Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan rapor merah terhadap kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim. FSGI menilai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbud belum mampu menghadirkan terobosan berarti bagi dunia pendidikan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sepuluh tahun lalu mungkin belum banyak masyarakat yang mengenal apalagi pernah menggunakan aplikasi Gojek untuk berpergian. Maklum, ketika awal-awal didirikan, perusahaan berbasis teknologi yang menawarkan jasa transportasi ojek itu hanya memiliki 20 pengemudi.
Namun seiring berjalannya waktu, Gojek kini telah menjelma menjadi perusahaan yang merajai industri start-up di tanah air. Hanya dalam waktu 10 tahun, valuasi perusahaan tersebut telah mencapai Rp 142 triliun, 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai nasional terkemuka, Garuda Indonesia.
Pesatnya kemajuan Gojek tampaknya membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepincut untuk merekrut salah satu pendirinya yakni Nadiem Makarim ke dalam kabinet yang dikomandoinya bersama Ma’ruf Amin. Bagaikan gayung bersambut, Nadiem-pun menerima pinangan tersebut.
Sejak awal diisukan akan bergabung ke dalam kabinet, nama Nadiem memang selalu menjadi sorotan publik. Maklum, selain dikenal sebagai pengusaha sukses, Ia juga merupakan menteri termuda di Kabinet dengan usia yang baru menginjak 35 tahun.
Saat memperkenalkan pria lulusan Harvard tersebut sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Presiden Jokowi optimis Nadiem akan mampu menciptakan terobosan-terobosan di pos tempat Ia ditugaskan. Kehadiran darah muda yang namanya masuk dalam daftarTime 100 Next tahun 2019 itu sudah barang tentu membawa angin segar bagi jalannya pemerintahan.
Namun setahun berjalan, angin segar inovasi dan terobosan itu nyatanya tak kunjung terwujud. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ‘Mas Menteri’ tersebut justru lebih sering mengundang sentimen minor publik.
Tak memuaskannya kinerja Nadiem juga tergambar melalui penilaian yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Jika diibaratkan sebagai siswa, Ia hanya mendapatkan nilai 68 dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di angka 75. Artinya, bagi FSGI, kebijakan-kebijakan Nadiem tak memenuhi standar yang mereka harapkan.
Penilaian yang dilakukan FSGI tersebut mengacu pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbud selama satu tahun terakhir. Dari total delapan kebijakan yang ada, hanya tiga yang dinilai FSGI memuaskan, yakni penghapusan Ujian Nasional (UN), program Asesmen Nasional sebagai pengganti UN, dan kurikulum darurat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Selebihnya, kebijakan-kebijakan Kemendikbud dinilai tak memuaskan.
Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan tangan dingin Nadiem belum mampu menciptakan terobosan berarti di Kemendikbud? Apa kira-kira persoalan dan tantangan yang harus Ia hadapi demi mereformasi sistem pendidikan?
Persoalan Fundamental
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud agaknya sedikit banyak mengingatkan publik terhadap penunjukan Anies Baswedan untuk posisi yang sama di periode pertama pemerintahan Jokowi. Sebagai mantan rektor Universitas Paramadina dan penggagas program Indonesia Mengajar, Anies saat itu sangat diharapkan mampu mengeksekusi agenda reformasi pendidikan yang diinginkan Jokowi.
Namun hanya berselang dua tahun, Presiden Jokowi memutuskan untuk mencopot Anies dari jabatannya. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung saat itu menyebut pencopotan ini dilakukan lantaran adanya ekspektasi yang berbeda dari Presiden dan Wakil Presiden terhadap dunia pendidikan ke depannya.
Sama seperti Anies, Presiden juga menaruh ekspektasi yang cukup besar terhadap Nadiem di pos Kemendikbud. Meski tak memiliki latar belakang di dunia pendidikan layaknya Anies, namun Presiden berharap Nadiem mampu menciptakan link and match antara lulusan institusi-insitusi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Dengan latar belakang pengusaha di bidang teknologi dan inovasi, Presiden tampaknya haqqul yaqin Nadiem mampu mewujudkan hal tersebut.
Keputusan Presiden untuk memilih Nadiem sebagai Mendikbud kemudian mendapatdukungan dari kalangan dunia pendidikan sendiri. Mereka menilai penunjukan Nadiem sejalan dengan tantangan era digital serta Revolusi Industri 4.0.
Kendati demikian, sektor pedagogi dalam negeri nyatanya memang memiliki segudang persoalan kompleks yang tak mudah diatasi.
Penelitian yang dilakukan Andrew Rosser dari Lowy Institute menjabarkan dengan gamblang sejumlah persoalan fundamental dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam laporannya yang berjudul Beyond Access: Making Indonesia’s Education System Work, Andrew bahkan menyamakan sistem pendidikan di Indonesia layaknya sebuah ‘perusahaan’ beraset tinggi, namun memiliki kualitas rendah.
