Rasisme menjadi salah satu pemicu gelombang protes dan kerusuhan yang sejak dua minggu ke belakang terjadi di Papua. Selain oknum warga dan organisasi masyarakat (ormas), tindakan rasisme juga ditengarai melibatkan setidaknya 5 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Lalu apakah mungkin prajurit ataupun institusi TNI yang seharusnya menjunjung tinggi ke-Bhinekaan melakukan tindak rasisme?
PinterPolitik.com
Menurut Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, rasisme adalah segala bentuk diskriminasi yang dilakukan terhadap suatu individu atau kelompok berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul etnis yang melekat pada individu atau kelompok tersebut.
Rasisme ini bisa dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun secara sistematis oleh institusi tertentu termasuk negara.
Sejauh ini ada 5 prajurit TNI yang dibebastugaskan dan diperiksa terkait tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Kelimanya merupakan anggota dari Komando Resor Militer (Koramil) 0831/02 Tambaksari.
Dari video yang beredar secara luas di media sosial, oknum-oknum TNI tersebut diduga mengeluarkan perkataan-perkataan yang tidak pantas dan berbau rasis kepada mahasiswa Papua di Surabaya. Lalu, seperti apa hal ini harus dimaknai?
Prajurit Rasis?
Rasisme yang dilakukan oleh prajurit ataupun terjadi di institusi militer, bukanlah hal yang baru, setidaknya di negara lain.
Militer Amerika Serika (AS) adalah angkatan bersenjata yang mungkin paling “lengkap” sejarah rasismenya. Sejarah memperlihatkan bahwa sejak pertama kali dibentuk, rasisme masih menghantui militer AS.
Setidaknya hingga Perang Korea di tahun 1953, prajurit-prajuirt AS dipisahkan berdasarkan etnisnya serta prajurit-prajurit non-kulit putih dibatasi pangkat, jabatan, hingga tanda jasa yang dapat diterima.
Persoalan di tubuh militer AS ini tidak lepas dari sejarah perbudakan dan rasisme yang diberlakukan oleh orang kulit putih terhadap mereka yang non-kulit putih, khususnya kepada orang kulit hitam keturunan Afrika.
Meskipun saat ini secara institusi militer AS sudah tidak mentolelir segala bentuk rasisme, secara individu tindakan rasisme masih dilakukan oleh oknum-oknum prajurit AS, baik terhadap sesama prajurit ataupun terhadap masyarakat sipil.
Selain AS, militer negara lain juga menghadapi masalah rasisme yang dilakukan oleh prajuritnya.
Beberapa contoh misalnya kasus rasisme di militer Australia yang menimpa suku Aborigin, rasisme prajurit Israel terhadap warga Palestina, dan tentara Inggris terhadap orang kulit hitam.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mengapa seorang prajurit ataupun institusi militer yang seharusnya melindungi seluruh masyarakatnya malah melakukan tindakan rasisme?
Menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Soldier and the State, institusi militer manapun di dunia dibentuk oleh dua hal, yaitu oleh ancaman yang ada dan oleh nilai-nilai sosial, ideologi, serta institusi dominan yang ada di masyarakatnya.
Oleh karena itu, menurut Huntington militer suatu negara adalah refleksi dari nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat negara tersebut.
Dengan kata lain, apa yang dianggap benar dan dilakukan oleh masyrakat suatu negara juga dianggap benar dan dilakukan oleh militernya.
Adanya kesamaan nilai atau cara pandangan antara militer dengan masyarakat sipil ini terjadi karena prajurit-prajurit yang membentuk institusi militer berasal dari masyarakat itu sendiri.
Hubungan atau kesamaan ini juga berlaku pada kasus rasisme yang dilakukan oleh prajurit ataupun institusi militer.
Menurut Alan M. Osur, rasisme sistematis yang dulu terjadi di militer AS merupakan refleksi dari sebagan besar masyarakat AS yang pada waktu itu, juga rasis. Oleh karena itu, petinggi militer ataupun pemerintah AS tidak merasa salah dan membiarkan tindakan rasisme yang dilakukan prajuritnya.
