Site icon PinterPolitik.com

Dicekal, Rizieq setara Gulen?

Dicekal, Rizieq setara Gulen

Foto : Istimewa

Fethullah Gulen dan Rizieq Shihab tengah menghadapi rezim yang berbeda haluan politik. Di Turki, Presiden Erdogan meminta Jerman menetapkan gerakan Gulen sebagai organisasi teroris. Sementara Rizieq hari ini menghadapi pencekalan di Arab Saudi sebagai akibat kasus hukum dan pengaruhnya di Indonesia. Apakah pencekalan Rizieq terkait dengan agenda politik di Tanah Air?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ada tahun 2016, dunia dikejutkan dengan berita percobaan kudeta politik yang terjadi di Turki. Militer diduga mencoba untuk merebut kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Namun, diduga tidak hanya militer yang berperan saat itu. Adalah Fethullah Gulen, salah satu tokoh Islam politik Turki yang dituduh menjadi dalang di balik upaya kudeta tersebut.

Nyatanya, selain memiliki latar belakang islamis yang kuat, peran Gulen dalam politik Turki juga cukup besar. Selain dituduh menggerakkan kudeta, ia juga dianggap telah memasukkan virus-virus islamisme dalam gerakan politik di Turki.

Implikasinya, ia harus meninggalkan Turki pada 1999 dan memilih menetap di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), hingga sekarang.

Apa yang terjadi pada Gulen ini nyatanya mirip dengan yang terjadi pada Habib Rizieq Shihab terutama dalam konteks pelarian politik.

Tentu kita juga tidak lupa, bahwa ada drama kabur-kaburan serupa yang dilakukan oleh tokoh ulama kontroversial pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu. Ia meninggalkan Indonesia pada 2017 lalu terkait kasus skandal chat berbau pornografi serta beberapa kasus penghinaan lambang negara.

Kali ini berita tentang Rizieq kembali menuai kehebohan. Pasalnya Imam Besar FPI tersebut disebut-sebut dicekal oleh pemerintah Arab Saudi.

Seperti diberitakan beberapa media, Rizieq dicekal ketika akan mengunjungi Malaysia, bahkan ketika berencana akan pulang ke Indonesia. Tak ada alasan jelas terkait pencekalannya tersebut.

Sebagai respons, para pendukung Rizieq melalui Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama mendatangi Wakil Ketua DPR Fadli Zon sehari yang lalu.

Dalam cuitanya, Fadli kemudian menyerukan agar pemerintah tegas membantu Rizieq, sama seperti ketika kasus-kasusnya dihentikan penyelidikannya oleh kepolisian.

Tentu menarik membandingkan sepak terjang Rizieq dan Gulen dalam konteks politik, mengingat keduanya merupakan tokoh Islam yang cukup berpengaruh dalam politik. Apalagi, Rizieq masih memainkan peran kunci terkait isu politisasi agama di Indonesia.

Sepak Terjang Politik Rizieq

Sebagai salah satu penggagas gerakan 212 di akhir 2016 lalu, tentu kita tidak bisa memandang sebelah mata kiprah Habib Rizieq dalam kancah politik nasional.

Berstatus sebagai pelarian politik, baik Gulen maupun Rizieq nyatanya tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam politik nasional di masing-masing negara. Share on X

Ketokohan Rizieq sudah bergeser dari tokoh umat biasa menjadi tokoh politik yang diperhitungkan. Ia di luar dugaan mampu menjadi salah satu tokoh utama dalam aksi masa terbesar tersebut dan bahkan menjungkirbalikkan opini publik terkait kiprahnya bersama FPI sebagai ormas pinggiran yang hanya dikenal lewat aksi-aksi sweeping di bulan puasa.

Rizieq memang tidak sukses sendiri, ia bersama para ulama dan tokoh lain bekerja bahu membahu menyukseskan aksi tersebut. Namun, Rizieq-lah yang mendapatkan sorotan dan panggung utama dalam aksi tersebut.

