Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Tarung Intelektualitas Bhima vs Belva

Stafsus Presiden, Belva Devara, saat memberikan keterangan pada konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

Stafsus Presiden, Belva Devara, saat memberikan keterangan pada konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. (Foto: BNPB)

Kaum intelektual milenial Indonesia mulai turun gunung menyampaikan gagasan terkait persoalan bangsa. Terbaru, seorang ekonom muda, Bhima Yudhistira, mengundang Staf Khusus (stafsus) milenial Presiden Jokowi, Belva Devara, untuk berdebat terbuka terkait Kartu Prakerja hingga isu oligarki milenial. Hal ini dinilai menandai atmosfer baru seputar pergerakan intelektualitas milenial 4.0.


PinterPolitik.com

Bhima Yudhistira, seorang ekonom muda Institute for Development of Economics and Finance (Indef), bisa dikatakan telah mengantisipasi masifnya respon publik, ketika tempo hari ia mengunggah invitasi debat terbuka yang ditujukan kepada stafsus presiden, Belva Devara melalui instagram pribadi miliknya.

Konteks debat yang diangkat pun sangat relevan dengan latar belakang keilmuan dan pengalaman masing-masing serta sesuai dengan isu yang saat ini hangat di masyarakat. Reaksi antusias publik juga dinilai tidak berlebihan mengingat isu pelatihan Kartu Prakerja beranggaran mewah yang berhembus dari Istana, telah memberikan distorsi hebat kepada nalar khalayak.

Mulai dari pertanyaan tentang kesesuaian program dengan karakteristik penerima manfaat, tarif pelatihan yang berlebihan atau over priced, hingga dugaan adanya konflik kepentingan pribadi segelintir pihak dibalik proyek tersebut.

Debat terbuka yang rencananya diagendakan akan dilakukan secara tele conference itu juga dinilai menjadi ajang adu gengsi tersendiri bagi dua alumni kampus terkemuka luar negeri tersebut. Bhima merupakan peraih Master dari University of Bradfod, Inggris. Sementara Belva menyelesaikan strata dua dengan gelar ganda dari Stanford dan Harvard University, Amerika Serikat.

Meskipun sampai saat ini Belva masih bergeming atas undangan tersebut, publik sangat antusias menantikan “pertarungan” dua tokoh milenial tersebut. Agenda diskursus seperti ini dinilai menjadi yang pertama kalinya bagi milenial yang akan tercatat sebagai tonggak awal peran milenial dalam kebijakan politik dan pemerintahan yang konkret.

Mary Wisniewski dalam publikasinya berjudul “Leadership and the Millennials: Transforming Today’s Technological Teens into Tomorrow’s Leaders”, menyatakan bahwa proses pembelajaran dan keterlibatan milenial, yang cenderung berorientasi pada tujuan nyata serta kemaslahatan, dalam sebuah diskursus kebijakan dapat mencerminkan progres konstruktif perkembangan sebuah negara.

Mengacu pada kutipan dari Wisniewski tersebut, agenda tarung intelektualitas dua milenial antara Bhima dan Belva terkait kontoversi Kartu Prakerja, agaknya relevan jika dikatakan sebagai bagian dari progres kemajuan bangsa. Jangkauan isu hingga seputar konflik kepentingan juga dinilai adalah langkah konstruktif untuk meminimalisir atau menghilangkan isu tersebut dalam pemerintahan yang akan dikelola oleh kaum milenial kelak.

Pembelajaran juga dinilai akan didapatkan publik jika debat terbuka ini benar-benar berlangsung. Hal ini karena, dapat dipastikan dua tokoh muda ini kaya akan narasi-narasi empiris yang dapat mencerahkan perspektif masyarakat luas.

Namun, apakah dengan masih bungkamnya Belva atas “tantangan” debat tersebut, mengindikasikan bahwa ia sebenarnya menyadari bahwa memang ada konflik kepentingan yang terjadi terkait proyek pelatihan Kartu Prakerja?

Terperangkap “Protokol” Klasik

Hampir dipastikan tidak ada yang menyangsikan kehebatan Belva Devara sebagai tokoh muda Indonesia yang bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik saat ini. Prestasi cemerlang, berlisensi kampus terbaik dunia, hingga kesuksesan inovasi bisnis yang mulai merubah pola pembelajaran anak bangsa di era revolusi industri.

Hal ini jualah yang membawanya melenggang mulus ke Istana untuk menjadi “teman diskusi” Presiden Jokowi, setidaknya itulah tupoksi Belva Devara yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan. Ekspektasi publik cukup tinggi atas kehadiran referensi inovatif Belva di telinga dan pikiran Jokowi. Namun seiring waktu, ekspektasi publik tersebut seolah menghujam jatuh ke bumi.

Ronald Brownstein dalamThe Gray and the Brown: The Generational Mismatch” mengungkapkan berbagai tantangan kaum milenial dalam tata kelola pemerintahan, yang masih dikuasai oleh generasi pendahulu. Brownstein menyatakan, persoalan terbesarnya ialah bahwa generasi yang “lebih senior” sebagai pemegang otoritas masih setengah hati untuk melibatkan peran milenial dalam pemerintahan.

Pernyataan Brownstein di atas agaknya tepat jika dikaitkan dengan pemerintahan level elite yang masih dikuasai para boomer. Dengan “tradisi” birokrasi melegenda yang kita kenal, dapat sedikit dipahami jika orang sekaliber Belva Devara justru mendapat penilaian minor dari publik ketika merapat ke kekuasaan.

