Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Rocky Gerung, BIN dan PDIP

Di Balik Rocky Gerung, BIN dan PDIP

Rocky Gerung selalu sensasional. (Foto: Y14)

Rocky Gerung menyebut alasan utama PDIP menjadi partai yang kuat adalah karena Badan Intelijen Negara (BIN). Nyatanya, kata-kata Rocky ini menggambarkan praktik politik yang sering terjadi di banyak negara demokrasi, utamanya ketika lembaga negara dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Rocky setidaknya mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia telah dibawa kembali ke era sebelum tahun 1644 saat kekuasaan dianggap sebagai hukum: the king is law.


PinterPolitik.com

“Any political party that includes the word ‘democratic’ in its name, isn’t.”

:: Patrick Murray, aktor Inggris ::

[dropcap]N[/dropcap]o Rocky, no party! Pengajar filsafat dan pengamat politik Rocky Gerung kembali mengeluarkan pernyataan sensasional. Setelah beberapa waktu lalu menyebut Kitab Suci sebagai karya fiksi dan sempat menimbulkan kehebohan yang besar, kini pendiri SETARA Institute itu hadir dengan pernyataan terbarunya tentang kekuatan politik PDIP.

Rocky secara gamblang menyebutkan bahwa kekuatan utama PDIP sebagai partai penguasa bukanlah terletak pada gagasan Soekarno atau sifatnya yang Soekarnois, bukan pula pada sosok ketokohan Megawati Soekarnoputri yang sejak reformasi menjadi tokoh utama partai merah tersebut.

Menurut Rocky, hal yang membuat PDIP kuat dan menyebabkan banyak partai ingin berkoalisi dengan partai tersebut adalah karena hubungannya dengan BIN. Pernyataan tersebut ia keluarkan dalam kesempatan diskusi yang diadakan oleh PolMark Indonesia sehari yang lalu.

Posisi BIN sentral karena punya wewenang untuk melakukan penyadapan. Bayangkan jika BIN sudah dipolitisasi, maka penyadapan ini akan besar pengaruhnya jika yang disadap adalah kelompok lawan PDIP. Share on X

Rocky tidak memberikan penjelasan lanjutan maksud pernyataannya tersebut. Namun, jika yang ia maksudkan adalah koneksi antara PDIP dengan BIN sebagai lembaga intelijen negara, maka pernyataan Rocky masuk akal.

Pasalnya Kepala BIN saat ini, Budi Gunawan (BG) adalah mantan ajudan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri saat menjabat sebagai presiden antara tahun 2001-2004. Artinya memang sangat mungkin ada hubungan yang saling mempengaruhi antara BIN sebagai entitas lembaga negara dengan PDIP sebagai entitas partai politik.

Rocky juga menyebut bahwa hal serupa terjadi pada Partai Nasdem dengan institusi Kejaksaan Agung. Menurutnya, hal yang membuat Partai Nasdem kuat bukanlah ideologi atau sosok Surya Paloh sebagai ketua umum, tetapi karena “punya” Jaksa Agung. Yang dimaksud Rocky tentu saja adalah sosok Muhammad Prasetyo, Jaksa Agung yang pernah menjadi kader Nasdem.

Menurut Rocky, Jaksa Agung bisa menentukan nasib caleg di setiap harinya dan dengan demikian membuat partai taraf menengah, katakanlah seperti Hanura, tertarik untuk selalu berkoalisi dengan Nasdem.

Pernyataan Rocky ini kemudian mendatangkan tanggapan yang agak “emosional” dari PDIP. Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari misalnya, menyebut partainya telah didirikan sejak 1927 saat orang tua Rocky masih bayi dan mampu bertahan hingga saat ini karena ideologi. Tentu yang dimaksud Eva adalah garis ideologis PDIP yang diturunkan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berdiri pada tahun tersebut.

Konteks ideologis itulah yang membuat PDIP punya kader-kader yang saat ini mampu menduduki jabatan publik dalam politik Indonesia, apalagi di era Orde Baru, BIN adalah musuh PDIP. Jadi, menurutnya pernyataan Rocky sangat imajinatif.

