Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Wacana Mardigu untuk 2024

Di Balik Wacana Mardigu untuk 2024

Mardigu Wowiek Prasantyo (Foto: Pikiran Rakyat Bekasi)

Di berbagai lini media sosial, nama Mardigu Wowiek dimunculkan warganet sebagai kandidat di Pilpres 2024. Mardigu sendiri memang telah membuat konten jika dirinya menjadi Presiden RI. Lantas, fenomena sosial-politik apa yang membuat nama Mardigu mendapatkan dukungan?


PinterPolitik.com

Perceptions of a single trait can carry over to how people perceive other aspects of that person.” – Kendra Cherry, dalam Why the Halo Effect Influences How We Perceive Others

Bagi penikmat konten-konten YouTube, sekiranya tidak asing dengan Mardigu Wowiek Prasantyo atau yang akrab disapa Bossman Sontoloyo. Setelah kontennya viral, khususnya setelah mengunggah konten jika dirinya menjadi Presiden RI, tidak sedikit warganet mengharapkannya menjadi kandidat di Pilpres 2024.

Kita butuh nama segar. Begitulah kira-kira keluhan berbagai pihak. Melihat pada nama yang monoton di survei-survei elektabilitas kandidat, tidak sedikit memang yang mengaku jenuh, mengapa kebanyakan nama lama yang bermunculan.

Baca Juga: Berani Luhut Debat Mardigu?

Kebutuhan atas nama baru atau segar ini kemudian mendorong masyarakat, khususnya warganet untuk menyodorkan nama alternatif di berbagai lini media sosial. Mardigu Wowiek salah satunya.

Ini misalnya disebutkan oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) Komunitas Milenial Peduli Indonesia (Kompii) Dedy Mahendra 13 April lalu. Tegasnya, dari deretan nama yang masuk bursa pengganti Joko Widodo (Jokowi), hanya Mardigu yang merupakan nama baru.

Di luar persoalan kemungkinan Mardigu dapat maju sebagai kandidat, menarik sekiranya mempertanyakan mengapa sosok ini mendapatkan dukungan? Lalu, apa yang dapat dimaknai di balik fenomena Bossman Sontoloyo ini?

Halo Effect

Mengapa Mardigu begitu menarik? Bisa dikatakan karena narasi-narasinya yang mungkin melegakan dahaga berbagai pihak atas hasrat nasionalisme dan semangat kedaulatan. Mengutip mantan Menteri Pembangunan Internasional Jerman, Erhard Eppler, di tengah gurita arus globalisasi, peran negara yang menyempit telah melahirkan kerinduan atas wibawa dan kehadiran negara.

Dalam berbagai analisis, narasi nasionalisme dan proteksionisme ekonomi juga dipercaya sebagai faktor atas kemenangan mengejutkan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016. Entah kebetulan atau tidak, Mardigu juga mengakui ketersetujuannya atas narasi Trump.

Dalam psikologi, konteks didengarnya narasi Mardigu dapat dipahami melalui konsep halo effect. Dalam temuan psikolog Edward Lee Thorndike, halo effect adalah efek psikologi yang membuat manusia kerap kali menilai keseluruhan objek berdasarkan atas suatu impresi awal yang terlihat.

Halo effect akan membuat seseorang menilai sesuatu atau orang lain hanya berdasarkan pada single quality yang jelas terlihat, seperti kecantikan, status sosial, usia, hingga kemampuan berorasi. Ini seperti penilaian yang mengacu pada pandangan pertama.

Kendra Cherry dalam tulisannya Why the Halo Effect Influences How We Perceive Others menyebutkan, kemampuan menarik perhatian dalam impresi awal yang membuat efek psikologi ini disebut dengan “Halo”.

Bagi mereka yang baru pertama kali menyaksikan konten-konten Mardigu, mungkin akan berpikir “orang ini berbeda”. Iya, itu benar, narasinya memang berbeda dan segar jika dibandingkan sosok-sosok lain. Di tengah gelombang narasi politik identitas sejak kasus Ahok, narasi Mardigu adalah oasis.

Selain konteks halo effect, kemampuan Mardigu dalam mengonstruksi narasi juga membuatnya begitu berkarisma. Bryan Clark dalam tulisannya What Makes People Charismatic, and How You Can Be, Too memaparkan mengapa seseorang dapat memiliki karisma. Menurutnya, karisma adalah sesuatu yang dapat dipelajari.

Mengutip profesor perilaku organisasi dari Universitas Lausanne, Swiss, John Antonakis, disebutkan karisma adalah tentang memberi informasi secara simbolis, emosional, dan berbasis nilai. Karisma adalah kemampuan dalam menggunakan teknik verbal dan non-verbal.

Terkait kemampuan berkomunikasi, tidak diragukan lagi, sebagai seorang motivator, Mardigu dengan jelas memilikinya. Ia juga kerap menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing yang membuat narasinya terdengar “wah”.

