Politikus muda PSI, William Aditya Sarana telah menjadi rising star dalam perpolitikan nasional setelah aksi beraninya mempublikasikan berbagai anggaran janggal di RAPBD DKI Jakarta. Namun, sinar bintang itu sepertinya meredup setelah berbagai pihak turut berkomentar bahwa apa yang diangkat oleh William sebetulnya merupakan draf awal anggaran atau dummy. Oleh karenanya, aksi tersebut lebih dibaca sebagai cara untuk mencari panggung atau sensasi, alih-alih sebagai dalih menjaga transparansi anggaran.
PinterPolitik.com
Pada Januari 2019 lalu, Wasekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin memberi satire kepada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan menyebut bahwa partai yang identik dengan kaum milenial ini dapat berubah nama menjadi Partai Sensasi Indonesia.
Satire itu ditujukan Didi perihal “Kebohongan Award” yang diberikan PSI kepada tiga sosok, yaitu Andi Arief dari Demokrat, serta kepada Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Pun begitu dengan Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak yang menyebut sikap PSI tersebut sebagai “alay politik”.
Melihat track record-nya, semenjak terjun ke dalam perpolitikan nasional, PSI memang kerap kali menunjukkan gelagat “mencari sensasi”.
Bahkan, Politikus PDIP, Masinton Pasaribu pernah berujar bahwa PSI sebenarnya tidak dianggap di dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin, dan disebut hanya sebagai cheerleader atau pemandu sorak semata.
Menimbang pada waktu itu sedang masa kampanye Pilpres dan Pemilu 2019, mungkin dapat dipahami bahwa itu adalah strategi PSI untuk memperoleh atensi publik agar dapat masuk ke parlemen.
Akan tetapi, sepertinya berbagai manuver “mencari sensasi” tersebut bukanlah strategi untuk mendulang suara pada Pemilu semata, melainkan juga untuk memperkuat eksistensinya.
Bagaimana tidak, setelah berakhirnya kontestasi elektoral, PSI nyatanya tetap membuat manuver politik yang turut mengundang atensi publik.
Ini terlihat jelas pada salah satu kadernya, William Aditya Sarana yang merupakan anggota DPRD Jakarta, ketika mengunggah anggaran janggal berupa pengadaan lem Aibon sebesar Rp 82,5 miliar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Baerah (RAPBD) 2020 DKI Jakarta.
Pada awalnya, banyak pihak turut memuji sikap William yang berani mengunggah anggaran janggal yang disebutnya demi dalih transparansi anggaran.
Akan tetapi, pujian tersebut lantas berubah menjadi cercaan setelah berbagai pihak turut mengomentari bahwa apa yang diunggah William hanyalah semacam draf awal anggaran atau dummy.
https://www.instagram.com/p/B4PMWeRpz6c/
William juga memberi tanggapan yang memiliki tendensi untuk menyerang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 12 November 2019 lalu, dengan lugas William menyebutkan bahwa telah terjadi penetapan anggaran secara “serampangan”, dan berulang kali menitikberatkan tanggung jawab polemik rancangan anggaran tersebut kepada Anies.
Tidak heran, Anies lantas mengomentari sikap William dengan menyebutnya hanya mencari “panggung” semata.
Terlebih lagi, adanya anggaran-anggaran janggal memang selalu terjadi setiap tahunnya. Dengan kata lain, polemik ini sebenarnya lebih pada adanya pihak yang ingin mengangkat hal tersebut ke hadapan publik, sehingga dapat meraup atensi publik.
Pertanyaannya adalah apa yang bisa dimaknai dari persoalan ini?
Anggaran sebagai Alat Politik
Melihat pada sasaran tembaknya yang menyasar anggaran, dapat dikatakan William telah melakukan bidikan yang tepat.
Semenjak uang ditemukan oleh manusia dan digunakan sebagai alat pembayaran, menariknya alat transaksi ini mengalami transformasi besar dengan tidak hanya untuk menukar barang atau jasa, melainkan juga untuk menjadi alat tukar nilai-nilai sosial, seperti kesetiaan dan pertemanan.
Fenomena menarik inilah yang kemudian mengilhami Sosiolog Jerman, Georg Simmel untuk menulis bukunya yang terkenal The Philosophy of Money. Tesis Simmel adalah the money equivalent of personal values atau uang ekuivalen dengan nilai-nilai personal.
Atas fondasi teoritis yang telah ditinggalkan Simmel, saat ini lumrah dikenal adagium bahwa “setiap orang ada harganya”. Uang yang telah bertransformasi menjadi alat transaksi nilai sosial, kemudian menjadi alat yang mumpuni dalam menjembatani berbagai kepentingan sosial dan politik.
https://www.instagram.com/p/B4bslueJyHc/
Dalam sistem politik modern, peran uang atau yang disebut anggaran ini memainkan posisi yang begitu vital. Micahel Oyakojo dalam The Political Dynamics Behind Government Budgeting Process menyebutkan bahwa anggaran dalam pemerintah lebih merupakan persoalan politik ketimbang persoalan teknis semata.
