Sejak Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya drama yang menyangkut nama KPK tak pernah usai. Baru-baru ini, lembaga antirasuah tersebut tiba-tiba saja melaporkan aksi Greenpeace Indonesia ke polisi.
“Power does not corrupt. Fear corrupts… perhaps the fear of a loss of power” – John Steinbeck, The Short Reign of Pippin IV (1957)
Pada akhir bulan Juni lalu, Greenpeace menginisiasi aksi protes dengan cara menembakkan laser bertuliskan sejumlah pesan ke arah gedung KPK. Laser yang ditembakkan memuat pesan yang mengkritik KPK, misalnya “Berani Jujur Pecat!”, “#SaveKPK”, “Mosi Tidak Percaya”, dan lainnya.
Aksi yang dilakukan Greenpeace itu merupakan bentuk keprihatinan atas serangkaian upaya pelemahan yang terjadi di tubuh KPK beberapa waktu belakangan. Greenpeace ingin ikut menyuarakan keadilan bagi 51 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Awalnya, KPK mengapresiasi aksi tersebut, seperti yang disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri. Menurutnya, setiap bagian masyarakat punya peran masing-masing untuk ikut mendukung pemberantasan korupsi.
Namun, tiba-tiba KPK malah melaporkan Greenpeace ke polisi. Alasannya adalah karena aksi laser tersebut dinilai mengganggu ketertiban dan kenyamanan operasional KPK.
Baca Juga: Mahfud Akui Pelemahan KPK?
Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi publik. Selain itu, mungkin kita bingung apa hubungannya Greenpeace yang merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis isu lingkungan dengan KPK yang merupakan lembaga antirasuah.
Oleh sebab itu, perlu diselidiki apa penyebab dari perubahan sikap KPK tersebut dan apa hubungan Greenpeace dengan isu-isu korupsi. Lantas, mungkinkah ada sentimen tertentu di balik perseteruan antara KPK yang dipimpin Firli Bahuri dan Greenpeace?
Dari Korupsi ke Dampak Ekologi
Erica Chenoweth dalam jurnal berjudul The Future of Nonviolent Resistance berpendapat saat ini banyak orang di seluruh dunia yang percaya bahwa perlawanan tanpa kekerasan adalah sebuah metode yang tepat untuk mengubah keadaan, baik secara lokal maupun global. Hal ini berbeda dengan perlawanan-perlawanan yang terjadi di masa lampau, yaitu perlawanan menggunakan senjata.
Aksi langsung tanpa kekerasan (non violent direct action) adalah metode yang digunakan sipil secara kolektif untuk melakukan perlawanan demi tercapainya sebuah tujuan. Aksi ini biasanya terjadi dalam bentuk protes, demonstrasi, ataupun pemogokan.
Aksi penembakan laser ke gedung KPK oleh Greenpeace adalah salah satu bentuk dari aksi langsung tanpa kekerasan. Sebelumnya, Greenpeace dan LSM lain yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup memang kerap melakukan aksi-aksi langsung tanpa kekerasan sebagai upaya untuk mengungkapkan masalah lingkungan.
Kritik yang dilontarkan Greenpeace sebagai lembaga berbasis lingkungan terhadap KPK sebagai lembaga antirasuah sebenarnya tidak aneh. Apalagi saat ini banyak pihak yang menuding bahwa ada upaya untuk melemahkan KPK semenjak Firli Bahuri menjabat menjadi Ketua KPK.
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa memang ada kaitan antara korupsi yang sistemik dan kerusakan ekologis. Dalam penelitian yang berjudul Is Corruption Bad for Environmental Sustainability? A Cross-National Analysis, Stephen Morse mengatakan bahwa tata kelola pemerintahan yang buruk akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang buruk pula. Dan sering kali kebijakan buruk tersebut tentu akan kelestarian lingkungan akan terkena dampaknya.
Korupsi-korupsi tersebut meliputi masalah yang berkaitan dengan amdal atau izin pembangunan lahan, penggelapan pajak, praktik suap, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, Greenpeace mencatat beberapa pejabat di Indonesia yang melakukan praktik tersebut.
Baca Juga: KPK di Bawah Tangan Jokowi?
Misalnya, KPK telah berhasil selama tiga kali berturut-turut menangkap Gubernur Riau dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang berkaitan dengan persoalan lingkungan. Lalu, kasus OTT petinggi Sinar Mas yang menyuap anggota DPRD Kalimantan Tengah terkait proses perizinan kawasan hutan. Kemudian, Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang merupakan terpidana suap dan gratifikasi sejumlah izin tambang.
