HomeHeadlineDi Balik Tearful Speech Puan dan Arah Politik PDIP

Di Balik Tearful Speech Puan dan Arah Politik PDIP

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat dengan menggunakan AI.

Puan Maharani menyampaikan pidato dalam haru di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP. Tangisan Puan itu terjadi saat ia menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat terkait adanya “kader” yang ia sebut melanggar konstitusi. Jelas maksudnya di sini berkaitan dengan Pilpres 2024, di mana ada nama mantan kader PDIP, Gibran Rakabuming Raka, yang telah resmi menjadi wakil presiden terpilih, namun dituduh ikut Pilpres lewat cara yang melanggar konstitusi. Terlepas dari hal itu, nyatanya tangisan bisa menjadi alat politik yang cukup efektif.


PinterPolitik.com

Tangisan dalam pidato politik bukanlah fenomena baru. Para politisi di berbagai belahan dunia telah menggunakan emosi yang terlihat tulus ini untuk menyampaikan pesan mereka dan mempengaruhi audiens. Ketika seorang politisi menangis, hal ini dapat memberikan dampak yang kuat, baik positif maupun negatif, terhadap persepsi publik.

Konteks positif itulah yang mungkin tengah diupayakan oleh Puan Maharani. Ketua Bidang Politik DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI itu menangis saat menyampaikan pidato di Rakernas PDIP beberapa hari lalu. Momen ini menjadi sorotan media dan menimbulkan berbagai reaksi dari publik.

Tangisan Puan Maharani dianggap sebagai ekspresi ketulusan dan kesedihan yang mendalam atas situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia. Namun, ada juga yang melihatnya sebagai strategi untuk menarik simpati dan dukungan.

Apalagi, ini dikaitkan dengan posisi salah satu kader terkuat yang pernah dimiliki PDIP, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana putra sang presiden yang juga kader PDIP, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres lawan politik PDIP di Pilpres 2024.

Kata-kata Puan soal kader yang melanggar konstitusi sangat bisa ditafsirkan mengarah pada Gibran yang pencalonannya diwarnai kontroversi sidang Mahkamah Konstitusi terkait batasan minimal usia cawapres.

Terlepas dari hal itu, tangisan Puan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai alat untuk menunjukkan bahwa dirinya juga manusia yang merasakan emosi, dan bahwa mereka sungguh-sungguh peduli dengan isu yang sedang dibahas. Dalam pidato politik, momen emosional seperti ini dapat memperkuat pesan yang disampaikan dan membuat audiens merasa lebih terhubung dengan pembicara.

Lalu bagaimana memaknainya?

Tangisan Politik

Ada banyak politisi di dunia yang menggunakan tangisan untuk menunjukan empati, sekaligus meraih dukungan terkait langkah politik tertentu.

Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama misalnya, dikenal karena kemampuannya menyampaikan pidato yang kuat dan emosional. Salah satu momen paling terkenal adalah saat ia menangis saat memberikan pidato tentang penembakan massal di Sandy Hook Elementary School pada tahun 2012. Dalam pidato tersebut, Obama terlihat meneteskan air mata saat berbicara tentang anak-anak yang menjadi korban.

Baca juga :  AHY dan Jokowi’s Bamboo Trap?

Tangisan Obama menekankan betapa seriusnya tragedi tersebut dan membantu menggugah empati publik. Momen tersebut juga digunakan untuk mendukung argumen politiknya tentang perlunya reformasi undang-undang senjata di Amerika Serikat. Dengan menunjukkan emosinya, Obama berhasil membangun hubungan emosional dengan audiens dan memperkuat argumennya.

Lain lagi dengan kandidat capres Amerika Serikat, Hillary Clinton, yang dalam kampanye presiden tahun 2008, juga pernah menangis saat berbicara dengan para pemilih di New Hampshire. Ketika ditanya bagaimana ia bisa terus maju dalam kampanye yang sulit, Clinton terlihat emosional dan suaranya bergetar. Momen ini ditangkap oleh media dan menjadi perbincangan nasional.