Hal ini disimpulkan karena berbagai alasan, misalnya pengaturan anggaran dibuat berdasarkan tawar-menawar dan konsensus di antara para pemangku kepentingan.
Dengan kata lain, anggaran adalah “alat politik” yang digunakan untuk mengontrol lawan politik ataupun birokrasi, sehingga kestabilan politik dapat terjadi. Strategi ini juga kerap disebut dengan politik akomodatif.
Kesimpulan teoritis ini terlihat jelas pada kasus Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang bersitegang dengan DPRD. Pada waktu itu, Ahok menolak untuk mengakomodasi dana sebesar Rp 12,1 triliun yang disebutnya sebagai dana siluman untuk dimasukkan ke dalam APBD DKI Jakarta 2015.
Lalu, terkait dengan sistem anggaran elektronik atau e-budgeting yang diklaim sebagai penyelesaian persoalan teknis akibat kerap adanya anggaran siluman, tampaknya sistem ini juga tidak luput sebagai alat politik.
Pandangan ini setidaknya diperlihatkan oleh Michael J. Ahn bahwa e-budgeting yang termasuk ke dalam e-government dapat menjadi alat politik kepala daerah untuk meraih insentif politik.
Terbukanya anggaran kepada publik akan menciptakan kesan transparansi yang kuat, sehingga citra politik yang baik akan terbentuk di tengah masyarakat.
Namun, sistem ini juga dapat menjadi “bumerang” ketika tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Misalnya saja pada polemik e-budgeting DKI Jakarta baru-baru ini, di mana draf anggaran awal yang mencuat ke publik menjadi bulan-bulanan cercaan dan mendapat sentimen penggunaan uang rakyat secara serampangan.
“Politik Sensasi” PSI
Atas jelinya William melihat sasaran, hal ini bisa diapresiasi. Akan tetapi, menimbang pada alasan pengunggahan anggaran janggal itu lebih bertendensi kepentingan politik – seperti untuk mencari sensasi – membuat sikap tersebut justru terlihat begitu riskan.
Simpulan atas sikap tersebut lebih pada sensasi ditarik berdasarkan beberapa indikator.
Pertama, penggunggahan anggaran bersifat terlalu dini. Alasannya, seharusnya anggaran janggal yang diangkat ke publik adalah anggaran yang memang telah disahkan. Artinya, di sana telah terjadi penyelewengan anggaran yang memang harus dilaporkan.
Kedua, setiap tahun memang selalu terdapat anggaran janggal dalam draf awal. Tidak hanya itu, di setiap daerah juga terdapat kasus serupa. Misalnya saja anggaran janggal kolam berenang Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil sebesar Rp 1,5 miliar yang disebut untuk mengobati cedera kaki kirinya.
Artinya, lebih disorotnya anggaran janggal RAPBD DKI Jakarta besar kemungkinan karena Jakarta merupakan provinsi yang paling menarik atensi publik.
Apalagi, dengan adanya Anies sebagai gubernur, tentu membuat pengangkatan anggaran janggal ini akan menjadi pemberitaan yang menghebohkan. Anies sendiri diproyeksikan menjadi salah satu kandidat yang akan bersaing di Pilpres 2024.
Di luar pengungkapan anggaran janggal, melihat sepak terjangnya, PSI tidak pernah memberi kritik kepada Presiden Jokowi. Padahal, selaku pemimpin tertinggi negara, mantan Wali Kota Solo ini seharusnya menjadi target kritik utama. Isu RUU KPK atau RKUHP misalnya, harusnya sejalan dengan platform politik PSI yang progresif dan sudah selayaknya dikritik. Namun, PSI tampak tak banyak bersuara.
Ini kemudian membuat berbagai pihak menilai bahwa PSI hanya akan mengkritik kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Presiden Jokowi. Dalam konteks Anies, hal ini juga sejalan karena pada Pilkada 2017 lalu, PSI mendukung Ahok yang menjadi lawannya.
Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa berbagai manuver politik yang dilakukan oleh PSI, justru lebih memberi kesan hanya “mencari sensasi”, alih-alih menunjukkan diri sebagai partai kritis.
Gagalnya PSI untuk masuk parlemen pada Pemilu 2019, sudah sepatutnya menjadi kritik internal bagi partai yang kerap disebut membawa nilai-nilai liberal ini untuk mengganti strategi politik. Menarik untuk melihat kelanjutan sepak terjang PSI di kancah perpolitikan nasional. (R53)
https://www.youtube.com/watch?v=DifdbPRug3I
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.