Meskipun telah memberikan respon terkait kontroversi Kartu Prakerja, impresi yang ditampilkannya masih terkesan normatif dan berusaha mempertahankan suatu “keseimbangan” tertentu. Dari titik ini bisa dikatakan bahwa seorang Belva pasti memahami bahwa konflik kepentingan nyata eksistensinya dalam proyek pelatihan Kartu Prakerja.

Hal tersebut menimbulkan dua konsekuensi postulat. Di satu sisi ia dinilai tidak bisa berbuat banyak dikarenakan “protokol klasik” pemerintahan, tetapi di sisi lain ia disinyalir justru menikmati kenyamanan berbisnis di beranda Istana.

Publikasi berjudul “Unpacking Generational Identities in Organizations” yang ditulis oleh Aparna Joshi dan kawan-kawan, menyinggung persoalan terkait interaksi antar generasi atau intergenerational interactions dalam sebuah organisasi atau pemerintahan. Di dalam tulisan tersebut terdapat dua rentang interaksi antar generasi.

Pertama, berupa interaksi resistif atau resistive interaction yang memiliki komponen karakteristik kentalnya ketidakpercayaan, ekspektasi negatif, hingga bias input dan output interaksi. Kedua, interaksi transmitif atau transmitive interaction dengan karakteristik rasa saling percaya yang tinggi, empati, resiprokal, dan menjunjung altruisme.

Terdapat satu hal yang berusaha dinarasikan Bhima Yudhistira dengan invitasi debat kepada Belva Devara. Berkaca pada kutipan publikasi Joshi di atas, Bhima dinilai ingin menggeser interaksi resistif dalam pemerintahan saat ini menjadi interaksi yang transmitif.

Bhima telah berdiri mengambil posisi altruistik terhadap nasib para penerima Kartu Prakerja yang seolah dieksploitasi sebagai objek komoditi dan kongkalikong pemerintah dan pengusaha pelatihan daring. Selain itu, posisi tersebut juga secara komprehensif membuatnya menginginkan sebuah interaksi dalam pemerintahan yang, oleh Joshi disebut transmitif.

Apa yang Bhima gagas dengan debat tersebut seolah menafsirkan adanya dobrakan baru atas karakter dan ambisi generasi milenial Indonesia yang ingin perubahan konkret dan revolusioner pada tata kelola pemerintahan.

Kendati demikian, tertujunya perhatian publik secara masif ke arah persoalan Kartu Prakerja menimbulkan pertanyaan lain. Apakah munculnya tantangan debat terbuka Bhima Yushistira kepada Belva Devara, yang dapat dipastikan akan menarik perhatian khalayak tersebut merupakan proses politik yang alami, atau justru, hanyalah manajemen isu tersendiri terkait permasalahan lain yang pemerintah alami saat ini seputar penanganan Covid-19?

Biaskan Fokus?

Robert Heath dan Timothy Coombs dalam tulisannya berjudul “Today’s Public Relations: An Introduction” mengemukakan bahwa manajemen isu sesungguhnya terkait dengan kekuasaan. Jika pemerintah ingin mempengaruhi persepsi hingga agenda publik, mereka harus memiliki kekuasaan berdasarkan basis ide terkait isu yang akan mereka lemparkan. Pemerintah dapat mengubah haluan perhatian masyarakat dikarenakan kepemilikan alasan yang masuk akal untuk menjustifikasi situasi yang mereka inginkan.

Kehadiran undangan debat terbuka Bhima Yudhistira kepada Belva Devara yang sensasional di tengah hiruk pikuk pemerintah dalam penanganan Covid-19, di sisi perspektif lain seolah memberikan kesan bahwa ada kluster isu tertentu yang tengah dikelola saat ini. Pertentangan dua pihak akan selalu menarik perhatian siapapun, terutama pihak-pihak muda kompeten dan relevansi isu yang tepat.

Dan sepeti yang dikemukakan Heath dan Coombs sebelumnya, bahwa manajemen isu adalah terkait kekuasaan. Dalam hal ini memunculkan sinyalemen – dugaan – bahwa eksistensi isu yang digagas Bhima Yudhistira adalah kartu pendistraksi milik pemerintah atas tekanan publik terhadap komprehensivitas masalah akibat pandemi Covid-19.

Namun demikian, hal tersebut nampaknya hanya bagian dari kemungkinan yang tetap harus publik antisipasi. Ketika bombardir perspektif masyarakat dengan jumlah besar hanya terpaku di satu titik, bukan tidak mungkin pemerintah memanfaatkan celah tersebut untuk tujuan tertentu.

Meskipun demikian, agenda debat terbuka yang diwacanakan Bhima Yudhistira adalah sebuah langkah maju tersendiri yang mewakili keresahan milenial belakangan ini terkait problematika Kartu Prakerja. Relevansi isu yang semakin menggigit serta gelagat pemerintah yang seolah “cuek” dan terus menggerakkan proyek hasil kampanye sang Presiden, bergulir menjadi bola panas yang kian membesar nyalanya.

Sekali lagi, tentunya publik menginginkan isu ini menjadi terkuak secara komprehensif dengan presensi Belva Devara dalam debat terbuka tersebut. Tarung intelektualitas mereka dinilai akan menyajikan level argumentasi berkelas yang belum pernah publik lihat sebelumnya.

Kiprah milenial dalam pemerintahan faktanya memang tinggal menunggu “hitung mundur”. Bukan tidak mungkin apabila agenda debat intelektualitas milenial ini terlaksana dan menghasilkan perubahan konkret, maka itu akan membentuk kerangka peradaban politik baru di Indonesia. Menarik untuk menanti kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version