Lalu, apakah ini yang terjadi dalam kasus di Surabaya? Bahwa oknum TNI, jika benar terbukti, merefleksikan rasisme masyarakat Indonesia terhadap orang asli Papua (OAP)?
Kesalahan Bersama?
Dalam beberapa kasus, harus diakui bahwa OAP memang mendapat perlakuan rasisme dari sebagian masyarakat Indonesia.
Menurut Tamar Soukotta, rasisme terhadap OAP memang dialami oleh masyarakat Papua secara umum baik secara fisik, ekonomi, perilaku, serta cara pandang masyarakat Indonesia dalam memberikan perhatian ke Papua.
Kasus rasisme lainnya adalah mahasiswa asal Papua di Yogyakarta yang beberapa kali ditolak ketika mencari tempat kos.
Rasisme juga diduga dilakukan oleh aparat keamanan yang beberapa kali mendatangi asrama mahasiswa Papua dengan kekuatan lengkap tanpa alasan yang jelas, selain hanya karena dasar kecurigaan terhadap aktivitas mahasiswa Papua.
Rasisme ini terjadi karena adanya generalisasi atau stereotype negatif masyarakat terhadap orang Papua seperti “tidak berpendidkan”, “tukang mabuk” dan “kasar”.
Selain itu, rasisme juga terjadi karena adanya stigmatisasi terhadap OAP yang danggap sebagai pemberontak atau separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Stigma inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan dan berpotensi dijadikan sebagai legitimasi bagi oknum masyarakat atau aparat keamanan untuk melakukan tindakan rasisme terhadap OAP.
Terjadinya rasisme di Surabaya juga bisa jadi dipicu oleh gesekan antara mahasiswa Papua dengan sebagian masyarakat dan aparat keamanan di Surabaya yang sudah terjadi setidaknya sejak 2015.
Sejauh ini, pemerintah dan TNI sudah menyatakan bahwa mereka akan menindak tegas oknum TNI yang terbukti melakukan rasisme di Surabaya. Pun saat ini dari 5 prajurit, penyelidikan sudah terfokus ke 2 prajurit.
Namun upaya penyelidikan pemerintah dan TNI terhadap dua anggotanya bisa jadi tidak meredam masalah.
Sejauh ini, baik pemerintah maupun tokoh Papua meminta semua pihak untuk menahan diri. Pemerintah juga berjanji akan mengusut tuntas ujaran berbau rasisme yang diterima mahasiswa Papua.#PapuaAdalahIndonesia #PapuaIndonesia#Papua
Semoga cepat selesai ya masalah di Papua pic.twitter.com/fuNSFhidnX
Hal ini berkaitan dengan akuntabilitas pengadilan militer yang sering dipertanyakan oleh aktivis-aktivis HAM, terutama dalam hal transparansi.
Permasalahan akuntabilitas ini juga sudah diutarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mengatakan bahwa oknum TNI yang terkait kasus rasisme harus diadili oleh peradilan umum, bukan peradilan militer.
Selain masalah akuntabilitas pengadilan militer, rasisme bukan satu-satunya sumber konflik Papua.
Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tindakan diskriminasi seperti rasisme hanya menjadi salah satu dari 4 sumber konflik Papua.
Oleh karena itu, kalaupun pemerintah berhasil menyelesaikan kasus rasisme kemarin, nampaknya jalan perdamaian untuk Papua masih panjang.
Memang, perlu dilakukan survei atau kajian lebih mendalam lagi mengenai seberapa besar rasisme yang diterima oleh OAP dari masyarakat Indonesia.
Namun, dengan kejadian-kejadian yang ada, bukan hal yang mustahil bila tindakan rasisme oknum TNI terhadap mahasiswa Papua merupakan refleksi terhadap rasisme yang juga dilakukan oleh masyarakat.
Jika terbukti bersalah, rasisme yang dilakukan oknum TNI ke mahasiswa Papua adalah suatu ironi mengingat tidak sedikit OAP yang juga menjadi prajurit TNI, bahkan hingga pangkat jenderal. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.