Lantas, apakah peristiwa melapornya KPK atas aksi Greenpeace ke polisi adalah aksi balas dendam Firli kepada lembaga dan organisasi yang kerap mengkritiknya? Lalu, apakah ini menjadi bukti baru bahwa memang ada upaya-upaya pelemahan terhadap KPK?
Balas Dendam Firli?
Setelah Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 disahkan, KPK resmi berubah dari lembaga independen menjadi lembaga pemerintah dalam rumpun eksekutif. Dari sinilah sebenarnya isu pelemahan KPK muncul ke permukaan.
Selain itu, pengangkatan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK juga mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak. Memang, Firli dikenal sebagai sosok yang penuh kontroversi, bahkan sebelum menjabat menjadi Ketua KPK.
Ia merupakan anggota polisi aktif dan diduga telah melakukan beberapa pelanggaran etik yang berat. Sebut saja dugaan menerima gratifikasi diskon penyewaan helikopter, sampai yang baru-baru ini adalah menyisipkan TWK sebagai persyaratan alih status pegawai KPK.
Beberapa pihak menuding kalau oligarki atau elite politik adalah dalang dari pelemahan KPK dan pemecatan 51 pegawai KPK yang kompeten. Tudingan tersebut didukung dengan bukti penelitian yang dilakukan Greenpeace, Auriga, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam sebuah laporan berjudul Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara yang menyebutkan bahwa para elite politik banyak terlibat dalam bisnis batu bara dan energi kotor.
Bisnis batu bara, pada akhirnya, dapat menjadi sumber pendanaan kampanye politik. Bahkan, menurut laporan tersebut, para pemain di sektor batu bara merupakan figur penting di tim kampanye para kandidat Pemilihan Presiden 2019.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan rasanya bila Greenpeace dan LSM lainnya mengkritisi upaya-upaya yang melancarkan praktik korupsi, seperti dugaan banyak pihak yang terjadi di KPK akhir-akhir ini.
Baca Juga: TWK ala Firli “Bayangi” Italia?
Akan tetapi, pelaporan Greenpeace oleh KPK di era Firli bisa menjadi indikasi adanya upaya kriminalisasi dan pembungkaman publik terhadap kebebasan berpendapat. Pasalnya, peristiwa pelaporan seperti ini baru pertama kali terjadi di KPK, meskipun sudah beberapa kali di demonstrasi.
Upaya mengkriminalisasi aktivis, termasuk aktivis lingkungan, sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia dan kali ini. Matthew Taylor, seorang aktivis lingkungan, menyebutkan bahwa aksi-aksi protes damai yang berkaitan dengan isu lingkungan memang kerap dibungkam dan dikriminalisasi di seluruh dunia.
Alih-alih mendengar protes dan berubah, pemerintah malah memilih untuk “menembak sang pembawa pesan” dan memenjarakannya. Sehubungan dengan melapornya KPK atas aksi Greenpeace, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai bahwa Firli tidak mau ada KPK yang independen. Sebab, narasi laser yang ditembakkan ke gedung KPK memang menyinggung permasalahan independensi KPK itu sendiri.
Peristiwa ini adalah contoh bahwa perlawanan sipil seperti tidak berdaya di hadapan pemerintah yang anti kritik. Erica Chenoweth mengatakan meskipun perlawanan sipil mencapai puncak popularitasnya yang baru sejak satu dekade lalu, akan tetapi efektivitasnya malah menurun.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab menurunnya efektivitas tersebut. Misalnya, perlawanan sipil mungkin saja berhadapan dengan rezim pemerintah yang lebih mapan dalam pengalaman.
Rezim tersebut sudah pernah menang melawan perlawanan yang serupa beberapa kali dengan menggunakan teknik-teknik seperti memenjarakan demonstran, memprovokasi demonstran sehingga menggunakan kekerasan, menyebarkan isu-isu konspirasi, dan lainnya.
Singkatnya, pemerintah telah belajar dan beradaptasi terhadap aksi-aksi tanpa kekerasan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, sehingga aksi-aksi serupa menjadi kurang efektif lagi. Taktik-taktik tersebutlah yang barangkali digunakan para oligarki untuk membungkam aksi Greenpeace.
Akan tetapi, efektif atau tidaknya aksi laser tersebut, masih belum bisa kita nilai dengan pasti. Menarik untuk melihat kelanjutan dari kasus pelaporan ini. Sebab, Ombudsman Republik Indonesia baru-baru ini menemukan adanya maladministrasi, pelanggaran prosedural, dan penyalahgunaan wewenang dalam proses alih status pegawai KPK. (R73)
Baca Juga: Firli dan Narasi Warga Baik