Verrell Bramasta menambah “amunisi artis” yang akan digunakan PAN jelang kontestasi elektoral 2024. Sebelumnya, ada nama Pasha Ungu, Denny Cagur, hingga Uya Kuya yang memutuskan untuk join PAN. Lalu, mengapa para artis itu memilih PAN? Mungkinkah PAN mampu mengelak dari prediksi tak lolos parlemen dengan sokongan mereka?
“Partai Artis Nasional”, begitu julukan serta kepanjangan unik yang kiranya semakin relevan setelah Verrell Bramasta bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Bukan tanpa alasan julukan itu muncul. Sebelumnya, sederet nama artis telah memutuskan berpartisipasi dalam politik praktis dengan menjadikan PAN sebagai kendaraan politiknya.
Mulai dari Eko Patrio, Desy Ratnasari, Primus Yustisio, Pasha Ungu, Denny Cagur, Uya Kuya, hingga Elly Sugigi mendapatkan keanggotaan di partai besutan Zulkifli Hasan itu.
Verrell sendiri secara resmi diperkenalkan di Kantor DPP PAN Jakarta pada hari Kamis 9 Februari kemarin lusa. Dia mengikuti jejak sang ibunda Venna Melinda yang pernah terjun ke dunia politik, namun di bawah bendera Partai Demokrat.
Dihadiri Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN Viva Yoga Mauladi, Verrell direncanakan akan ikut bertarung sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI di daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Selain sebagai caleg, Verrell juga diproyeksikan menjadi kandidat pimpinan sayap pemenangan partai di Pemilu 2024, yakni Ketua Milenial PAN.
Proyeksi itu agaknya menjadikan sosok artis sendiri seolah bukan hanya sebagai pemanis semata di struktur organisasi PAN. Eko Patrio, misalnya, yang kini telah menduduki jabatan strategis di partai sebagai Ketua DPW PAN DKI Jakarta. Posisi yang dia rengkuh setelah pertama kali bergabung PAN sejak Pemilu 2009 silam.
Namun, eksistensi sederet nama artis tampaknya belum menjadi jaminan pasti atas performa fantastis PAN di Pemilu 2024. Setidaknya itu yang dicerminkan hasil survei LSI Denny JA yang dirilis pada hari Selasa 7 Februari lalu.
Peneliti LSI Denny JA Ardian Sopa menyebut PAN sebagai partai parlemen petahana, bersama PPP, yang tak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold di 2024.
Dalam jajak pendapat LSI Denny JA, PAN hanya merengkuh 1,9 persen dari 4 persen minimal suara yang dibutuhkan untuk lolos ke Senayan.
Lalu, kembali ke konteks bergabungnya sejumlah nama artis jelang 2024, mengapa mereka memilih PAN sebagai kendaraan politik? Dan sebaliknya, mengapa PAN seolah mengandalkan artis? Akankah kehadiran mereka berkontribusi menyelamatkan partai dari ramalan gagal lolos parlemen?
Politik Kerja Sampingan?
Paling tidak, sejak tiga edisi Pemilu terakhir, politisi Indonesia tak lagi hanya diisi mereka yang berlatar belakang militer atau pebisnis, tetapi juga mulai menarik minat para pelaku seni, khususnya artis.
Jika sebelumnya mereka hanya sebagai bintang tamu untuk menarik massa dalam kampanye politik, turut menceburkan diri ke politik praktis seakan menjadi “jalan ninja” yang akhirnya ditempuh sejumlah artis.
Memiliki basis penggemar yang dapat dikonversi menjadi dukungan elektoral membuat simbiosis mutualisme di antara partai politik (parpol) dan artis merupakan relasi logis yang dapat dipahami secara kasat mata.
Ihwal yang kerap disebut sebagai fenomena selebriti politik sebagaimana dijelaskan Darrell M. West dan John Orman dalam bukunya yang berjudul Celebrity Politics.
Di dalam buku tersebut, West dan Orman melihat evolusi dan dampak politik selebriti di Amerika Serikat (AS). Sampel Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger menggambarkan bagaimana dunia politik dan Hollywood terjalin.
Menariknya, di era Reagan dan Schwarzenegger substansi seolah begitu diperhatikan. Kedua aktor berhasil naik ke tampu kekuasaan berkat benar-benar profesional dalam meniti setiap proses politik — dari kampanye dan pemilihan hingga pemerintahan, lobi, dan pembuatan undang-undang, dan implikasi jangka panjang dari tren tersebut.
