Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Usulan Damai Ukraina Prabowo

di balik usulan damai ukraina prabowo

Menhan Prabowo Subianto (FOTO: Foto: REUTERS/CAROLINE CHIA)

Usulan perdamaian Rusia dan Ukraina yang disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menjadi buah bibir masyarakat dalam dua minggu terakhir. Apa kira-kira intrik politik di balik pernyataan tersebut? 


PinterPolitik.com 

Meski sudah berlangsung satu tahun lebih, perbincangan tentang Perang Rusia-Ukraina masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Mungkin, selain karena pemenangnya yang belum terlihat secara jelas, itu juga karena dampaknya yang sewaktu-waktu bisa berefek secara global. 

Hal inilah mungkin yang menjadi latar belakang Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, menyampaikan proposal perdamaian Perang Rusia-Ukraina saat menghadiri pertemuan para menteri dan pejabat tinggi pertahanan dalam acara International Institute for Strategic Studies (IISS) di Shangri-La Dialogue, Singapura. Kala itu, Prabowo berbicara tentang Perang Rusia-Ukraina yang berkelanjutan kian lama dan menawarkan tiga solusi perdamaian. 

Pertama, adalah meminta Ukraina dan Rusia untuk menerapkan gencatan senjata; kedua, mendesak pasukan kedua negara mundur sejauh 15 kilometer dari titik gencatan senjata untuk membentuk wilayah demiliterisasi; ketiga, mengusulkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) selenggarakan referendum penentuan untuk warga di zona demiliterisasi tadi agar bisa memilih apakah ingin bergabung ke Rusia atau Ukraina. 

Meskipun pada dasarnya usulan perdamaian dari siapa pun adalah sesuatu yang baik, proposal yang disampaikan Prabowo justru malah menghasilkan lebih banyak respons negatif ketimbang respons positif. Utamanya, tentu adalah penolakan mentah dari Ukraina sendiri, yang menilai usulan Prabowo terkesan seperti usulan yang berasal dari pemerintah rusia. 

Sentilan kemudian bahkan dilontarkan langsung oleh Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Meutya Hafid, yang menyarankan agar Prabowo dapat lebih hati-hati menyuarakan opininya terkait perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, karena pemerintah Indonesia sudah menegaskan sifatnya sendiri di PBB, yakni menentang invasi Rusia dan dan mendukung kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina. 

Fenomena penolakan dan kritik atas pernyataan Prabowo ini kemudian memancing pertanyaan menarik. Kalau memang apa yang dikatakan Prabowo pada dasarnya bersifat memancing kritik, mengapa Prabowo tetap mengeluarkan pendapatnya? Apakah ini adalah suatu kesalahan, atau tersimpan suatu intrik politik di baliknya? 

Proposal Bukan Tujuan Utama Prabowo? 

Satu hal yang pasti setelah Prabowo menyampaikan proposalnya tentang perdamaian Rusia-Ukraina adalah ia sontak menjadi headline sejumlah kantor berita. Bahkan tidak hanya media-media Indonesia, tapi juga media-media top internasional seperti Reuters, turut memberitakan proposal Prabowo, dengan keyword seputar “Indonesia defence minister propose peace proposal”. 

Yess, terlepas dari apakah hal yang disampaikan Prabowo bisa dibenarkan atau tidak, faktanya Prabowo selama dua minggu terakhir ini berhasil menjadi buah bibir masyarakat. Dan mungkin saja, hal itu yang sesungguhnya benar-benar dikejar oleh tim Prabowo. 

Di dalam dunia komunikasi politik, ada sebuah istilah yang disebut top of mind awareness. Istilah ini sebenarnya merupakan adaptasi dari strategi dalam dunia bisnis dan marketing, yang mengacu pada proses branding dari sebuah produk.  

Top of mind awareness menggambarkan nilai yang melekat di benak konsumen ketika mereka sedang hendak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan brand tersebut akibat iklan yang sering ditontonnya. Sebagai contoh, ketika hendak membeli air mineral, brand pertama yang terpikir adalah Aqua. Lalu, ketika ingin membeli cokelat, brand yang terpikir pertama adalah Silver Queen

Nah, di dalam dunia politik, top of mind awareness menggambarkan sebuah strategi yang bisa membuat seorang politisi menjadi orang pertama yang terlintas di benak orang-orang ketika mereka hendak melakukan sebuah aktivitas politik, seperti pencoblosan pemilihan umum (pemilu), misalnya.  

