Gerakan Prabowo Subianto di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) kembali mendapat sorotan setelah usulannya memasukkan dua nama eks Tim Mawar untuk mengisi dua pos di kementerian tersebut disetujui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lantas, mengapa usulan yang dapat memicu resistensi publik tersebut disetujui oleh pemimpin tertinggi negara?
Penanganan HAM selalu berdiri di pojok bayang-bayang. Tidak seperti perjuangan atas seruan-seruan moral lainnya, seruan atas penegakan HAM, terlebih perihal pengusutan kasus HAM masa lalu seolah diposisikan diametral oleh kekuasaan.
Setiap hari Kamis, mereka yang berbaju serba hitam, lengkap dengan pengeras suara dan narasi-narasi bergambar selalu kita lihat di alun-alun. Mereka tidak menangisi kegagalan penegakan HAM masa lalu, melainkan menagih janji kekuasaan untuk menjernihkan kekalutan tersebut.
Namun, harap memang terlampau jauh. Belum reda sedu sedan tersebut, pelanggaran HAM lanjutan nyatanya semakin terpampang di kaca-kaca media. Terbaru, ingatan kelam publik atas beratnya perjuangan HAM kembali naik ke permukaan karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru menyetujui usulan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto untuk menempatkan dua eks Tim Mawar di dua pos jabatan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Seperti yang diungkap oleh Juru Bicara (Jubir) Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak, penunjukkan tersebut memang merupakan hal biasa dalam rangka penyegaran organisasi Kemhan dan Tour of Duty. Namun, seperti yang menjadi keberatan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti, pengangkatan tersebut dapat dibaca sebagai bentuk disampingkannya prinsip-prinsip HAM dan tak sejalan dengan agenda reformasi.
Tentu mudah bagi kita untuk memahami bahwa pengangkatan dua eks Tim Mawar tersebut dapat menambah keriuhan politik di tengah pandemi Covid-19. Terlebih lagi, dengan kasus Covid-19 yang terus meningkat, polemik penyelenggaraan Pilkada 2020, dan mulai bergeraknya Koalisis Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), mengapa usulan tersebut justru di setujui Presiden Jokowi?
Apa yang dapat dimaknai dari fenomena tersebut?
Langgengnya Strategi Machiavelli
Sebelum menuju sang pemilik kursi tertinggi, Presiden Jokowi, terlebih dahulu perlu untuk dipahami mengapa Prabowo menarik mantan bawahannya ke Kemenhan. Kendati mungkin dipahami aneh, namun kebijakan yang diambil sang mantan Danjen Kopassus sebenarnya memiliki rasionalisasi yang kuat.
Tidak hanya memiliki rasionalisasi, kebijakan semacam itu justru telah turun-temurun dilakukan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan pengaruhnya. Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Prince yang ditulis pada tahun 1513 dengan gamblang menjelaskan hal ini.
Dalam pembahasannya mengenai “Kerajaan-kerajaan Turunan”, Machiavelli menjelaskan bahwa penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru, akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Machiavelli mencontohkan hal ini pada kasus Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510. Menurutnya, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan dari dahulu kala. Oleh karenanya, ini membuat friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi.
Pun begitu dalam pembahasannya mengenai “Kerajaan-kerajaan Campuran”, Machiavelli bahkan memberikan saran yang begitu sadis. Menurutnya, penguasa baru yang berhasil menduduki daerah-daerah jajahan dan berharap mempertahankan kekuasaannya, maka sang penguasa baru harus memusnahkan semua darah keturunan sang penguasa lama.
Alasannya tentu mudah dipahami. Jika itu tidak dilakukan, para keturunan penguasa lama yang menaruh dendam mestilah akan merencanakan perebutan kekuasaan. Oleh karenanya, untuk meminimalisir potensi tersebut, mereka semua harus dimusnahkan.
Dewasa ini – dan mungkin sampai seterusnya, saran-saran ala Machiavelli nyatanya tetap eksis dan dilanggengkan. Demi kepentingan memperkuat pengaruh politik, penguasa selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol ataupun intervensi kebijakan.
Meskipun terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik ini nyatanya memang mesti dilakukan karena perumusan kebijakan yang efektif lebih mudah dilakukan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.
Bo Rothstein dalam bukunya yang berjudul Social Traps and the Problem of Trust turut memberikan afirmasi. Tegasnya, di tengah situasi sosial yang membuat rasa saling curiga mudah tumbuh, kepercayaan adalah “barang mahal” yang sukar untuk didapatkan.
Oleh karenanya, penunjukan rekannya di Tim Mawar sebenarnya dapat dipahami sebagai cara Prabowo dalam membangun efektivitas kerja. Senada, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga menjelaskan hal serupa.