Akan tetapi, tuntutan politik yang lebih pragmatis ditambah dengan perkembangan media yang tak lagi mengandalkan televisi seperti di era Reagan, membuat substansi yang dibawa seolah menjadi nomor dua.
Ditambah, persaingan di sistem pemilihan langsung menjadikan popularitas tanpa rekam jejak konkret di bidang politik dan pemerintahan membuat artis memiliki panggung yang lebih mudah, bahkan jika dibandingkan kader asli sebuah parpol.
Tak hanya seolah terlihat dari kemunculan para artis politik di Indonesia, contoh Amitabh Bachchan di India dan Volodymyr Zelenskyy di Ukraina seakan menggambarkan esensi popularitas itu, dibandingkan gagasan dan muara konkret atas sebuah persaingan politik yang representatif bagi rakyat.
Jika gagal di politik, para artis masih bisa kembali ke dunia hiburan. Jika berhasil dan ingin kembali pun, pintu dunia hiburan kemungkinan besar masih terbuka.
Dari segi pendapatan, meski tak bisa digeneralisir, sebagai politisi dengan jabatan publik barangkali tak sebesar yang mereka dapatkan di dunia hiburan. Khususnya mereka yang sedang berada di puncak ketenaran.
Akan tetapi, jabatan publik tampaknya dilihat cukup menggiurkan sebab menawarkan berbagai fasilitas plus-plus, utamanya status sosial lebih. Bahkan bagi para artis yang tak sedang “di atas angin” dan hanya mengandalkan kontrak, menjadi politisi dan bersaing merengkuh jabatan publik boleh jadi merupakan opsi yang lebih logis.
Sementara bagi parpol, diperkuat para artis tentu menjadi solusi instan merengkuh suara di tengah idealisme kaderisasi kader yang seolah semakin tak menemui relevansinya di depan konstituen. Terutama, jika berkaca pada jumlah kader binaan dan tingkat elektabilitasnya.
Lalu, kembali ke konteks gelombang masuknya artis ke PAN, mengapa partai berlambang matahari putih itu yang dipilih?
Lebih Masuk Akal?
Saat ini, PAN memang bukan satu-satunya parpol yang diperkuat artis. Tetapi, bergabungnya Verrell dan sejumlah nama artis lain bisa dikatakan menjadi yang terbanyak jelang 2024.
Jika diamati, setidaknya ada tiga alasan mengapa sederet nama artis bergabung ke PAN belakangan ini.
Pertama, kemungkinan besar dikarenakan preseden “artis pionir” di PAN yang selalu lolos ke parlemen. Eko Patrio, misalnya yang berhasil menjadi anggota DPR di tiga periode beruntun sejak Pemilu 2009. Bahkan, pada Pemilu 2019, dia berhasil merebut 104.564 suara di daerah pemilihan (Dapil) DKI Jakarta I.
Terdapat pula nama Primus Yustisio yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2019-2024) dari Dapil Jabar V dengan 86.983 suara. Tak ketinggalan, ada nama Desy Ratnasari (DPR RI 2019-2024) dari Dapil Jabar IV yang berhasil merengkuh 86.450 suara.
Kedua, PAN juga minim kader binaan prominen dengan popularitas tinggi jika dibandingkan parpol lain yang eksis sejak reformasi. Di titik ini, artis yang berambisi di politik seolah memiliki ruang dan peluang. Bagi partai pun kiranya demikian. Ihwal yang membuat frasa “simbiosis mutualisme politik” seolah dapat bekerja.
Ketiga, PAN kiranya begitu lihai memainkan apa yang dikatakan sebagai strategi politik gurita sebagaimana dijelaskan Tanguy Struye de Swielande dalam The Octopus Strategy.
Itu digunakan de Swielande untuk menjelaskan taktik menebar tentakel pengaruh Tiongkok sebagai opsi politik luar negerinya yang agresif, analogi serupa kiranya juga dapat digunakan untuk kelihaian PAN menebar tentakel artisnya demi jangkauan integratif dan akumulatif elektoral.
Keberhasilan Eko Patrio, Primus, dan Desy Ratnasari kiranya tak lepas dari strategi jitu PAN menempatkan nama tenar di dapil potensial, yakni jumlah suara dengan persentase besar yang dapat berkontribusi bagi suara PAN secara nasional.
Inilah yang membuat PAN kemungkinan tak akan terpengaruh dengan prediksi tak lolos parlemen sebagaimana dirilis oleh LSI Denny JA beberapa waktu lalu.
Lantas, akankah di Pemilu 2024 PAN benar-benar akan tampil fantastis dengan para artis di belakangnya? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)