Namun, walaupun menurut psikolog Barton Goldsmith, “feelings” bukanlah fakta, tetapi sometimes truth comes out of anger – kebenaran seringkali keluar dari kemarahan.

Hal ini membuat reaksi PDIP atas pernyataan Rocky menimbulkan pertanyaan, benarkah demikian? Apakah pertautan lembaga negara dengan partai politik adalah hal yang lumrah terjadi dan menguntungkan kepentingan elektoral?

BIN dan PDIP, the King is Law?

Faktanya, jika berkaca pada fenomena serupa yang terjadi di beberapa negara yang menganut demokrasi, apa yang dituduhkan oleh Rocky ini bisa disebut sebagai kondisi politisasi lembaga negara, utamanya lembaga negara yang punya hubungan dengan persoalan hukum dan keamanan nasional.

Rachel Kleinfeld – pendiri dan CEO Truman National Security Project – dalam tulisannya di Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan bahwa politisasi institusi keamanan bahkan terjadi di negara paling demokratis seperti Amerika Serikat (AS).

Kleinfeld mengutip hasil poling yang dilakukan oleh Reuters pada Februari 2018 yang menyebut sekitar 73 persen pemilih Partai Republik melihat FBI dan Departemen Kehakiman AS semakin sering melakukan investigasi yang terlihat bertujuan untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Donald Trump. Dengan kata lain, kiprah lembaga-lembaga tersebut dianggap secara politis “digunakan” untuk kepentingan politik melawan Trump.

Padahal, poling serupa yang dilakukan oleh Reuters 4 tahun lalu justru menyebut 84 persen pemilih Partai Republik melihat kerja dua lembaga itu justru favorably atau menguntungkan partainya.

Kleinfeld menyebut kondisi tersebut membuat AS menjadi negara berstatus struggling democracies atau yang masih memperjuangkan demokrasinya karena lembaga-lembaga hukum dan keamanan terpersepsikan beraliansi dengan partai politik tertentu.

Ia juga menyebut bahwa kini di bawah kepemimpinan Trump, publik cenderung melihat lembaga macam Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan bahkan militer sebagai “institusinya” Partai Republik. Sementara FBI, agen-agen CIA dan Departemen Luar Negeri, serta polisi di kota-kota besar sebagai “institusinya” Partai Demokrat.

Kleinfeld menyebut hal ini akan membahayakan demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Menurutnya, ketika lembaga-lembaga hukum dan kemanan – apalagi yang punya kekuasaan atas senjata, punya kuasa mengadili, menangkap, menyadap, dan lain sebagainya – dipolitisasi untuk kepentingan tertentu, maka demokrasi sedang dihadapkan pada bahaya.

Politisasi institusi-institusi negara itu berpotensi melahirkan kepemimpinan otoritarianisme – jika itu dimanfaatkan oleh rezim berkuasa – dan pada akhirnya akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap konsep negara itu sendiri.

Pandangan ini beralasan, mengingat sejak Samuel Rutherford – seorang teolog Presbiterian Skotlandia – menulis buku berjudul Lex, Rex yang terbit pada tahun 1644, ada pembalikan konsep yang semulanya percaya bahwa “the king is law” – raja adalah hukum – diubah menjadi “law is the king” – hukum adalah raja.

Dengan “king” sebagai simbol kekuasaan, maka penggunaan institusi hukum dan keamanan sebagai alat politik – yang adalah proses untuk mencapai kekuasaan – adalah pembalikan peradaban ke era sebelum 1644. Jika hal itu yang terjadi, maka tentu saja kita harus kembali mempertanyakan perkembangan peradaban manusia.

Lalu, bagaimana dalam konteks PDIP dan Rocky Gerung?

Tentu saja tuduhan Rocky tidak main-main. Pernyataan yang digunakannya tersebut menempatkan PDIP yang adalah partai berkuasa ke dalam frame pemikiran Kleinfeld, sekaligus ingin mengatakan bahwa di Indonesia sedang ada proses kembali ke era “the king is law” dengan BIN sebagai institusi yang dipolitisasi.

