Pernyataan Said Aqil Siraj yang menyebut kubu kandidat 02 didukung oleh kelompok Islam konservatif, radikalis dan teroris oleh banyak pihak dianggap cukup berbahaya dan bisa memperlebar jurang antara golongan NU versus non-NU
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]su radikalisme dan konservatisme Islam di Indonesia rasa-rasanya kian memanas jelang Pilpres kali ini. Hal ini salah satunya terlihat dalam pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Haji Said Aqil Siraj yang melanyangkan tuduhan serius kepada paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam video wawancaranya dengan Najwa Shihab, kiai asal Cirebon ini menyebut bahwa kubu 02 merupakan tempat berkumpulnya pendukung ekstremis, radikalis, hingga teroris.
Namun, pernyataan sang kiai tersebut seolah menyulut kemarahan bagi sebagian pihak yang merasa tersindir dengan ucapannya.
Kiai Said Aqil kembali menuai kontroversi dengan statementnya Share on XAtas aksinya itu, Said Aqil Siraj kini tengah menghadapi laporan hukum yang dilayangkan oleh Koordinator Laporan Bela Islam (Korlabi) kepada polisi dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian dan negative campaign atau kampanye negatif. Penyebutan istilah terakhir cukup aneh karena model kampanye ini tidak dilarang dan berbeda dengan black campaign alias kampanye hitam.
Bahkan Ketum PBNU tersebut diharuskan meminta maaf kepada Habib Rizieq Shihab ke Mekkah dan mendapat surat pernyataan bahwa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu memberi maaf.
Pasalnya, selama ini Rizieq dianggap sebagai pihak yang secara nyata berjuang untuk mendukung pencapresan Prabowo lewat Ijtima Ulama 1 dan 2. Sehingga, ucapan Said Aqil dianggap juga menyerang sosok sang habib.
Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi juga tak terima dengan ujaran sang kiai. BPN menyebutkan bahwa Said Aqil tengah melakukan kampanye hitam. Mereka juga membantah seluruh tuduhan bahwa kelompok radikalis berada di kubu Prabowo-Sandi.
Perdebatan ini tentu menarik di tengah panasnya suhu politik jelang Pilpres di mana narasi agama masih kuat mempengaruhi wacana publik.
Adanya pernyataan Said Aqil ini seolah memantik kembali perdebatan tentang politik identitas dan gesekan antara kelompok-kelompok Islam sendiri .
Lalu bagaimana sebaiknya memandang sikap Said Aqil tersebut?
Radikalisme, Hantu Pilpres 2019?
Wacana tentang ekstremisme dan radikalisme seolah tak bisa terlepaskan dalam konteks politik di Indonesia, terutama sejak Aksi Bela Islam 212 mencuri perhatian publik secara luas jelang Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu.
Memang, gerakan 212 ini oleh banyak pihak disebut-sebut digerakkan oleh kekuatan-kekuatan kelompok-kelompok Islam konservatif.
Sejak saat itu, isu berkembangnya kekuatan politik Islam konservatif disinyalir menyebabkan kelompok Islam yang lain – terutama kelompok tradisionalis dan moderat – menjadi khawatir, bahkan calon petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga disebut-sebut ikut kebakaran jenggot saat aksi massa yang memutihkan ibu kota itu terjadi.
Kini, menjelang Pilpres 2019, kekuatan Islam konservatif ini disinyalir melabuhkan dukungan untuk mendukung Prabowo-Sandi – setidaknya demikian yang diungkapkan Said Aqil.
Dugaan tersebut sesungguhnya tak sepenuhnya salah. Dalam konteks dukungan politik, Prabowo memang sempat menandatangani Pakta Integritas dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) yang disebut-sebut sebagai organisasi representasi dari kelompok Islam konservatif.
Menebar HOAX dengan mengatakan 'Prabowo didukung kelompok radikal', ketua umum PBNU Said Aqil dilaporkan ke Polisi.
