HomeNalar PolitikDi Balik Zeitgeist Digital Anies

Di Balik Zeitgeist Digital Anies

Anies Baswedan puji kreator konten yang dianggapnya mampu menawarkan pengalaman atas infrastruktur yang dibangunnya. Pujian Anies kontras dengan pejabat negara dan politisi yang gunakan buzzer untuk propaganda politik. Apakah pujian ini sarat makna dan langkah maju Anies pada 2024?


PinterPolitik.com

Saat membuka Indonesia Content Creator Summit (ICCS) 2021, Anies sebut sejumlah kontribusi konten kreator pada pembangunan. Anies menyebut dirinya hanya mampu siapkan hard infrastructure, sedangkan konten kreator bisa mengubah infrastruktur menjadi pengalaman. Mereka mampu menawarkan perspektif beragam soal infrastruktur dan merangsang tumbuhnya suasana berkreasi di fasilitas umum Jakarta.

Anies menyoroti kondisi infrastruktur di masa pandemi untuk mendukung pernyataannya tersebut. Dengan tangan terampil konten kreator, Anies melihat masyarakat jadi tertarik untuk menikmati suasana di JPO Sudirman. Setting pandemi seperti kota sepi, langit biru cerah juga bisa dimanfaatkan oleh konten kreator juga untuk produktif berkarya di momen langka ini.

Anies boleh dibilang punya perhatian khusus soal ini. Pada tahun 2019, Anies berjanji di ICCS 2019 untuk buat Jakarta menjadi sebuah tempat di mana kreator konten bisa berkreasi. Pada tahun 2020, Pemprov DKI Jakarta luncurkan program internet gratis JakWIFI untuk warga Jakarta dengan harapan warga Jakarta bisa menciptakan informasi, bukan hanya konsumen informasi, dan informasi tersebut bisa disampaikan ke dunia internasional.

Baca Juga: Arti Anggrek Anies untuk Susi

Memang belakangan ini pejabat negara terus gunakan influencer untuk ragam kepentingan. Jokowi, misalnya alokasikan Anggaran Rp 72 miliar untuk influencer edukasi soal Covid-19. Ridwan Kamil, buat program anak muda untuk menjadi Ajudan Gubernur dalam program Jabar Future Leaders untuk memberi tahu proses pengambilan keputusan dalam Pemerintahan dan para pendaftar harus meng-upload video satu menit soal alasan mengapa mereka layak dipilih.

Namun, tidak satupun dari keduanya bicara soal pengalaman yang bisa ditawarkan oleh influencer. Alih-alih pengalaman, influencer cukup turuti saja titah konten dari keduanya. Kontras tersebut menimbulkan tanya, mengapa Anies menggunakan strategi berbeda dari Jokowi dan Ridwan Kamil soal kreator konten?

- Advertisement -

Zeitgeist Digital Anies

Beda strategi Anies ini dikarenakan Anies telah melalui apa yang disebut Monika Krause sebagai zeitgeist. Dalam artikelnya berjudul What is Zeitgeist? Examining period-specific cultural patterns, Krause mendefinisikan Zeitgeist sebagai pergeseran zaman yang ditandai adanya perubahan budaya dalam sebuah masyarakat. Perubahan budaya ini spesifik pada konteks tertentu dan tidak terikat oleh periode tertentu, dengan demikian perubahan ini tidak bisa disamakan antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Konsep zeitgeist juga digunakan untuk menganalisis masyarakat digital. Juliana Baptista dan Cláudio Bertolli Filho dalam artikelnya Cultura, Identidade e o Zeitgeist Digital menggunakan Istilah zeitgeist digital untuk menggambarkan sebuah momen di mana masyarakat memahami dunia dipengaruhi secara digital di sebuah zaman.

Momen tersebut muncul seiring warga negara secara bertahap bermigrasi ke media online dan di sana. Mereka bukan hanya konsumen pasif, tetapi produsen konten yang juga kritis dan agregator informasi.

Zeitgeist digital dapat dilihat pada momentum Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 yang boleh dibilang Anies adalah superstar pada momen itu. Merlyna Lim dalam artikelnya Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia menjelaskan telah terjadi transisi penggunaan media sosial sebelum dan selama 2017.

