Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirimkan surat pada petinggi-petinggi Partai Demokrat yang terkesan “mengkritik” Kampanye Akbar paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Presiden keenam Indonesia tersebut meminta bawahan-bawahannya untuk memberikan saran kepada Prabowo.
PinterPolitik.com
“My friends always feel the need to tell me things,” – Drake, penyanyi rap AS
[dropcap]D[/dropcap]alam surat yang dikirim dari Singapura tersebut, SBY menyebutkan bahwa dirinya memperoleh informasi bahwa setup, rundown, dan tampilan fisik kegiatan Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif. Presiden yang menjabat pada tahun 2004-2014 tersebut juga meminta untuk mengutamakan cara berpikir “semua untuk semua” dan mengkritik penggunaan identitas dalam kampanye politik.
Selain itu, surat SBY itu menyebutkan bahwa calon pemimpin yang menggunakan narasi identitas merupakan calon pemimpin yang rapuh dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin. Bagi SBY, pemimpin yang kokoh adalah pemimpin yang mampu memimpin semua kelompok.
Kubu paslon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin pun mengambil kesempatan untuk menanggapi surat SBY tersebut. Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hasto Kristiyanto menyebutkan bahwa pihaknya memahami dan membenarkan isi surat SBY tersebut.
Sekedar menginformasikan, terkait Surat Ketum @PDemokrat Bapak SBY, yg jelas merupakan arahan kepada 3 petinggi Demokrat, agar berkomunikasi dgn Paslon 02 Prabowo-Sandi, setelah Pak SBY mendapatkan rundown acara kampanye yg pertama (awal sekali).#TheGreatCampaignOfPrabowo
— Aku Demokrat (@KitaDemokrat) April 7, 2019
Guna menanggapi surat tersebut, Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Fadli Zon menjelaskan bahwa kegiatan kampanye tersebut sudah cukup inklusif karena turut dihadiri oleh berbagai kelompok yang berbeda. Berbagai kelompok mulai dari Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, serta kelompok masyarakat lainnnya seperti buruh, petani, guru, dan pedagang pasar disebut Fadli hadir dalam kegiatan tersebut.
Selain dua pihak tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. turut mengomentari surat dari SBY itu dan menyebutkan bahwa masukan tersebut perlu diperhatikan. Tokoh yang sempat masuk bursa cawapres Jokowi tersebut mencontohkan kegiatan salat Subuh bersama yang dianggapnya sebagai upaya untuk menggalang salah satu ikatan primordial saja.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benar tidaknya isi surat SBY terkait Kampanye Akbar Prabowo-Sandi yang erat dengan narasi-nartasi identitas. Lalu, mengapa SBY yang berada pada Koalisi Indonesia Adil Makmur – koalisi partai-partai politik pendukung Prabowo-Sandi – turut mengkritik kampanye kawannya sendiri?
Kampanye Identitas?
Penggunaan narasi identitas dalam kampanye politik pernah digunakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam Pemilu tahun 2016 melawan Hillary Clinton, calon dari Partai Demokrat AS. Dalam kampanye-kampanyenya, pemilik Trump Organization tersebut sering menyerang kelompok-kelompok identitas lain, seperti kelompok Muslim dan kelompok Meksiko-Amerika.
Narasi identitas Trump menggunakan stereotip antar-kelompok yang berkembang di masyarakat AS. Stereotip-stereotip tersebut disulut oleh Trump untuk memanfaatkan emosi ketakutan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat AS.
Kelompok pengungsi Muslim, misalnya, disebut-sebut Trump sebagai biang kerok atas terjadinya berbagai serangan teror yang melanda AS. Di sisi lain, kelompok Latin-Amerika di AS disebut-sebut sebagai penyebab tingginya kriminalitas di negara tersebut, seperti pemerkosaan, peredaran narkotika, dan kekerasan antar-geng.
Narasi identitas tersebut memang disebut membawa keberhasilan bagi Trump dalam memenangkan kuris Gedung Putih di tahun tersebut. Narasi-narasi ini juga disebut menguatkan basis pendukungnya.
Penggunaan narasi identitas dalam kampanye politik inipun dapat dijelaskan dengan menggunakan Teori Identitas Sosial milik Henri Tajfel dan John C. Turner. Teori tersebut menjelaskan bahwa perilaku antar-kelompok juga dipengaruhi oleh stereotip dan prototip dari kelompok-kelompok tersebut.
Konotasi-konotasi negatif yang ditempelkan pada suatu kelompok membuat kelompok lain semakin menjauh dari kelompok berkonotasi negatif tersebut karena menganggap nilai-nilai yang diyakininya berbeda atau terancam.
Dalam politik, identitas sosial suatu kelompok juga dapat memengaruhi pola dukungan politik. Jika dijelaskan dengan Teori Identitas Sosial, politik identitas dalam Pemilu menciptakan persaingan antar-kelompok guna mempertahankan status sosial masing-masing.
Mekanisme menyangga bertujuan untuk membentuk dan membatasi perilaku di masyarakat. Share on XLeonie Huddy dan Alexa Bankert dalam tulisannya yang berjudul Political Partisanship as a Social Identity menjelaskan bahwa dukungan politik sebagai identitas sosial juga membuat menang tidaknya kelompoknya dalam Pemilu menjadi isu personal bagi kelompok tersebut. Akibatnya, dukungan politik dalam Pemilu menjadi bentuk aksi untuk mempertahanakan status sosial kelompoknya.
Lantas, apakah ada dampak lain dari penggunaan narasi identitas dalam kampanye politik?