Tegasnya, pengalaman dan kecocokan dalam bekerja sama sebagai atasan-bawahan maupun senior-junior di masa lalu, tentu menjadi pertimbangan yang sangat wajar dan masuk akal. Prabowo tentu bisa menilai kapasitas, loyalitas dan kinerja mereka. Apalagi tak ada ketentuan terkait jabatan itu yang dilanggar. Persoalan menjadi lebih serius hanya karena menyangkut kata kunci “Tim Mawar”.
Terlebih lagi, seperti yang disebutkan Aris Santoso dalam tulisannya Anomali Tim Mawar: Kopassus di Bawah Danjen Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus tersebut memang dikenal royal terhadap pasukan dan anak buah.
Lanjut Fahmi, untuk mengikis sentimen negatif tersebut, Prabowo selaku pihak yang mengusulkan haruslah menjelaskan ke hadapan publik terkait kompetensi, loyalitas, dan kinerja kedua jenderal pasti akan jauh lebih baik dari kandidat lain. Dengan demikian, pengabaian psikologis publik terkait sentimen negatif terhadap Tim Mawar menjadi dapat dimaklumi.
Bentuk Ketidaktahuan?
Kendati dapat dimaklumi, seperti yang menjadi pertanyaan awal, di tengah situasi gejolak politik saat ini, mengapa Presiden Jokowi mengambil risiko untuk menyetujui usulan tersebut?
Derasnya sentimen publik terhadap Tim Mawar tentu bukan tanpa alasan. Tim ini identik dilekatkan publik terhadap peristiwa penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivitas pada tahun 1997-1998 yang sampai sekarang tidak jelas kelanjutan kasusnya. Tahun lalu, Tim Mawar bahkan kembali naik ke tengah diskursus publik karena disebut-sebut terlibat dalam kerusuhan 22 Mei. Dan lagi, kejelasan kasus tersebut juga tidak diketahui.
Oleh karenanya, menjadi pertanyaan yang wajar apabila publik justru mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi tidak peka terhadap sentimen yang bertolak atas sejarah kelam tersebut. Jawaban atas keheranan ini tampaknya dapat kita temukan dalam tulisan Aris Santoso. Menurutnya, Dalam terbitan resmi Kopassus pasca-Prabowo, nama Tim Mawar tak pernah disebut-sebut. Artinya, keberadaan tim itu sendiri tidak diakui secara kelembagaan.
Jika benar demikian, maka besar kemungkinan Presiden Jokowi tidak mengetahui bahwa dari deretan nama yang diusulkan Prabowo, terdapat dua eks Tim Mawar di dalamnya. Jika simpulan ini ditarik lebih jauh, mungkinkah terdapat kemungkinan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut tidak memiliki pengetahuan sejarah yang detail terhadap fenomena-fenomena masa lalu, seperti kasus Tim Mawar?
Tidak hanya Presiden Jokowi, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga didera spekulasi serupa. Politisi Partai Republik ini bahkan disebut-sebut tidak memiliki pengetahuan dasar atas sejarah negara yang kini dipimpinnya.
Akan tetapi, spekulasi ekstrem semacam ini tentunya adalah sesuatu yang sukar untuk dibuktikan. Kita tentunya juga sulit membayangkan terdapat pemimpin negara yang tidak memiliki pengetahuan detail tentang sejarah negaranya. Oleh karenanya, spekulasi ini dapat kita pinggirkan.
Berhubung spekulasi tersebut dipinggirkan, tampaknya tersisa satu analisis untuk menjawab mengapa Presiden Jokowi menyetujui usulan tersebut, yakni tingkat kepercayaan sang presiden begitu besar kepada Prabowo.
Konteks tersebut memang sudah jamak terlihat sebelumnya. Pada Januari lalu, ketika Prabowo mendapatkan kritik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena kerap melakukan perjalanan ke luar negeri, Presiden Jokowi tampil sebagai sosok pembela dengan menyebut perjalanan tersebut sebagai diplomasi pertahanan.
Kemudian pada Juli lalu, Presiden Jokowi kembali menunjukkan kepercayaannya dengan menunjuk Prabowo sebagai pemimpin proyek food estate atau lumbung pangan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Konteksnya menjadi menarik karena berbagai pihak menilai, jika merujuk pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi), proyek tersebut seharusnya diberikan kepada Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.
Spekulasi semacam ini juga dikemukakan oleh Fahmi. Menurutnya, disetujuinya eks Tim Mawar tersebut menunjukkan bahwa rekomendasi Prabowo memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan siapa yang menjabat di Kementerian yang tengah di bawahinya. Ini pula yang disebut Fahmi sebagai alasan mengapa presiden dan Tim Penilai Akhir (TPA) seolah mengabaikan catatan sejarah dan psikologi publik sehingga memberi persetujuan.
Pada akhirnya, apa pun yang terjadi di balik masuknya dua eks Tim Mawar ke dalam Kemenhan hanya diketahui oleh pihak-pihak terkait. Harapan kita tentunya adalah kedua jenderal tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)