Baca juga :  Pedang Bermata Dua Anies?

Pada 2008, penggalangan dana masif melalui laman Facebook Koin Prita menjadi contoh media sosial digunakan untuk mengorganisir orang dalam hal positif. Penggalangan dana ini juga telah membentuk dunia digital yang di mana anak muda perkotaan berpartisipasi dalam clicktivism (aktivisme dengan mengklik dan me-like sesuatu) dan mereka secara rutin mengakses media sosial.

Clicktivism dan kecanduan media sosial itu ternyata membawa mimpi buruk pada 2017. Pasca kasus Ahok, media sosial jelang Pilgub Jakarta diwarnai dengan kemunculan buzzer-buzzer yang menambah polarisasi politik seperti Denny Siregar sebagai Pro-Ahok dan Jonru Ginting sebagai Pro-Anies. Selain media sosial, kunjungan atas website-website Pro-Ahok dan Pro-Anies meningkat signifikan. Website Pro-Ahok merupakan sempalan-sempalan dari website-website Islamis Pro Anies, sedangkan website Pro Anies terus membuat konten berisi serangan pada sisi personal Ahok.

Baca Juga: Anies Terjebak Dilema Untuk 2024

Lalu, apakah Anies sukses memanfaatkan corak media sosial yang polarized tersebut? Ada tiga hal yang tampaknya menunjukkan Anies lebih sukses dibanding Ahok manfaatkan situasi ini.

- Advertisement -

Pertama, strategi media sosial Anies-Sandi bisa dibilang lebih frontal dibanding Ahok–Djarot. Lebih frontal dalam arti Anies pasang badan untuk tiap konten negatif yang menyasar dirinya dan Sandi melalui video satu menit rutin dengan menampilkan berbagai konten fitnah yang ditemukan di media sosial dan mengklarifikasinya di saat itu juga. Anies-Sandi juga bentuk satgas anti-hoaks yang mereka rutin mengklarifikasi soal Anies-Sandi. Ini kontras dengan Ahok–Djarot yang hanya menerima pertanyaan yang diajukan pada siaran live.

Kedua, pada saat kampanye, Anies berpasangan dengan Sandi sudah mengidentifikasi sejumlah karakteristik dari pengguna media sosial. Misalnya, tim Anies Sandi telah melakukan survei internal dan menemukan bahwa pemilih pemula lebih suka main Facebook dibandingkan Twitter.

Survei ini juga menunjukkan bahwa masih banyak juga pemilih pemula yang masih menonton TV. Survei mereka menyimpulkan bahwa pemilih pemula tidak akan terpengaruh hashtag provokatif buatan buzzer.

Ketiga, tim Anies–Sandi mengidentifikasi bahwa pemilih pemula cenderung apatis, tidak aktif berpolitik dan masih membayangkan politik sebagai sesuatu yang abstrak. Ini membuat konten-konten politik di media sosial dirasa kurang cocok untuk pemilih pemula.

Namun, setelah sukses besar Anies dalam Pilgub DKI Jakarta, sosok Anies kini berubah lagi. Anies tak lagi frontal seperti kampanye digitalnya. Justru Anies kini lebih banyak terlihat nongkrong di warung jika kita lihat Instagram-nya. Gaya bermedia sosial (medsos) seperti ini bukan saja dilakukan Anies, tapi dilakukan oleh pejabat lainnya seperti Jokowi, Ganjar, dan Kang Emil.

Lantas, apakah ini cara Anies untuk merebut ruang digital lagi seperti sebelumnya dan mencoba menyaingi rival politiknya?

Politik Intim ala Anies?

“Menjual” kehidupan pribadi demi merebut suara publik telah dibahas oleh sejumlah pakar. Misalnya James Stanyer dalam bukunya Intimate Politics: Publicity, Privacy and the Personal Lives of Politicians menyebut berbagai contoh politisi di Amerika dan Eropa yang secara sengaja mengekspos kehidupan pribadi mereka.

