Majalah Tempo terbaru menampilkan gambar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan bayangan yang berhidung panjang. Sampul tersebut menimbulkan kontroversi karena mengandung penghinaan terhadap presiden.
PinterPolitik.com
“See me on the magazine cover and they’re all on me” – Skepta, penyanyi rap grime asal Inggris
Bagi sebagian besar penggemar dan penikmat musik hip-hop – khususnya para DJ, interpolasi merupakan hal yang tidak asing lagi. Interpolasi sendiri dapat dipahami sebagai penambahan sesuatu hal lain agar menciptakan makna atau hal yang baru, seperti lagu “Holy Grail” milik JAY Z dan Justin Timberlake yang menginterpolasi lagu Nirvana.
Interpolasi semacam ini juga dilakukan oleh majalah Tempo. Berkaitan dengan isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), interpolasi Pinokio dalam sampul depan majalah Tempo edisi 16-22 September 2019 membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) digambarkan memiliki sosok bayangan yang berhidung panjang.
Namun, interpolasi ini memunculkan tudingan bahwa terdapat upaya mendiskreditkan dan menghina pribadi presiden dengan dimuatnya gambar tersebut. Majalah ini memang kerap menimbulkan kontroversial melalui gambar-gambar yang dimuat di sampul depannya.
Cover majalah @tempodotco ini sangat menghina @jokowi sbg Presiden RI.
Tempo boleh tidak suka dgn revisi UU @KPK_RI – meskipun sebenarnya media tdk boleh berpihak.
Tapi membuat sebuah gambar yang menghina simbol negara ini, saya rasa sudah sangat keterlaluan ! pic.twitter.com/37ClbLKKmx
— Denny siregar (@Dennysiregar7) September 15, 2019
Ketika majalah Tempo membahas mengenai Soeharto secara khusus pada tahun 2008 misalnya, sampulnya yang merupakan interpolasi atas lukisan Leonardo Da Vinci menjadi polemik karena dianggap menyinggung kelompok agama tertentu. Selain Soeharto, majalah ini juga sempat menampilkan sosok yang diduga sebagai Habib Rizieq Shihab dalam bentuk kartun pada tahun 2018 – menimbulkan backlash dari beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas).
Beberapa pertanyaan pun timbul. Mengapa pesan-pesan visual yang dimiliki oleh majalah Tempo dapat menyebabkan perdebatan politik? Lalu, bagaimana dengan perdebatan yang timbul dari sampul Jokowi Pinokio? Apa makna di balik perdebatan tersebut?
Diskursus Visual
Penggunaan pesan-pesan visual dalam politik tidak hanya dilakukan oleh majalah Tempo. Berbagai media lain juga menggunakan gambar sebagai amplifikasi pesan guna memunculkan emosi dari siapa saja yang melihat.
Richard K. Popp dan Andrew L. Mendelson dalam tulisannya yang berjudul ‘X’-ing Out Enemies menjelaskan bahwa gambar memainkan peran sentral dalam membentuk pemahaman masyarakat. Makna dari gambar ini biasanya dibentuk berdasarkan bagaimana gambar itu terstruktur, konteks penampilannya, dan pengetahuan pembaca yang tersituasi secara temporal dan spasial.
Popp dan Mendelson juga memberikan perbedaan dampak yang diberikan oleh pesan tekstual dan pesan visual. Gambar dinilai memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan pesan verbal untuk memunculkan respons yang spontan.
Berdasarkan proses semiotika, gambar memiliki dua komponen, yakni signified – konsep atau objek yang terwakili – dan signifier – penanda yang mewakili. Kombinasi di antara signifiers secara terstruktur akan menghasilkan makna tertentu.
Signifikansi gambar di media ini terlihat dalam sampul-sampul majalah. Berbagai majalah asal Amerika Serikat (AS) – seperti Time – tersebut kerap mengombinasikan signified dengan beberapa signifier sehingga dapat menghasilkan pesan tertentu.
Sampul majalah Time edisi 2 Juli 2018 misalnya, menggabungkan foto seorang anak imigran Amerika Latin yang tengah menangis dengan foto Presiden AS Donald Trump. Sontak, pengumuman sampul majalah tersebut menimbulkan banyak reaksi dari warganet yang mengecam kebijakan perbatasan Trump.
Gambar memainkan peran sentral dalam membentuk pemahaman masyarakat. Share on XSelain Time, Bloomberg Businessweek juga menyisipkan pesan visual dengan memasang foto Presiden AS Barack Obama yang hanya tampak sebagian di sampul depannya. Lingkaran pelangi loading yang biasanya digunakan dalam komputer-komputer buatan Apple menyertai sampul tersebut sebagai signifier.
Sampul majalah tersebut bermaksud untuk menyindir Obama yang sebelumnya berjanji untuk menggunakan teknologi guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah AS. Namun, nasib berbeda malah terjadi pada situs healthcare.gov yang harus mengalami gangguan.