Sejumlah persoalan seperti pendanaan yang tidak memadai, defisit sumber daya manusia, struktur insentif yang merugikan, dan manajemen yang buruk menjadi problematika yang menghantui dunia pendidikan kita. Namun di antara persoalan-persoalan tersebut, Andrew menilai aspek politik dan kekuasaan adalah permasalahan utama yang membuat sistem pendidikan nasional sulit berkembang.
Sebelum era Orde Baru, Andrew menyebut bahwa masyarakat lokal seperti orang tua memegang peran sentral dalam pengelolaan sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Namun sejak rezim Soeharto berkuasa, peran sentral tersebut kini dikuasai oleh para birokrat-birokrat negara yang sebenarnya tak terlalu memedulikan kualitas pendidikan dalam negeri.
Sejak saat itu, sistem pendidikan di Indonesia berubah layaknya bagian dari franchise raksasa. Kentalnya unsur politik tersebut lantas membuat pejabat-pejabat senior di institusi-institusi pendidikan hanya fokus untuk mengamankan posisi administrasi daripada meningkatkan kualifikasi maupun kualitas pengajaran mereka. Tak jarang mereka justru menjadikan pendidikan sebagai lahan basah untuk meraup keuntungan.
Berangkat dari sini, dapat dikatakan bahwa peliknya problematika dalam sistem pendidikan tak hanya menyangkut persoalan teknis, melainkan juga aspek politik. Latar belakang Nadiem yang berasal dari kalangan teknokrat bisa saja menjadi salah satu faktor yang menghambat kinerjanya di Kemendikbud karena tak mampu menggalang dukungan politik.
Lemahnya kemampuan birokratis Nadiem tersebut bisa dibaca dari kemampuan komunikasi publiknya. Sejumlah pihak menilai gaya komunikasi Nadiem terlalu elitis. Ini membuatya semakin berjarak dengan praktisi-praktisi pendidikan di tingkat bawah.
Lantas pertanyaan selanjutnya, apa yang bisa dilakukan Nadiem untuk dapat mewujudkan reformasi pendidikan sebagaimana yang diharapkan negara?
Butuh Evaluasi Besar-besaran?
Pengamat dan praktisi pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS), Indra Charismiadji mengatakan bahwa perubahan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia hanya bisa didapat dengan melakukan perombakan mendasar pada substansi program.
Sebaliknya, dunia pendidikan, menurutnya tak akan banyak mengalami berubah jika kebijakan yang diterapkan berkutat pada konsep yang begitu-begitu saja setiap periode.
Ia melihat bahwa kebijakan Nadiem selama satu tahun kepemimpinannya di Kemendikbud belum mampu menghasilkan terobosan yang diharapkan. Sebaliknya, sejumlah program yang Ia terbitkan hanyalah program-program lama yang diganti namanya.
Indra mencontohkan Program Organisasi Penggerak (POP) yang tak jauh berbeda dengan sekolah inti, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), dan sekolah rujukan. Kemudian program guru inti, guru pembelajaran dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) tak jauh beda dengan Guru Penggerak. Penggantian nama ujian akhir juga sudah beberapa kali dilakukan, mulai dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) sampai menjadi UN.
Selain itu, pergantian kurikulum yang dinilai positif oleh FSGI, menurut Indra juga bukan hal yang luar biasa. Hal ini mengingat hampir setiap pergantian Mendikbud seringkali diikuti perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sampai Kurikulum 2013.
Untuk itu, Ia menyarankan Kemendikbud untuk menyusun cetak biru (blue print) sebagai panduan untuk memetakan masalah pendidikan di Indonesia. Artinya pemerintah harus menentukan titik awal hingga tujuan akhir, serta biaya dan waktu yang diperlukan untuk mencapainya.
Meski secara umum dinilai belum mampu menghadirkan terobosan, namun perlu diakui bahwa sejumlah persoalan fundamental seperti terlalu berkuasanya negara terhadap institusi pendidikan agaknya mulai disadari Nadiem. Melalui program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, Kemendikbud berkomitmen untuk memberikan keleluasaan lebih besar bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakat mereka. Hanya saja, program tersebut kini terganggu oleh pandemi Covid-19 yang terpaksa membuat semua kegiatan belajar mengajar dilakukan dari jarak jauh.
Bagaimanapun, mereformasi pendidikan faktanya bukanlah perkara instan yang dapat dilakukan dalam satu malam. Nadiem memang memerlukan waktu lebih panjang untuk mengaktualisasikan program-program yang dirancangnya. Mari berharap program-program tersebut nantinya bisa mewujudkan reformasi pendidikan yang sudah lama dinanti-nantikan masyarakat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.