Dengan mengekspos kehidupan pribadi, setidaknya ada dua hal yang diperoleh. Pertama, politisi tersebut akan naik daun di media dengan berbagai cerita, gosip dan rumor tentangnya. Kedua, politisi dapat mengendalikan dan mengontrol opini orang dan menjadikan cerita dan gosip itu sebagai pintu darurat untuk menyelamatkannya dari penilaian objektif atas kebijakannya.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Baca Juga: Pak Anies, Jakarta Jadi Negara Api

Anies yang makin gencar nongkrong di warung bisa dibaca sebagai usaha kerasnya untuk dilihat media. Ini tidak berlebihan mengingat Anies boleh dibilang paling bontot soal pamornya di media massa.

Lembaga survei Intermedia Research Indonesia (IRI) menyebut Anies Baswedan diberitakan di media massa sebanyak 361.000 berita. Jumlah ini sangat kecil dibanding Jokowi yang 8 kali lebih banyak diberitakan yaitu 2.460.000. Bahkan, Anies masih kalah dibandingkan dengan kawan-kawan politiknya seperti Amien Rais dengan 1.340.000 berita, Prabowo Subianto dengan 738.000 berita, dan Sandiaga Uno 440.000.

Bukan hanya media massa, Anies juga keok di media sosial. Berdasarkan hasil riset LP3ES dan Drone Emprit, pada periode 9 Mei – 8 Juni tercatat 361.329 unggahan di berbagai platform media sosial menyebut nama Anies Baswedan. Jumlah ini sangat tinggi dibanding dua pemimpin daerah lain yang juga cukup populer yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (93.100) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (109.389). Namun, Jumlah ini bukan kabar baik karena dari 75 tanda pagar (tagar) terkait Anies Baswedan, cukup banyak yang menyerang dan terbilang dominan.

Keoknya Anies di media massa dan media sosial tak berlebihan dikaitkan dengan masih galaunya Anies soal influencer. Pemerintahan Jokowi misalnya telah menggunakan anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital adalah Rp 1,29 triliun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi dari 2016 ke 2017. Ridwan Kamil tak ketinggalan membuat Jabar Command Center (JCC) yang menghabiskan Rp 5,2 miliar. Fungsi JCC salah satunya menyajikan data pemantauan media sosial yang disajikan dalam bentuk peta Jawa Barat untuk memonitor isu yang muncul.

Lalu, bagaimana dengan Anies? Anies tidak merestui rencana Anggaran Rp miliar untuk biayai lima influencer yang dianggap bisa efektif untuk promosikan Jakarta. Rencana Anggaran itu sudah dihapus sejak awal Oktober dan saat ini sudah tidak ada dalam APBD 2020.

Dengan mendorong kreator konten untuk tawarkan pengalaman dan suasana beraktivitas di infrastruktur yang dibangunnya, Anies bisa jadi tengah bereksperimen terlebih dahulu sebelum membawanya ke level kebijakan seperti Jokowi dan Ridwan Kamil. Meskipun Jokowi dan Ridwan Kamil berada posisi di atas angin soal media massa dan media sosial, ide Anies boleh dibilang inovatif dibanding Jokowi dan Ridwan Kamil yang lebih top-down soal konten infrastruktur. Top down dalam arti mereka hanya menginformasikan ke publik dan menunggu masukan di kolom komentar mereka yang ini kontras dengan ide Anies.

Mungkin, dengan menggandeng para kreator konten dan influencer, Anies dapat memperoleh eksposur yang lebih besar. Sekarang kita tunggu saja, apakah eksperimen ini akan menguntungkan Anies? (F65)

Baca Juga: Apa Pentingnya Formula E untuk Anies?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus

Detasemen Kawal Khusus (Denwalsus) buatan Prabowo menuai kritik sejumlah pihak. Ada yang menyarankan Prabowo lebih baik buat Detasemen untuk guru di Papua. Ada juga...

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya?

Perpres yang disahkan Jokowi terkait pengelolaan TMII mendapatkan perhatian publik. Pasalnya Perpres ini mencabut hak Yayasan milik keluarga Cendana yang sudah mengelola TMII selama...

Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo?

Rencana pembelian senjata dari Jepang menimbulkan pertanyaan. ini adalah kali pertama Indonesia bekerja sama dengan Jepang bidang pertahanan dan Jepang sendiri baru memasuki masa...