Penggunaan gambar-gambar seperti Time dan Bloomberg Businessweek ini tentu memberikan dampak lanjutan. Popp dan Mendelson dalam tulisannya menjelaskan bahwa gambar dapat memberikan kontribusi besar bagi dialog atas pemikiran sosial bersama atas subjek yang digambarkan.
Lalu, bagaimana dengan sampul majalah Tempo yang menggambarkan bayangan Jokowi berhidung panjang seperti Pinokio?
Seperti yang dilakukan oleh Time dan Bloomberg Businessweek, Tempo juga memberikan pesan-pesan visual yang mengandung makna tertentu bagi publik. Seperti Time, masyarakat Indonesia menjadikan sampul majalah Tempo terbaru itu perdebatan mengenai isu pelemahan KPK – dengan #PinokioIngkarJanji yang menjadi trending topic di Twitter.
Uniknya, isu pelemahan KPK ini bukan satu-satunya komponen yang didiskusikan. Perdebatan lain malah terjadi juga pada menghina atau tidaknya sampul majalah Tempo tersebut terhadap pribadi Presiden Jokowi.
Penulis Denny Siregar misalnya, melalui akun Twitter @Dennysiregar7 menganggap sampul majalah Tempo yang menggambarkan Jokowi sebagai Pinokio adalah bentuk penghinaan presiden sebagai simbol negara.
Mungkin, ragamnya perdebatan ini menjadi beralasan. Pasalnya, Popp dan Mendelson juga menyebutkan bahwa meski gambar memiliki kemampuan intertekstual lebih dibandingkan tulisan, sifatnya memiliki variasi makna juga memberikan pembacaan yang berbeda.
Terlepas dari variasi makna tersebut, mengapa isu penghinaan presiden menjadi penting? Apa implikasi lebih lanjut dari perdebatan ini?
Penghinaan Presiden?
Adanya anggapan bahwa sampul majalah Tempo telah menghina presiden bisa jadi berkaitan dengan adanya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Pasalnya, dalam waktu dekat, RUU ini akan segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
RUU KUHP tersebut mengatur mengenai tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden pada Bab II. Dalam bab tersebut, terdapat Pasal 218 dan Pasal 219 yang dapat memidanakan siapa saja yang dianggap menyerang kehormatan presiden.
Setidaknya, sampul majalah Tempo beberapa waktu lalu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana melalui Pasal 219. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa siapa saja yang menyebarkan gambar, tulisan, atau rekaman yang menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wapres dapat dikenai hukuman penjara selama empat tahun.
Adanya RUU ini bisa jadi berkaitan dengan strategi politik Jokowi yang disebut-sebut memiliki kecenderungan untuk menggunakan cara-cara yang otoritatif. Thomas Power dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline menjelaskan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut menggunakan instrumen-instrumen hukum guna melawan oposisi-oposisi politiknya.
Uniknya, adanya anggapan terkait upaya penghinaan presiden oleh majalah Tempo ini bisa saja memunculkan diskursus yang mendukung tindakan-tindakan otoritatif tersebut. Asumsi tentang adanya penghinaan presiden ini seakan-akan menimbulkan kewajaran bahwa upaya kritis Tempo dapat tergolong sebagai tindakan yang salah.
Mengacu pada pemikiran Michel Foucault – filsuf asal Prancis, pengetahuan (knowledge) memiliki hubungan yang saling mengartikan dengan power. Power sendiri dalam pandangan Foucault tidaklah statis antara satu pihak dengan satu pihak lainnya, melainkan bersifat dinamis dan berada di antara hubungan-hubungan sosial yang terbangun.
Dari sini, Foucault meyakini bahwa pengetahuan dapat mendorong adanya pelaksanaan power. Pengetahuan yang berasal dari persepsi individu terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya dibentuk melalui diskursus. Diskursus juga membangun “kebenaran” yang diyakini.
Adanya perubahan dalam diskursus ini dapat membawa dampak tertentu. Foucault memberi contoh atas perubahan diskursus dalam bidang hukum. Perubahan diskursus legal juga dapat membawa pada sistem hukum, seperti metode hukuman pidana.
Pemikiran Foucault ini setidaknya dapat ditarik kembali pada polemik sampul majalah Tempo. Bukan tidak mungkin bahwa adanya diskursus penghinaan presiden mendorong persepsi dan “kebenaran” baru di masyarakat sehingga menimbulkan kewajaran apabila kritik terhadap presiden perlu dianggap sebagai tindak pidana.
Meski begitu, gambaran keterkaitan antara polemik sampul majalah Tempo dengan pasal penghinaan presiden RUU KUHP tersebut belum dapat dipastikan. Pasalnya, diskursus itu sendiri masih hanya didorong oleh beberapa individu, bukan Jokowi yang justru lebih memiliki power dalam membangun pengetahuan dan “kebenaran” di masyarakat.
Yang jelas, seperti perasaan yang diungkapkan dalam lirik rapper Skepta di awal tulisan, menjadi tampilan utama dalam sampul depan majalah memang menarik banyak perhatian orang, entah perhatian yang bagaimana diberikan masyarakat. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.