Insiden pembakaran poster besar bergambar Habib Rizieq Shihab pada demonstrasi di depan gedung DPR/MPR pada Senin lalu berbuntut panjang. Aksi yang dinilai sebagai bentuk provokasi itu mendapat respon minor yang cukup keras, bahkan dari sejumlah elite dan tokoh politik terkemuka di tanah air. Lantas, mengapa aksi pembakaran foto imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu menjadi isu yang memiliki signifikansi tersendiri dalam perpolitikan di tanah air?
PinterPolitik.com
Memang secara akal sehat, bentuk apapun dari tindakan yang cenderung memberikan kesan menyerang ataupun melecehkan secara personal terhadap sosok tertentu akan berdampak negatif.
Apalagi bentuk dari tindakan tersebut dipresentasikan dengan aksi simbolik yang secara norma berada di level terendah seperti pengerusakan, menginjak-injak, hingga membakar simbol ataupun gambaran dari sosok yang punya pengaruh tertentu.
Tengok saja demonstrasi dari sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Gerakan Jaga Indonesia (GJI) dalam aksi yang bertajuk “Kawal Pancasila dan NKRI”. Aksi itu berkonklusi pada pembakaran poster besar bergambar sosok imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang diakui oleh koordinator massa, Susilo Budiono Djarot, memang sengaja dibawa sebagai alat peraga aksi.
Sayangya, aksi pembakaran yang memang dinilai tidak perlu itu direkam dan disebarluaskan yang kemudian seketika memantik murka dari berbagai pihak, terutama massa dari FPI, GNPF Ulama, hingga PA 212. Ketua DPP FPI, KH Sobri Lubis bahkan dengan keras merespon insiden tersebut sebagai aksi pelecehan fatal dan menegaskan bahwa FPI siap berperang dengan mereka yang melecehkan sang imam besar.
Faktanya, tidak hanya mereka yang terkait langsung dengan Rizieq, politisi seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Said Didu, hingga Hidayat Nur Wahid turut berkomentar keras pada aksi pembakaran yang tidak perlu tersebut dan meminta agar pihak berwenang menyelidikinya hingga tuntas.
Insiden pembakaran simbol yang memiliki nilai signifikansi tersendiri belum lama ini juga dialami oleh PDIP. Pada akhir Juni lalu, di lokasi yang sama dengan insiden pembakaran foto Rizieq, bendera PDIP dibakar sekelompok massa dan mendapat respon keras dari kader dan simpatisan partai banteng.
Lalu, mengapa insiden pembakaran simbol, baik itu pada konteks poster bergambar Rizieq ataupun bendera PDIP menjadi sebuah isu yang sangat signifikan dan seolah meningkatkan elevasi tensi sosial dan politik di tanah air?
Singapura dan Korsel sudah memasuki masa resesi. Duh. #politik #pinterpolitik #poster #johnwickhttps://t.co/MaVGSwyp8e pic.twitter.com/RMCA4VAeta
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 30, 2020
Esensi Identitas dan Nilai
Sebelum secara spesifik mengupas mengenai signifikansi dari sebuah pembakaran simbol yang merepresentasikan sosok tertentu, memahami esensi serta makna dari simbol itu sendiri menjadi penting untuk mengetahui bagaimana sebuah simbol dapat berpengaruh pada cara berfikir dan tindakan manusia.
Manusia, dalam perkembangan peradabannya menggunakan simbol sebagai sebuah media untuk menaruh berbagai makna esensial. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Rollo May dalam The Sigficance of Symbols, yang menegaskan bahwa berbagai bentuk simbol, baik gambar, patung, hingga benda tertentu, merupakan media dan orientasi bagi persatuan dan kepercayaan bersama manusia sejak ribuan tahun lalu.
May menambahkan, simbol yang menjadi objek bagi peletakan sebuah identitas dan nilai yang diyakini bersama sangat berpengaruh pada tindakan dan kepercayaan manusia secara filosofis dan psikologis.
Dengan kata lain, sejak simbol menjadi objek berbagi nilai dan kepercayaan bersama manusia, berbagai bentuk perlakuan ofensif pada simbol tertentu dinilai akan menimbulkan konsekuensi konfliktual.
Apa yang menjadi intisari tulisan May di atas dapat menjadi pijakan dalam memahami bagaimana reaksi dari pembakaran dua simbol yang merepresentasikan dua spektrum berbeda di tanah air belakangan ini.
Pada insiden pembakaran bendera PDIP serta foto Rizieq Shihab misalnya, terdapat upaya mendiskreditkan sebuah simbol yang telah mengakar bagi kelompok yang selama ini berpegang teguh pada nilai filosofis dari simbol tersebut.
Duh, emang kesejahteraan tentara di perbatasan harus jadi prioritas. #politik #pinterpolitik #infografis https://t.co/P4lynHrLOB pic.twitter.com/Xh3J5NV4qJ
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) July 28, 2020
Jika kita menempatkan diri dan terafiliasi secara filosofis sebagai anggota PDIP ataupun anggota dari berbagai organisasi yang dipimpin dan juga dipengaruhi secara ideologis oleh Rizieq. Tentu resonansi minor akan timbul terhadap aksi pembakaran terhadap simbol yang selama ini melekat sebagai sebuah identitas, kebanggaan, atau bahkan pegangan hidup kita itu.