Meskipun berbagai narasi Mardigu mendapat bantahan, seperti dukungannya atas printing money atau Modern Monetary Theory (MMT) maupun perubahan pernyataannya ketika menyebut pandemi Covid-19 akan berakhir setelah Pilpres AS 2020, halo effect menjadi tameng tersendiri.

Baca Juga: Mardigu, Ujian Komunikasi Pandemi Jokowi?

W. Timothy Coombs dan Sherry J. Holladay dalam tulisannya yang berjudul Unpacking the Halo Effect menjelaskan bahwa halo effect dapat berperan sebagai tameng guna menghindari kerugian reputasi di kala krisis. Artinya, bagi mereka yang sudah terlanjur menyukai narasi dan melihat sosok Mardigu begitu berkarisma, bantahan-bantahan parsial semacam itu tidak akan begitu berpengaruh.

Stephan Lewandowsky dalam tulisannya Why People Vote for Politicians They Know Are Liars juga memberikan penjelasan yang menarik. Menurutnya, ketika seseorang merasa kehilangan haknya atau berada dalam kondisi yang terpinggirkan oleh sistem politik, mereka akan cenderung menerima narasi-narasi seorang politikus yang mengklaim diri sebagai pembela “rakyat” yang melawan “kemapanan” atau “elite”.

Narasi-narasi Mardigu jelas menunjukkan keresahan publik atas keterpinggiran politik dan ekonomi. Ia mengangkat keresahan atas penjajahan ekonomi. Kita dapat bangkit dan menjadi negara besar. Dengan fakta Indonesia memiliki kekayaan alam yang begitu besar dan tengah mengalami bonus demografi, tidak sulit untuk setuju dengan narasi Mardigu. Itu adalah harapan kita semua. Kita semua menginginkannya. 

The Power of Social Media

Selain halo effect, ada satu lagi faktor besar yang membuat Mardigu mendapatkan dukungan, yakni media sosial. Dalam kajian yang berjudul Social Media – The New Power of Political Influence, media sosial disebutkan telah memberi penetrasi yang dalam atas perilaku politik masyarakat.

Demonstrasi di Filipina pada 2001, terpilihnya Barack Obama, seorang kulit hitam sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2008, pencabutan hasil pemilu yang curang di Moldavia pada 2009, dan Arab Spring di Timur Tengah pada awal 2011 memiliki satu kesamaan. Semua fenomena politik itu menggunakan media sosial untuk memobilisasi massa dan membuatnya mungkin terjadi.

Pada kasus Mardigu, selaku sosok outsider yang bukan elite partai politik, tanpa kehadiran media sosial, sulit membayangkan ia mampu mendapatkan dukungan seperti saat ini. Media sosial telah mewujudkan gagasan global village dari Marshall McLuhan. Saat ini hampir tidak ada sekat waktu dan ruang.

Kurt A. Raaflaub dalam buku Origins of Democracy in Ancient Greece memberikan penjelasan menarik terkait perbedaan demokrasi di Yunani Kuno dengan demokrasi modern saat ini. Menurutnya, sistem demokrasi di Athena secara radikal berbeda dengan demokrasi di abad 21.

Berbeda dengan demokrasi Athena yang menawarkan kemewahan pertarungan ide dan gagasan secara langsung, sehingga membuat masyarakat benar-benar merasa terlibat dalam percaturan politik. Demokrasi saat ini dijalankan secara tidak langsung (perwakilan) dan pertarungan ide hanya terjadi di level elite.

Kondisi ini dilihat Raaflaub telah menciptakan ketidakpuasan dan memunculkan narasi untuk kembali ke bentuk demokrasi langsung, setidaknya di tingkat lokal. Francis Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust juga melihat terjadinya peningkatan ekspektasi masyarakat atas keterlibatan dalam percaturan politik.

Menurut Fukuyama, di tengah demokrasi modern saat ini, masyarakat tidak hanya menuntut partisipasi di pemilu, melainkan juga partisipasi dalam penentuan kebijakan publik, seperti penentuan anggaran dan menyumbangkan ide.

Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?

Terkait masalah ini, Raaflaub melihat perkembangan teknologi komunikasi telah menawarkan diri untuk memenuhi kebutuhan partisipasi langsung tersebut. Fenomena Mardigu, misalnya. Tidak seperti sebelumnya, di mana nama kandidat adalah kewenangan mutlak partai politik, saat ini masyarakat dapat menyodorkan nama alternatif dan menyuarakannya melalui media sosial.

Di luar sosoknya akan dilirik dan diusung oleh partai, masuknya nama Mardigu dalam bursa survei jelas menunjukkan the power of social media. Ke depannya, ketika media sosial telah digunakan sampai di tingkat akar rumput, dukungan di teknologi komunikasi tersebut akan menjadi vital.

Well, pada akhirnya kita hanya bisa mengamati dan menikmati bagaimana kelanjutan narasi Mardigu untuk Pilpres 2024 ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version