Argumentasi Rocky tentu saja logis, mengingat BG sebagai Kepala BIN punya kedekatan dengan Megawati dan PDIP. BG adalah mantan ajudan Megawati dan pernah diusulkan sebagai Kapolri di awal-awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa. Bahkan dalam rekaman percakapan Setya Novanto dalam kasus “Papa Minta Saham”, terungkap bahwa Mega marah besar saat BG tidak jadi diangkat sebagai Kapolri.

Pertalian BG dan PDIP juga terlihat ketika nama sang jenderal sempat mencuat sebagai cawapres Jokowi yang diusulkan oleh partai tersebut. Selain itu, berbicara konteks BG juga berarti berbicara konteks institusi penegak hukum lain, dalam hal ini kepolisian. Pengaruh BG nyatanya masih sangat kuat di institusi ini – hal yang diakui langsung oleh Kapolri Tito Karnavian.

Ketika BG pensiun, Tito menyebutnya berjasa besar dalam proses reformasi di tubuh Polri, terutama pasca berpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Saat reformasi itu terjadi, BG yang menjadi ajudan Mega, ikut “membisikkan” banyak hal yang berhubungan dengan kepentingan Polri – hal yang mungkin menguntungkan secara posisi dan anggaran bagi institusi ini.

Dalam hal anggaran misalnya, Polri menjadi lebih independen, berbeda dengan TNI yang anggarannya masih harus berhubungan dengan Kementerian Pertahanan. BG sendiri pun dipercaya masih punya pengaruh besar di kepolisian sekalipun telah pensiun. (Baca: Budi Gunawan, Setara Caesar?) 

Hubungan BG dan Megawati inilah yang mungkin membuat Rocky lantang menunjuk kekuatan politik hubungan keduanya. BIN sebagai institusi negara memang punya kewenangan untuk kerja-kerja intelijen yang tentu saja akan “berguna” jika dimanfaatkan oleh partai politik. Tetapi apakah benar hal itu yang terjadi?

Politisasi Lembaga Keamanan Negara?

Publik tentu masih ingat saat Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melayangkan kritik terhadap netralitas institusi penegak hukum dalam kontestasi Pilkada beberapa waktu lalu. Kritik SBY beralasan mengingat selama ini Partai Demokrat yang ia pimpin menurutnya dirugikan oleh penegak hukum.

Beberapa pihak memang memandang sebelah mata kritik SBY ini. Namun, sebagai mantan jenderal dan kepala negara, SBY sudah lebih dari cukup untuk paham indikasi-indikasi yang membuatnya mempertanyakan netralitas lembaga-lembaga negara, termasuk BIN dan Kepolisian.

Posisi BIN juga sentral karena punya wewenang untuk melakukan kerja yang sangat penting, misalnya penyadapan. Bayangkan jika BIN sudah dipolitisasi – katakanlah seperti yang dituduhkan oleh Rocky Gerung – maka kerja penyadapan ini akan sangat besar pengaruhnya jika yang disadap adalah kelompok lawan PDIP. Segala strategi politik yang dirumuskan dan semua gerak-gerik lawan akan dengan mudah diketahui bahkan di-counter.

Jika hal ini benar terjadi, maka jelaslah posisi PDIP menjadi sangat kuat. Apalagi, faktanya operasi intelijen dan peran lembaga penegak hukum akan sangat besar berdampak pada hasil akhir kontestasi politik sebuah negara.

Scott Shane dalam tulisannya di The New York Times menggambarkan secara jelas bagaimana operasi intelijen mewarnai pemilihan umum di banyak negara, baik itu intelijen asing maupun intelijen dari dalam negeri. (Baca: Waspada Intervensi Intelijen di 2019)

Jika yang dituduhkan Rocky Gerung benar, maka apakah itu berarti PDIP sangat mungkin menang lagi di Pemilu 2019 nanti? Apakah Jokowi sebagai petahana juga akan “kecipratan” manfaatnya? Tidak ada yang tahu pasti.

Yang jelas, Rocky masih cukup waras untuk mengeluarkan pernyataan yang cukup “berbahaya” seperti itu. Mungkin itulah bentuk keprihatinan dia terhadap demokrasi di Indonesia karena seperti kata Patrick Murray di awal tulisan, partai politik dengan kata “demokratik” di namanya seringkali tidak benar-benar demokratis. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version