Tentu, terdapat dampak lain yang dapat disebabkan oleh penggunaan narasi identitas dalam kampanye politik. Narasi pembedaan antar-kelompok, seperti “kita melawan mereka,” membuat batasan sosial antar-kelompok makin lebar. Akibatnya, upaya untuk meningkatkan interaksi sosial antar-kelompok juga semakin sulit.
Dampak ini pun terjadi juga pada kepresidenan Trump saat ini di AS. Michael D’Antonio dalam artikelnya di CNN menjelaskan bahwa Trump gagal menyatukan AS yang telah terpecah-belah pasca Pemilu 2016. Akibatnya, ancaman-ancaman kekerasan pun menghantui masyarakat AS.
Beberapa pidato Trump, seperti di Nevada, yang ditujukan untuk menyatukan AS sepertinya juga tidak berhasil. Beberapa kekerasan yang bermotivasi politis juga tetap terjadi. Tingkat persetujuan masyarakat AS terhadap Trump juga sempat menyentuh salah satu angka terendah dalam sejarah negara tersebut.
Lalu, apakah dampak penggunan narasi dan politik identitas juga dapat terjadi di Indonesia? Apakah benar seperti yang disebut SBY bahwa calon yang menggunakan politik identitas adalah pemimpin rapuh?
Mungkin saja hal itu dapat terjadi. Jika kita berkaca pada apa yang terjadi di AS, kritik SBY dalam suratnya bisa jadi benar dapat terjadi bila kandidat-kandidat dalam Pilpres 2019 masih menggunakan narasi identitas yang memecah belah Indonesia.
Salah satu narasi identitas yang paling kental dalam Kampanye Akbar Prabowo-Sandi adalah penyajian alasan memilih Prabowo-Sandi oleh Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. Melalui pidato lewat video, Habib Rizieq pun menyajikan narasi identitas “kita melawan mereka” berupa ancaman bagi dan dari kelompok tertentu apabila tidak memilih Prabowo-Sandi.
Pernyataan SBY mengenai pemimpin yang rapuh bisa juga benar dan dapat terjadi di Indonesia – mengingat Trump pun menjadi presiden yang gagal untuk menyatukan rakyatnya. Akibatnya, perbedaan antar-kelompok pun semakin melebar yang berlanjut pada munculnya berbagai permasalahan sosial lainnya, katakanlah yang bisa berujung pada penggunaan kekerasan.
SBY Sang Penyangga?
Surat yang dikirim oleh SBY memang terkesan mengkritik kawan koalisinya sendiri. Penggunaan narasi identitas tentu memiliki dampak sosial ke depannya dan dapat menjadi beban bagi Prabowo apabila terpilih menjadi presiden dalam Pilpres mendatang.
Namun, surat tersebut juga dapat saja bertujuan lain. Surat tersebut bisa jadi merupakan upaya SBY untuk menyangga kampanye politik Prabowo-Sandi. Upaya ini bisa saja dilakukan dengan memberikan surat sebagai kontrol sosial tertentu terhadap Prabowo-Sandi atas dampak buruk yang mungkin hadir di kemudian hari.
Wilson Edward Reed dari Seattle University dalam bukunya yang berjudul The Politics of Community Policing menjelaskan konsep penyangga (buffer) dengan mengutip definisi upaya menyangga dari Ira Katznelson yang mendefinisikannya sebagai apparatus kontrol sosial di masyarakat, serta sebagai simbol dan proses institusional yang melembutkan dampak dari kontradiksi sosial serta yang menyebabkan dan membuat masyarakat untuk bertindak melawan kepentingannya. Reed juga menjelaskan bahwa mekanisme menyangga bertujuan untuk membentuk dan membatasi perilaku di masyarakat.
Ira Katznelson dalam tulisannya yang berjudul Participation and Political Buffers in Urban America juga menjelaskan bahwa upaya menyangga ini digunakan pemerintah AS untuk melindungi legitimasi dan stabilitasnya.
Salah satu contoh kegagalan upaya menyangga yang disebutkan oleh Katznelson adalah terbentuknya kelompok-kelompok kelas menengah yang kontradiktif terhadap nilai-nilai dominan di AS, seperti kelompok Afrika-Amerika, Latin-Amerika, perempuan, LGBT, dan kelompok-kelompok lain.
Bila berkaca pada konsep menyangga yang dijelaskan di atas, surat SBY yang terkesan mengkritik kawan koalisinya sendiri bisa jadi juga bertujuan untuk melindungi legitimasi Kampanye Akbar Prabowo-Sandi yang memang erat dengan politik identitas. Artinya, kritik dari kubu lainnya dapat di-manage dengan baik karena SBY telah melakukan kontrol sosial terhadap Prabowo-Sandi, hal yang justru positif untuk bagi pemenangan pasangan tersebut.
Akibatnya, kontradiksi terhadap kampanye tersebut tidak akan memiliki dampak yang besar terhadap legitimasi Prabowo-Sandi agar dukungan terhadapnya tetap stabil. Ini juga membantu pasangan nomor urut 02 itu untuk tetap mengamankan dukungan dari kelompok lain, katakanlah yang nasionalis dan masih melihat penggunaan politik identitas secara negatif. Kritik yang datang dari pihak kubu juga pada akhirnya hanya dapat menggunakan kontrol sosial yang telah diberikan SBY.
Yang jelas, kawan tetap akan membantu kawannya meskipun menggunakan cara yang kadang tidak ramah. Seperti apa yang dikatakan oleh rapper Drake di awal tulisan, seorang kawan akan ingin selalu memberikan saran karena juga menginginkan hal yang terbaik bagi kelompok dan kawannya, termasuk dalam Pilpres 2019. Bukan begitu? (A43)