Banyak yang berpendapat bahwa tangisan tersebut membantu Clinton terlihat lebih manusiawi dan relatable. Sebagai seorang politisi yang sering dianggap kaku dan terlalu formal, momen emosional ini memberikan sisi yang lebih lembut dan personal kepada publik. Namun, ada juga yang mengkritik bahwa hal ini merupakan taktik politik untuk menarik simpati.

Jika kita kaji lebih spesifik, ada beberapa teori yang bisa dipakai untuk melihat posisi politik tangisan. Menurut teori emosi dan persuasi, emosi dapat mempengaruhi bagaimana pesan diterima dan direspon oleh audiens.

Emosi dapat memperkuat perhatian, meningkatkan pemrosesan informasi, dan memperdalam keterlibatan audiens dengan pesan yang disampaikan. Ketika seorang politisi menunjukkan emosi, hal ini dapat membuat pesan mereka lebih menonjol dan lebih mudah diingat oleh audiens.

Sementara, menurut model Heuristik-Sistematik yang dikembangkan oleh Psikolog Sosial asal Amerika Serikat, Shelly Chaiken, rang memproses informasi melalui dua jalur: jalur heuristik dan jalur sistematik. Jalur heuristik adalah proses cepat dan otomatis yang menggunakan isyarat sederhana untuk membuat keputusan, sementara jalur sistematik adalah proses yang lebih lambat dan analitis.

Dalam konteks pidato politik, tangisan dapat berfungsi sebagai isyarat heuristik yang menandakan ketulusan dan komitmen pembicara terhadap isu yang dibahas. Audiens mungkin tidak selalu menganalisis setiap argumen secara mendalam, tetapi mereka dapat terpengaruh oleh isyarat emosional yang kuat.

Sedangkan menurut Albert Bandura dalam teori kognitif-sosialnya, manusia belajar melalui observasi dan imitasi. Ketika seorang pemimpin menunjukkan emosi seperti kesedihan atau kegembiraan, audiens dapat merasakan emosi yang sama melalui proses yang disebut resonansi emosional.

Baca juga :  Prabowo, Trump, dan Sigma-isme

Ini menciptakan ikatan emosional antara pemimpin dan audiens, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan terhadap pemimpin tersebut.

Dalam konteks Puan, pertanyaannya adalah seperti apakah dampaknya?

Menguntungkan atau Merugikan?

Tearful speech punya dampak positif dan negatif. Secara positif, tangisan bisa meningkatkan empati dan dukungan politik. Emosi yang tulus dapat meningkatkan empati dan dukungan dari audiens.

Ketika politisi menunjukkan bahwa mereka benar-benar peduli, audiens cenderung merasa lebih terhubung dan mendukung mereka. Dalam konteks PDIP, ini bisa saja berkaitan dengan pertimbangan untuk menjadi oposisi pemerintahan.

Dampak positif yang lain adalah memperkuat pesan politik yang ingin disampaikan. Emosi dapat memperkuat pesan yang disampaikan dan membuatnya lebih mudah diingat. Pidato yang emosional cenderung meninggalkan kesan yang lebih mendalam pada audiens.

Selain itu, tangisan dapat membantu menghumanisasi politisi yang sering kali dianggap jauh dan tidak terjangkau. Ini membuat mereka terlihat lebih seperti orang biasa yang juga memiliki perasaan dan masalah yang sama.

Sementara, dari sisi negatif, tangisan akan dianggap sebagai manipulasi emosi. Beberapa orang mungkin melihat tangisan sebagai taktik manipulatif untuk menarik simpati dan dukungan. Hal ini dapat mengurangi kredibilitas dan kepercayaan terhadap politisi tersebut.