G. Schweiger dan M. Adami, dalam bukunya The Non Verbal Image of Politicians and Political Practices, mengemukakan bahwa pilihan politik seseorang seringkali dipengaruhi oleh sosok orang yang memberi kesan dalam tiap penampilannya di media. Meskipun pencitraan yang dilakukan politisi tersebut bisa saja bersifat negatif, pemilih akan tetap menaruh perhatian padanya hanya karena ia sering dibincangkan oleh media, hal ini akibat efek terkesan yang tertanam di benak pikiran para pemilih. 

Kalau kita mengambil pandangan ini untuk mencoba menginterpretasi apa yang dilakukan Prabowo, maka sepertinya kita bisa dengan aman menilai bahwa mungkin saja Prabowo dan timnya hendak menanamkan benih-benih top of mind awareness pada publik. Melalui hebohnya kritik terhadap proposalnya tentang perdamaian Rusia dan Ukraina, tidak dipungkiri bahwa memang Prabowo kini semakin dibicarakan oleh publik, bahkan tidak hanya domestik, tapi juga internasional. 

Tidak hanya itu, kalau mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut nantinya memang maju sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), ia juga akan dikenal mungkin sebagai satu-satunya capres yang pernah berusaha terlibat langsung dalam memberikan usulan perdamaian pada peperangan yang berkecamuk di Eropa Timur tersebut.  

Hal ini tentu menarik, mengingat bakal-bakal capres lainnya mungkin tidak memiliki panggung yang sesuai untuk membicarakan hal itu. Sementara, Prabowo dengan kapasitasnya sebagai Menhan merupakan salah satu pejabat selain Presiden dan Menteri Luar Negeri (Menlu) yang paling pas untuk membahas persoalan perdamaian. 

Namun, perihal perdamaian perang Rusia-Ukraina tampaknya bukan satu-satunya topik yang sedang digodok oleh Prabowo. Ada satu hal menarik lain yang sepertinya tersimpan di balik kenapa topik ini dipilih untuk dibincangkan. 

Perkuat Fans Rusia Indonesia? 

Ada hal menarik terkait pembahasan preferensi masyarakat Indonesia terhadap Perang Rusia-Ukraina. Dalam sebuah rilis akademik, peneliti Indonesia dari Johan Sytte Institute of Political Studies, Universitas Tartu Estonia, Radityo Dharmaputra, mengatakan bahwa mayoritas warganet Indonesia ternyata mendukung pihak Rusia untuk memenangkan perang. 

Radityo menyebutkan, hal itu bukan tanpa dasar, karena masyarakat kita sejak puluhan tahun memang memiliki semacam romansa dengan Rusia, khususnya ketika masih berbentuk Uni Soviet. Tidak jarang, Rusia juga digambarkan sebagai negara yang bisa dan paling tepat untuk menantang manifestasi “imperialisme Barat”, yang tidak lain adalah Amerika Serikat (AS). 

Nah, menarik kemudian untuk kita bawa fakta ini ke dalam pembahasan mengapa topik Perang Rusia-Ukraina jadi topik yang dipilih untuk dibahas oleh Prabowo. Bisa jadi, ini adalah upaya untuk menjadikan orang-orang yang merupakan fans berat Rusia sebagai pemilih Prabowo nantinya ketika Pilpres 2024 berlangsung. 

Meskipun memang proposal perdamaian yang disampaikan Prabowo tidak secara gamblang menggambarkan keberpihakan pada Rusia, sinyal yang disampaikan cenderung menggambarkan keberpihakan pada Negeri Beruang Putih.  

Kembali mengutip Radityo dalam pendapat terbarunya, usulan Prabowo dinilai lebih condong pada Rusia karena gencatan senjata yang dimaksudnya tidak bisa memberikan jaminan pada Ukraina sebagai negara yang diserang, untuk kemudian tiba-tiba diserang kembali. 

Hal ini mungkin tidak banyak disadari oleh orang awam saat ini, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa poin-poin sekecil ini nantinya bisa dikembangkan oleh para penggerak narasi politik bahwa Prabowo sebetulnya “condong” ke Rusia dibanding Ukraina. 

Kalau kita mengawinkan asumsi ini dengan jumlah pendukung Rusia di Indoensia, tentu ini adalah sesuatu yang tidak terlalu sulit untuk diimajinasikan, bukan? 

Namun, tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Memang, apa yang dilakukan Prabowo melalui pernyataannya memiliki pro dan kontranya tersendiri. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Indonesia sejak awal merdeka dikenal sebagai negara yang tidak berpihak dan menjunjung tinggi perdamaian. Oleh karena itu, siapa pun yang mengusulkan usulan perdamaian tetap harus kita apresiasi. (D74) 

Exit mobile version