"Enggak pantas ulama NU adu domba. Apa bedanya Said Aqil dengan unsur pembakar bendera tauhid kemarin"https://t.co/XjupeSqPQU#IndonesiaTanpaJIL
— Muslim Cyber Army (@MCAOps) March 19, 2019
Dalam pakta tersebut, memang terdapat poin-poin wacana tentang menegakkan nilai-nilai agama Islam, memperhatikan “kepentingan umat beragama”, melindungi masyarakat dan sumber daya bangsa, serta menjamin kembalinya Habib Rizieq Shihab yang kini tengah berada di Arab Saudi.
Lalu benarkah pernyataan Said Aqil Siraj bahwa kelompok radikal dan konservatif ini merupakan ancaman bagi NKRI?
Dalam praktiknya, ancaman yang disebutkan oleh Said Aqil tersebut tak sepenuhnya tepat karena batasan-batasan tentang ancaman kelompok radikal ini juga tak jelas pengertiannya.
Dalam konteks ancaman negara khilafah misalnya, dengan tingkat ragam keyakinan yang cukup tinggi di Indonesia, tak mungkin gagasan tersebut akan terwujud, meskipun Islam adalah agama mayoritas di negara ini.
Kiai Maruf Amin dihina, Said Aqil dilaporkan polisi dan dipaksa minta maaf. Tapi yg dituduh penistaan Ahok, dan Kriminalisasi pak Jokowi. Melihat semua kemunafikan yg terang benderang, yg kmd ditunggangi para oportunis, apakah kita akan berdiam diri?#02vsNU #01EkstrapolasiUnggul
— Hanny Setiawan (@hannysetiawan) March 22, 2019
Namun, perdebatan kemungkinan kelompok-kelompok ekstrem ini merebut ruang-ruang politik dan menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah tetap muncul sebagai momok yang semakin besar diperbincangkan di masyarakat.
Hal ini berkaitan dengan perasaan insecurity yang terus dikonstruksi dan direproduksi. Sehingga, narasi bahwa kelompok ekstremis dan radikalis menjadi pendukung kandidat 02 tak ubahnya sebagai bentuk persuasi politik semata di mana kelompok ini dicitrakan menjadi ancaman bagi NKRI pada Pilpres kali ini.
Terlebih lagi, pendekatan-pendekatan yang salah – lewat represi maupun kekerasan – dalam menghadapi kelompok-kelompok ini memang kerap kali ditunjukkan baik oleh penguasa maupun oleh NU sendiri sebagai entitas komunitas Islam tradisionalis.
Tentu realitas tersebut justru akan menyulut kemarahan dari kelompok-kelompok konservatif ini dan secara psikologis justru berpotensi memicu konflik.
Terlebih, kini NU disebut-sebut sedang nyaman berada di lingkaran kekuasaan. Setidaknya itulah yang dikatakan Greg Fealy dari Australian National University dalam sebuah tulisan berjudul Nahdlatul Ulama and the Politics Trap.
Sehingga, sikap Said Aqil ini rentan membawa NU kepada apa yang disebut sebagai social exclusion atau eksklusi sosial, di mana berpotensi memperlebar jurang keterbelahan antara warga muslim NU versus non-NU.
Hal ini juga selaras dengan pendapat Alexander Kuo, Neil Malhotra dan Cecilia Hyunjung Mo dalam tulisannya yang berjudul Social Exclusion and Political Identity: The Case of Asian American Partisanship, yang menyebutkan bahwa kelompok kepentingan atau partai politik yang mengekslusi diri mereka sendiri cenderung tak akan dipilih oleh pemilih di luar kelompok mereka. Artinya, pernyataan Said Aqil sangat mungkin melahirkan gesekan-gesekan antara sesama kelompok muslim.
Menggugat Said Aqil Siraj
Kiai Said Aqil Siraj bisa dibilang merupakan ulama senior yang berpengaruh baik secara pengetahuan agama, pengetahuan keilmuan, bahkan dalam tataran politik di tubuh NU sendiri.
Ia merupakan alumni University of Umm Al-qura dengan jurusan Aqidah dan Perbandingan Agama untuk pendidikan S2 dan S3. Sementara pendidikan S1 ditempuhnya di Universitas King Abdul Aziz.
