen dari total nilai ekspor produk halal dunia.

Persentase ini membuat Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, hanya menempati peringkat ke-10 sebagai negara pengekspor produk halal.

Yang menjadi ironi adalah peringkat pertama hingga ke-9 justru ditempati oleh negara-negara di mana agama Islam justru merupakan agama minoritas, seperti Brazil, Amerika Serikat, Rusia, hingga Australia.

Tidak hanya itu, dalam rencana induk Bappenas juga disebutkan bahwa Indonesi mengalami defisit neraca perdagangan karena tingginya impor produk dan jasa halal.

Untuk aset perbankan, meskipun terus tumbuh tiap tahunnya, perbankan syariah di Indonesia hanya merepresentasikan 8,73 persen dari total nilai aset perbankan nasional.

Pengaruh dan Manfaat Politik

Selain didasari oleh kebutuhan ekonomi, pertumbuhan perekonomian Islam di Indonesia sendiri tidak bisa dilepaskan dari faktor politik.

Menurut Ahmad Dahlan, dosen dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, masuk dan munculnya pengaruh organisasi-organisasi Islam seperti MUI dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam infrastruktur politik Indonesia merupakan faktor utama di balik kemunculan bank syariah di Indonesia yang baru mulai beroperasi pada tahun 1992.

Masuknya organisasi-organisasi tersebut dalam perpolitikan Indonesia sendiri merupakan dampak dari politik akomodatif rezim Orde Baru yang pada tahun 1990-an semakin memperbaiki hubungannya dengan kelompok Islam.

Hal senada juga diungkapkan oleh Banjaran Surya Indrastomo, kandidat PhD dari Durham University.

Dalam tulisannya ia menjelaskan bagaimana pesatnya perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dimulai seiring dengan sikap rezim Orde Baru yang secara bertahap memperbolehkan masuknya pengaruh Islam dalam perpolitikan dan perekonomian Indonesia.

Selain itu, Banjaran juga melihat bahwa hal tersebut juga dipengaruhi oleh adanya harapan di masyarakat bahwa perekonomian yang Islami akan mampu menciptakan perekonomian yang adil, utamanya setelah Orde Baru, yang mengutamakan perekonomian konvensional, dianggap gagal memberikan keadilan ekonomi.

Dalam konteks perpolitikan saat ini, dimasukkannya kebijakan-kebijakan terkait ekonomi Islam sebagai salah satu program prioritas pemerintah dinilai memiliki manfaat secara politik.

Menurut Made Ayu Mariska & Jefferson Ng, peneliti dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS),  rencana Jokowi untuk mengimplementasikan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH)  meningkatkan citra keislaman Jokowi di mata pemilih pada Pilpres yang lalu.

Hal ini berkaitan dengan mayoritas masyrakat muslim Indonesia yang melihat bahwa nilai keislaman seorang calon presiden sebagai faktor penting – bahkan utama – dalam menentukan pilihan.

Pilpres sendiri memang sudah selesai, pun Jokowi-Ma’ruf sudah resmi dilantik dan akan menjabat untuk lima tahun ke depan.

Namun, citra keislaman ini tetap penting mengingat pemerintahan yang sudah terpilih sekalipun tetap memerlukan dukungan rakyat yang diukur melalui tingkat kepercayaan dan kepuasan publik.

Oleh sebab itu, rencana Jokowi-Ma’ruf untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Islam, disengaja ataupun tidak, dapat menguntungkan keduanya secara politik dalam konteks menjaga dukungan kelompok Islam Indonesia.

Selain ekonomi dan politik, ada juga beberapa pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan oleh meningkatnya konservatisme agama di masyarakat Islam Indonesia.

Peningkatan ini salah satunya terlihat dengan adanya fenomena “hijrah” di mana sebagian masyarakat muslim Indonesia kini lebih mengutamakan produk-produk yang lebih Islami seperti wisata halal, perbankan syariah, ataupun busana muslim.

Terakhir, usaha pemerintah untuk mendorong ekonomi Islam tidak lepas dari berbagai hambatan.

Selain masih diperlukannya revisi terhadap berbagai regulasi terkait ekonomi Islam, dalam beberapa kasus, implementasi ekonomi Islam juga menimbulkan kontroversi.

Pada kasus rencana penerapan wisata halal di Bali dan Danau Toba misalnya, muncul pro-kontra apakah sektor wisata di dua daerah tersebut, yang mayoritas masyarakatnya merupakan masyarakat non-muslim, perlu diberikan label “halal”.

Di kubu kontra, ada beberapa argumentasi seperti pemberian label “wisata halal” tidak diperlukan karena dua daerah tersebut sudah cukup ramah bagi wisatawan muslim.

Kemudian ada juga yang melihat bahwa rencana program wisata halal sebagai bentuk Islamisasi yang ditakutkan akan menghilangkan budaya lokal daerah tersebut.

Selain itu, ada juga polemik mengenai pengambilalihan wewenang penerbitan sertifikasi halal dari MUI ke Kementerian Agama (Kemenag).

Dalam kasus ini, MUI terlihat berusaha “merebut” kembali wewenang sertifikasi halal dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun pada akhirnya gugatan tersebut dicabut pada bulan September 2019 kemarin. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version