Ia kini menjelma menjadi tokoh yang ditunggu sikap politiknya – seiring naiknya pamor FPI menjadi ormas yang ada dalam top of mind masyarakat di belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Jelang Pilpres 2019, Rizieq akhirnya merapatkan dukungan ke kubu penantang. Hal ini wajar karena rezim pemerintahan Jokowi terlanjur dianggap sebagai kekuatan yang mengkriminalisasi dirinya dan ulama lain dalam semua kasus yang dituduhkan padanya.

Peran Rizieq kala Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu memang cukup krusial. Kalahnya petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari Anies Baswedan salah satunya adalah akibat kampanye penolakan penista agama yang kuat disuarakan oleh Rizieq.

Secara langsung, aksi itu berhasil mempengaruhi pola pikir pemilih untuk tidak mencoblos Ahok, sekalipun secara kinerja tak ada yang meragukan pria kelahiran Belitung Timur itu.

Saking kuatnya bargaining power Rizieq, bahkan setelah dalam pelarian ke Saudi, kasus hukumnya pun dihentikan lewat penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Jawa Barat.

Sepak terjang Rizieq dalam politik tak lepas dari sosoknya sebagai ulama yang memiliki daya pengaruh yang cukup kuat. Hal ini yang disebut sebagai legitimasi, yaitu kemampuan mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap hak moral seseorang untuk memimpin secara politik.

Menurut ilmuwan politik berkebangsaan Italia, Gaetano Mosca, pengakuan terhadap keberadaan elite yang dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini disebut sebagai sebuah political formula atau formula politik. Kondisi ini ditunjukan lewat adanya suatu keyakinan agar seorang pemimpin dipatuhi kepemimpinannya.

Selain itu, gaya kepemimpinan Habib Rizieq sejalan dengan teori legitimasi Max Weber yang membagi dominasi berdasarkan tiga kategori, yakni tradisional, kharismatik dan legal rasional.  Dalam konteks tradisional, kepemimpinan seseorang diperkuat dengan adanya tradisi yang berlaku.

Rizieq memperoleh dukungan masyarakat karena sosoknya sebagai ulama muslim. Sebagai negara mayoritas muslim, menjadikan agama sebagai landasan dominasi tradisional adalah salah satu cara Rizieq dalam memperoleh dukungan secara luas.

Kemudian dalam konteks dominasi kharismatik, seorang pemimpin akan mendapatkan dukungan ketika ia memiliki karakter dan dianggap berkharisma. Tak ada yang meragukan pesona kharisma Habib Rizieq jika mendengar cermah dan orasi-orasi politiknya. Statusnya sebagai Imam Besar FPI tentu adalah bukti bahwa ia adalah sosok yang berkharisma.

Sementara dalam konteks dominasi legal rasional, seorang pemimpin memperoleh keabsahanya dalam memimpin melalui proses yang menggunakan aturan. Misalnya, menjadi Presiden atau Kepala daerah harus melalui syarat Pemilu atau electoral threshold. Dominasi model inilah yang belum dimiliki oleh Rizieq.

Mungkin saja, pada Pemilu 2019, ketika kubu yang didukungnya memenangkan pertarungan politik tersebut, Rizieq juga berpeluang akan menjadi bagian dari pemerintah dengan menduduki jabatan strategis tertentu.

Setara Fethullah Gulen?

Apakah berlebihan menyamakan sosok Habib Rizieq dengan Fethullah Gulen, seorang Islamis dari Turki tersebut ?

Dalam konteks gerakan politik, hal ini tentu saja memungkinkan. Kesamaan Gulen dan Rizieq bisa terlihat dari pengaruh mereka dalam politik karena mereka memiliki massa yang cukup besar di masing-masing negara.

Jika menelisik sepak terjang politik Gulen ke belakang, ia adalah penggagas Gulen Movement atau yang dikenal sebagai  Hizmet atau Jamaat yang eksis pada era 80-an hingga sekarang. Gerakan ini berpengaruh sangat besar pada kebangkitan Islam di Turki – negara yang menjalankan praktik politik sekuler sejak diubah menjadi republik pada 1922-1923.

