Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Retorika Pidato Jokowi

Di Balik Retorika Pidato Jokowi

(Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin, menyampaikan pidato politik pertamanya. Pidato yang diberi judul “Visi Indonesia” ini mendapatkan respon positif maupun negatif dari beberapa pihak baik, baik dari segi pemilihan kata dan gaya bicara, maupun dari sisi substansi.


PinterPolitik.com

Jokowi, bersama dengan Ma’ruf Amin sebenarnya sudah pernah menyampaikan pidato saat ditetapkan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan ketika menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2019.

Dalam pidatonya yang diberi judul “Visi Indonesia”, Jokowi menyampaikan lima visinya, yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM), mengundang investasi yang seluas-luasnya, reformasi birokrasi, dan penggunaan anggaran yang fokus dan tepat sasaran.

Sekilas memang tidak ada hal baru. Kelima visi tersebut sudah pernah disinggung dan dijalankan pada periode 2014-2019 bersama Wapres Jusuf Kalla (JK).

Lalu, apa yang membuat pidatonya kali ini berbeda dan penting dibandingkan pidato-pidato sebelumnya?

Retorika Pidato Pertama

Jika pidato-pidato Jokowi-Ma’ruf sebelumnya masih dipenuhi dengan hal-hal seputar Pilpres seperti berterima kasih kepada para permilih, membahas proses konstitusional sengketa Pemilu, dan menenangkan “cebong-kampret”, pidato kali ini sudah sama sekali tidak lagi membahas hal-hal tersebut.

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari situasi Pilpres yang memang sudah selesai di mana MK sudah mengeluarkan keputusannya dan keduanya sudah ditetapkan sebagai pemenang.

Sudah terjadinya rekonsiliasi dengan Prabowo sehari sebelumnya, di mana pada kesempatan tersebut Ketum Partai Gerindra itu sudah mengucapkan selamat dan mengakui Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang Pilpres 2019, juga dapat dikaitkan dengan keleluasaan pidato sang petahana.

Oleh sebab itu, dengan sudah selesainya sengketa pemilu di MK, sudah dilakukannya penetapan dari KPU sebagai Presiden dan Wapres terpilih, serta sudah “legowo”-nya Prabowo, maka tidak ada lagi alasan bagi Jokowi-Ma’ruf untuk tidak semakin menampilkan dan mendeklarasikan diri “Kamilah Presiden dan Wapres Indonesia periode 2019-2024”.

Penegasan diri inilah yang sepertinya juga ingin disampaikan secara tersirat dalam pidato Jokowi-Ma’ruf kali ini. Isi pidato juga berfokus pada lima visi, setidaknya dalam aspek ekonomi, terkait apa yang akan keduanya lakukan lima tahun ke depan.

Secara pemilihan kata dan gaya bicara, pidato kali ini memperlihatkan sosok Jokowi yang lebih berani dan percaya diri dalam masa jabatannya yang kedua.

Menurut peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, pidato ini menandakan dimulainya momen periode kedua Jokowi yang akan memperlihatkan seperti apa sebenarnya jati diri seorang mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Gaya bicara dalam pidato kali ini juga dilihat Mochtar tidak lepas dari beban pemerintahan Jokowi yang akan lebih ringan karena tahun depan sudah tidak bisa mengikuti Pilpres lagi.

Hal serupa juga diutarakan oleh Direktur Presidential Studies-DECODE UGM, Nyarwi Ahmad. Nyarwi melihat ada peningkatan dalam kepercayaan diri seorang Jokowi jika dibanding tahun 2014.

Di sisi lain, pidato Jokowi-Ma’ruf juga tidak lepas dari kritik yang utamanya datang dari sisi substansi. Jokowi dinilai hanya membahas persoalan ekonomi saja.

Kritik salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Institute Criminal of Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju. Ia mengkritik tidak adanya aspek penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dalam pidato Jokowi.

Ubedilah Badrun, Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, juga menyayangkan tidak adanya indikator yang jelas dalam kelima visi Jokowi. Menurutnya, jika tidak diikuti oleh indikator yang jelas, “Visi Indonesia” berpotensi otoriter dan terjadi hegemoni makna terutama atas tafsir Pancasila.

Pidato Jokowi juga terlihat secara tidak langsung menyindir kembali kinerja kabinetnya saat ini dan terkait dengan daftar menteri yang akan diganti. Hal paling menarik ada di penekanan visi-nya yang ketiga, yaitu terkait hambatan investasi. 

Pasalnya, belum sampai seminggu, Jokowi menegur empat menterinya karena isu tersebut. Bisa jadi diungkitnya kembali isu ini semakin memperlihatkan niat Jokowi untuk mencopot menteri-menteri tersebut. 

Pidato Jokowi memang bisa dilihat dari sisi retorika dan model persuasi yang digunakan di dalamnya. Menurut Aristoteles, ada tiga model persuasi dalam suatu retorika: ethos, logos, dan pathos.

Ethos adalah bagaimana karakter dan reputasi seseorang berpengaruh ketika orang tersebut berusaha menyakinkan penonton bahwa dia memiliki kualifikasi atas apa yang dibicarakannya.