Selain itu, kiai Said merupakan ulama darah biru yang mewarisi ketokohan dari sang ayah yang merupakan ulama terkemuka di Cirebon. Pengaruh politiknya juga semakin dikukuhkan ketika ia berhasil menjadi Ketua Umum PBNU untuk dua periode.
Wah, kl seperti ini caranya justru makin memperjelas posisi head to head #02vsNU pic.twitter.com/d4O1FvW76P
— #99 (@PartaiSocmed) March 21, 2019
Namun, jelang Pilpres kali ini, justru sikap sang kiai sering kali berpotensi memunculkan turbulensi politik yang membahayakan keutuhan bangsa sendiri.
Tak hanya ujaran tentang ekstremis yang berpotensi menyulut kemarahan kelompok islam konservatif, beberapa waktu lalu sang kiai juga menarik perhatian ketika menyebut bahwa imam masjid, khatib, pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) dan menteri agama harus dipimpin oleh orang-orang NU.
Kala itu, ucapan sang kiai juga menuai kontroversi di antara banyak ormas-ormas lain layaknya Muhammadiyah yang menyayangkan hal tersebut.
Kini, statement Said Aqil tentang kelompok ekstrimis yang menjadi pendukung kubu 02 justru mencerminkan apa yang disebut sebagai bentuk negative partisanship atau keberpihakan negatif. Terlebih pada Pilpres 2014 sang kiai juga mendukung kandidat Prabowo Subianto dan kini ia berbalik berada di kubu petahana Jokowi. Tentu sulit untuk melepaskan stigma bahwa statement sang kiai cukup berbau politis.
Menurut Thomas B. Edsall, pengajar jurnalisme politik di Columbia University , negative partisanship atau keberpihakan negatif ini telah mengubah politik secara radikal di mana kemarahan telah menjadi alat utama untuk memotivasi dan memprovokasi pemilih.
Ujaran yang dilontarkan sang kiai bisa saja ditangkap dan diinterpretasikan oleh kelompok di luar NU sebagai bentuk sentimen politik yang berlebihan.
Selain itu, dengan posisinya sebagai Ketua Umum PBNU, bukan tidak mungkin sikap kiai Said ini juga akan membawa NU menuju negative partisanship karena sebagai tokoh berpengaruh, bisa dibilang ia berkontribusi terhadap konstruksi citra negatif Islam ekstrimis bagi kaum nahdliyin.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Shanto Iyengar dan Masha Krupenkin, ahli politik dari Stanford University dalam tulisannya yang berjudul The Strengthening of Partisan Affect. Keduanya menemukan bahwa ketika permusuhan terhadap lawan politik kian meningkat, hal ini justru memunculkan adanya kelompok kebencian (animus out-group) terhadap kelompok pendukung (favoritism in-group) yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku politik mereka.
Ketika dukungan untuk seorang kandidat didasarkan pada perasaan ketidaksukaan yang kuat, konsekuensinya adalah matinya logika akuntabilitas. Sehingga, kepuasan batin dari negative partisanship ini akan diperoleh dengan jalan mengalahkan dan mempermalukan kelompok di luar mereka. Hal tersebut pada akhirnya membuat negative partisanship ini berkontribusi dalam memperkuat polarisasi dalam masyarakat.
Meskipun sikap kiai Said Aqil tak sepenuhnya salah sebagai strategi politik, namun cukup berbahaya bagi kondisi sekarang ini di mana polarisasi politik cukup tajam terjadi di antara masyarakat.
Pada akhirnya, pendekatan Said Aqil Siraj maupun NU dalam merespon berkembangnya kelompok-kelompok ekstrimis dalam percaturan politik Indonesia perlu dipertanyakan kembali relevansinya dan efektivitasnya.
Lalu mungkinkah pernyataan sang kiai tersebut justru mengindikasikan bahwa telah terjadi rivalitas pengaruh di antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia dalam konteks politik kekuasaan di tanah air? Menarik untuk dilihat kelanjutannya. (M39)