Kemudian, tangisan dapat memiliki dampak yang berbeda tergantung pada gender politisi. Perempuan yang menangis mungkin dianggap lemah, sementara laki-laki yang menangis bisa dilihat sebagai tanda ketulusan dan kekuatan emosional. Bagi Puan, hal ini bisa saja berdampak negatif bagi citranya, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang cenderung patriakal.

Efek lain adalah publik bisa saja menjadi skeptis dan melihat tangisan sebagai bentuk kepura-puraan dan bukan emosi yang tulus. Ini bisa mengakibatkan reaksi negatif dan merugikan citra politisi.

Pada akhirnya, dalam konteks politik, penting bagi politisi untuk menyeimbangkan antara menunjukkan emosi yang tulus dan menjaga kredibilitas mereka. Emosi yang digunakan dengan tepat dapat menjadi kekuatan yang besar dalam membangun hubungan dengan audiens dan mempengaruhi opini publik.

Bagi Puan dan PDIP, kritikan soal tangisan pasti akan selalu ada. Yang terpenting adalah kalkulasi untung rugi tindakan ekspresif itu. Karena bagaimanapun juga hal yang terpenting adalah tercapainya kepentingan yang ingin diraih. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Konsep Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump beresonansi dengan dorongan adanya keperluan konsep Make Indonesia Great Again (MIGA). Mampukah ambisi ini dijalankan? 

Amerika Sudah “Ditamatkan” Tiongkok? 

Tiongkok semakin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa menyaingi Amerika Serikat (AS). Kini, kompetisi bagi AS bahkan datang di sektor yang didominasinya, yakni dunia artificial intelligence. Lantas, mungkinkah ini awal dari kejayaan Tiongkok yang menjadi nyata? 

AHY dan Jokowi’s Bamboo Trap?

Saling lempar tanggung jawab atas polemik pagar bambu laut di pesisir Kabupaten Tangerang memunculkan satu diskursus menarik mengenai head-to-head langsung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, diskursus itu menambah probabilitas eksistensi ranjau politik Jokowi terkait dengan pengaruh pasca presidensinya. Mengapa itu bisa terjadi?

Trump Ketar-ketir Lihat Prabowo-Anwar?

Prabowo dan PM Anwar Ibrahim bertemu kembali di Kuala Lumpur, Malaysia. Mungkinkah Prabowo dan Anwar kini sedang ‘bersaing’ satu sama lain?

“Segitiga Api” Prabowo, Salim dan Aguan

Ribut-ribut terkait pagar bambu di laut Tangerang yang dikait-kaitkan dengan PIK 2 jadi isu menarik dalam dinamika relasi antara penguasa dan konglomerat.

“Dosa” di Balik Siasat Trump Kuasai Antariksa 

Donald Trump, Presiden ke-47 Amerika Serikat (AS) memiliki ambisi yang begitu besar terhadap program keantariksaan. Mengapa demikian? 

Trump The Tech-cracy

Twitter/X, Google, Meta, Tiktok, Amazon, hingga Apple, semua tokoh utama perusahaan-perusahaan itu hadir saat pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Anies Masuk Kabinet Merah Putih?

Di tengah sorotan dan tuntutan untuk mengganti Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro yang diterpa dugaan kasus viral, satu ekspektasi muncul ke permukaan bahwa sosok yang tepat menjadi suksesornya adalah Anies Baswedan. Namun, jika di-invite ke kabinet, karier politik Anies bisa saja sepenuhnya akan ada di tangan Prabowo Subianto. Mengapa demikian?

More Stories

“Segitiga Api” Prabowo, Salim dan Aguan

Ribut-ribut terkait pagar bambu di laut Tangerang yang dikait-kaitkan dengan PIK 2 jadi isu menarik dalam dinamika relasi antara penguasa dan konglomerat.

Trump The Tech-cracy

Twitter/X, Google, Meta, Tiktok, Amazon, hingga Apple, semua tokoh utama perusahaan-perusahaan itu hadir saat pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.