Fethullah Gulen. (Foto: istimewa)

Haluan politik Gulen pada saat itu memang berseberangan dengan pemerintah Turki yang menganut sekulerisme. Hingga pada tahun 1999, Gulen pindah ke AS untuk menghindari kemungkinan ia akan diadili terkait gerakan islamisnya, terutama atas pernyataan yang mendukung sistem negara Islam.

Selama dalam pengasingan pun Gulen masih dituduh sebagai dalang di balik upaya kudeta pemerintah Turki pada 2016 lalu. Selain itu, melalui gerakan pendidikan, Gulen dituduh menyebarkan haluan politiknya. Erkan Akcay, Wakil Ketua Partai Gerakan Nasionalis yang adalah salah satu partai oposisi, menuduh Gulen bertanggung jawab atas upaya kudeta.

Dalam hubungannya dengan konteks pelarian Rizieq, secara legitimasi, Gulen juga memiliki elemen dominasi tradisionalis dan kharismatik dalam model kepemimpinannya, mengingat gerakan Hizmet sangat krusial dalam membantu membangun legitimasi sosoknya.

Tak berbeda dengan Gulen, meski hampir setahun ”mengungsi” ke Arab Saudi, Rizieq Shihab juga dianggap masih memiliki pesona politik.

Bahkan, beberapa politisi rela melawat ribuan kilometer jauhnya hanya demi bertemu Imam Besar FPI ini – hal yang menunjukkan kuatnya legitimasi politik. Beberapa calon kepala daerah misalnya mengunjungi Rizieq sebelum gelaran Pilkada beberapa waktu lalu.

Bahkan Prabowo Subianto, capres nomor urut 2 dari Partai Gerindra bersama Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais dan Ketua Umum PKS Sohibul Iman pernah menemui Rizieq, tentu saja berkaitan dengan dukungan politiknya.

Hal yang menggelitik, kubu Jokowi pun tak melewatkan upaya melakukan lobi politik kepada Rizieq, mengingat sang ulama selalu keras kepada Jokowi. Politikus PDIP Erwin Moeslimin Singajuru juga pernah bertemu Rizieq.

Kunjungan tersebut semakin menguatkan asumsi bahwa Rizieq memiliki kontrol politik yang cukup kuat. Terlebih para politikus terkesan berupaya memaksimalkan basis suara dari Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF Ulama dan FPI melalui usahanya bertemu Rizieq. Basis suara ini memang secara tradisional punya ikatan terhadap Rizieq dan akan memudahkan para politikus untuk meningkatkan peluang keterpilihannya.

Berstatus sebagai pelarian politik, baik Gulen maupun Rizieq nyatanya tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam politik nasional di masing-masing negara. Jika Gulen dituduh menggerakkan kudeta dari AS, bahkan ia ditetapkan sebagai teroris oleh pemerintah Turki, maka bukan tidak mungin Rizieq juga memiliki bakat yang sama.

Kini, Gulen dan Rizieq tengah menghadapi rezim yang berbeda haluan politik di masing-masing negara. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pernyataanya di surat kabar Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung meminta Jerman menetapkan gerakan Fethullah Gulen sebagai organisasi teroris.

Sementara Rizieq hari ini menghadapi pencekalan di Arab Saudi – hal yang oleh beberapa pihak dituduhkan kepada aparat dan pemerintah Indonesia sebagai dalangnya. Bahkan anggota Tim Advokasi GNPF, Nasrulloh mencurigai ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan mencegah Rizieq kembali ke Indonesia.

Apakah pencekalan Rizieq terkait dengan agenda pilpres 2019? Semuanya masih menjadi misteri. Yang jelas, baik Rizieq maupun Gulen adalah para pejuang politik dengan basis gerakannya masing-masing. Pada akhirnya masyarakat tinggal menantikan sejauh apa kiprah mereka mempengaruhi rezim yang berkuasa di negara masing-masing. (M39)

Exit mobile version