Lalu, jika secara mendalam bergeser pada aspek politis dari pembakaran tersebut, tendensi apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Bahaya Political Voodoo
Laksiri Fernando, seorang profesor senior di University of Colombo mendeskripsikan bagaimana aksi-aski pembakaran terhadap sebuah simbol yang merepresentasikan sosok tertentu memiliki beragam makna mendalam tersendiri, yakni menjadi sebuah ritual keagamaan, peringatan peristiwa tertentu, sebagai bentuk protes, hingga hasutan atau provokasi, ekspresi kebencian maupun simbolisasi pembalasan.
Dalam sebuah publikasi berjudul Burning of Effigies Should be Banned, Fernando menjabarkan aspek historis beberapa pembakaran simbol, baik berupa patung maupun gambar dari sosok tertentu sebagai sebuah momen bermakna sakral.
Di Yunani dan beberapa negara di Amerika Latin misalnya, setiap menjelang paskah, umat Kristiani Ortodoks di negara-negara itu memperingatinya dengan membakar berbagai simbol yang terkait dengan Yudas Iscariot sebagai refleksi khusyuk pada sosok yang mengkhianati Kristus.
Sementara di negeri Ratu Elizabeth, Inggris, pembakaran simbol yang mencerminkan Guy Fawkes dilangsungkan komunitas Protestan sebagai ungkapan pembalasan atas tragedi percobaan serangan ke Parlemen Inggris dan Kerajaan pada tahun 1605.
Pada perspektif historis dan sosial budaya non-Barat, terdapat tradisi pembakaran simbol sosok Rahwana pada festival Hindu Dussehra, untuk memperingati kemenangan Rama atas Raja Alengka tersebut.
Fernando juga menyebutkan istilah menarik, yakni political voodoo, yang merupakan aksi pembakaran simbol atas sosok tertentu yang masih hidup dan memiliki signifikansi tersendiri, baik secara sosial, budaya, agama, maupun politik karena dianggap sebagai musuh.
Political voodoo disoroti Fernando jamak dilakukan sebagai upaya ancaman, hasutan, sekaligus provokasi pada konflik yang terjadi dalam konfontasi antara masyarakat Tamil dan Muslim di Sri Lanka yang menjelma menjadi isu politik nasional. Pemaknaan, potensi konflik atau kekerasan yang signifikan inilah yang menjadikan Fernando sampai pada kesimpulan bahwa praktik political voodoo semacam ini harus dilarang secara hukum dengan berbagai konsekuensi minor yang telah dan berpotensi eksis.
Mengacu pada konsep political voodoo yang dikemukakan Fernando beserta konsekuensinya, tak sulit kiranya untuk menyelaraskannya dengan insiden pembakaran bendera PDIP maupun foto Rizieq Shihab.
Khusus pada insiden terakhir, insiden pembakaran tersebut dinilai memiliki siginfikansi tersendiri ketika Rizieq Shihab merupakan sosok esensial bagi para pengikutnya, baik tidak hanya dari aspek religiusitas, namun juga secara sosial dan politik.
Seperti yang selama ini diketahui, FPI lahir pada akhir dekade 90-an dari keberhasilan seorang Habib Rizieq Shihab menyatukan para Habaib, Ulama, Mubaligh, dan Aktivis Muslim terkemuka dalam merespon pergolakan sosial dan politik bangsa kala itu.
Determinasi FPI dengan ideologinya membuat kharisma Rizieq melambung dan kemudian ditasbihkan sebagai imam besar organisasi tersebut hingga kini. Rizieq dan FPI bahkan menjelma menjadi kekuatan yang berpengaruh besar dalam konstelasi politik Indonesia yang secara gamblang mereka tunjukkan pada pesta demokrasi DKI Jakarta 2017 serta Pilpres 2019 lalu.
Kendati acapkali diterpa isu minor pada berbagai kasus kontroversial, pengikutnya hanya menganggap hal tersebut sebagai fitnah dan Rizieq tetap disegani dan diteladani bahkan meski saat ini ia memilih untuk tidak dapat hadir secara fisik.
Oleh karena itulah, upaya mendiskreditkan Rizieq melalui pembakaran foto bergambar dirinya mendapat respon keras. Tidak hanya dari para pengikutnya, namun juga dari elite level tertinggi di tanah air, yang dinilai sadar akan kemungkinan meruncingnya tendensi konfliktual atas bentuk provokasi terhadap tokoh dengan pengaruh vital tersebut.
Motif, termasuk kemungkinan unsur politis di balik pembakaran foto Rizieq tersebut memang masih abu-abu jika merujuk pada sosok kunci di balik elemen masyarakat yang terlibat dalam demonstrasi tersebut.
Namun demikian, siapapun dan apapun motif pihak yang terlibat dibalik insiden pembakaran foto Rizieq, semestinya memang harus mendapatkan konsekuensi tertentu jika mengacu pada berbahayanya upaya ofensif terhadap sebuah simbol seperti yang dikemukakan May dan Fernando sebelumnya.
Kinerja aparat berwenang dalam membongkar kasus serta menyeret para pelaku menjadi kunci jika memang kubu yang dirugikan, dalam hal ini FPI, menempuh jalur hukum. Tentunya agar aksi provokatif, preseden negatif, ataupun potensi konfliktual yang ada dapat diredam lebih cepat dan tidak berlarut-larut sehingga menjadi semacam “bom waktu” tersendiri. Itulah harapan kita bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.