Tidak lagi dibahasnya isu-isu Pilpres, termasuk tidak disebutkannya nama Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, memberi pesan bahwa bagi Jokowi, Pilpres sudah lewat dan bahwa dialah presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan.

Dalam menjelaskan kelima visinya, Jokowi memperlihatkan dirinya sebagai presiden terpilih dengan menegaskan otoritasnya untuk meng-“hajar”, me-“mangkas”, dan mem-“bubarkan” lembaga, kementerian, ataupun pejabat yang menurutnya tidak bekerja dengan baik.

Melalui kelima visinya, ia juga memperlihatkan pengetahuannya tentang permasalahan birokrasi dan regulasi utamanya terkait ekonomi yang ada di Indonesia.

Lalu yang kedua, logos adalah bagaimana suatu gagasan didasari oleh alasan atau bukti serta logika yang masuk akal.

Sebelum menyampaikan visi-visinya, Jokowi terlebih dahulu menceritakan kondisi global yang dinamis, penuh kecepatan, risiko, dan kompleksitas serta kejutan.

Ia juga mengatakan bahwa selama ini karena terus dipertahankannya cara-cara dan pola pikir lama, Indonesia sering tidak dapat menjawab tantangan global tersebut.

Tantangan dan permasalahan inilah yang menurut Jokowi menjadi alasan dalam lima tahun ke depan, memilih kelima visi yang dipaparkannya itu sebagai prioritas utama setidaknya dalam aspek ekonomi.

Yang terakhir, pathos adalah gagasan yang dijual berdasarkan daya tarik emosi.

Dalam pidatonya, Jokowi tidak menggunakan  kata “saya” atau pun “pemerintah”, namun lebih banyak menggunakan kata “kita”. Hal ini dapat dilihat sebagai usaha Jokowi untuk menumbuhkan rasa kebersamaan agar masyarakat merasa memiliki peran dan keterlibatan dalam visi pemerintah lima tahun ke depan.

Selain membahas visinya, Jokowi juga mengangkat isu-isu sosial yang selama ini banyak dirasakan oleh masyarakat. Ia menekankan buruknya rasa dendam, kebencian, dan mereka-mereka yang menggangu dan mempermasalahkan Pancasila.

Kemudian Jokowi mengajak masyarakat untuk kembali mengingat nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, yaitu persaudaraan, toleransi, keberagaman, dan kesamaan hak di mata hukum, sebagai syarat utama jika Indonesia mau meraih mimpi-mimpi besarnya.

Jokowi yang Baru?

Ketika pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2014, Jokowi dikenal sebagai sosok yang soft spoken dan menghindari konfrontasi. Namun, sepertinya karakter Jokowi ini sudah mulai berubah.

Dalam beberapa kesempatan ia mulai secara terang-terangan, di depan publik, menegur secara keras menteri ataupun kepala daerah, termasuk dengan ancaman akan dicopot.

Terakit Pilpres, ia juga pernah memperlihatkan kemarahannya karena merasa dirinya selalu difitnah dan dihujat selama 4,5 tahun menjadi presiden.

Jika ditarik lebih jauh lagi, perbedaan akan semakin terlihat di mana pada tahun 2014 lalu, ia sama sekali tidak menggunakan diksi-diksi keras seperti “hajar”, “pangkas”, dan “bubarkan” baik dalam pidato pertamanya sebagai presiden terpilih, maupun ketika ia dilantik sebagai presiden di hadapan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR).

Pada saat itu, secara substansi maupun gaya bicara, pidatonya cenderung monoton dan hanya berisikan hal-hal normatif seperti cita-cita dan sejarah bangsa Indonesia.

Isi pidatonya kali ini memang lebih berapi-api, keras, dan menyebutkan berbagai permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia lima tahun ke depan seolah menjadi bukti bahwa sudah banyak pembelajaran yang didapat selama lima tahun ke belakang.

Pidato kali ini juga terlihat masih selaras dengan klaim Jokowi sebelumnya bahwa dalam periode kedua, dirinya sudah tidak memiliki beban lagi dan akan melakukan apa pun yang terbaik bagi negara di hadapan para menteri dan kepala daerah.

Publik tentunya tidak dapat terpuaskan hanya dengan pidato pertama sebagai presiden terpilih. Masih ada isu-isu penting yang belum dijelaskan visi-misinya.

Dalam pidato-pidato berikutnya, Jokowi harus berani berbicara mengenai penegakkan hukum dan HAM karena dua aspek inilah yang menjadi bagian dari kelemahan utama masa pemerintahannya yang pertama.

Nantinya, ujian terdekat Jokowi untuk membuktikan bahwa dirinya tidak ada beban lagi, sudah belajar, dan berani lebih keras lagi dalam mengambil kebijakan, dapat kita nilai bersama ketika ia mengumumkan susunan kabinetnya yang baru.

Beranikah Jokowi? Atau pidatonya hanya akan menjadi retorika kosong semata? Menarik untuk ditunggu. (F51)

Exit mobile version