Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan isu kitab injil yang diterjemahkan ke bahasa Minang. Namun, bisa saja, terdapat motif politik di balik polemik tersebut.
PinterPolitik.com
Menyikapi konflik di Amerika Serikat (AS) tantang tragedi yang menimpa George Floyd dan pengiriman surat dari Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengingatkan kita pada untaian kalimat KH. Abdul Wahid Hasyim yang ada pada salah satu tulisannya berjudul Perbaikan Perjalanan Haji yang berbunyi, “Sebenarnya di setiap negeri jajahan, pihak penjajah sering bahkan cenderung menggunakan strategi politik melemahkan golongan terbanyak (mayoritas) dan menghidupkan (bukan menguatkan) golongan kecil (minoritas). Maksudnya supaya kedua belah pihak berselisih terus-menerus. Golongan terbesar didesak dan golongan kecil disokong sekedar dapat menghadapi golongan terbesar. Akhirnya kedua golongan itu perlu pada pemerintah penjajah.”
Penggalan kalimat dari tokoh awal kemerdekaan tersebut memberi pemahaman kepada generasi setelahnya bahwa untuk memahami kondisi sosial tidak bisa melepaskan diri dari setting kolonial. Dalam disiplin ilmu sosial hal ini disebut pos-kolonialisme, yakni pendekatan yang bertujuan untuk membongkar motif-motif, terutama sosial-politik bekas campur tangan penjajah.
Pendekatan pos-kolonial ini sangat bermanfaat terutama untuk menganalisis kondisi negara bekas jajahan, seperti yang ditunjukkan Simon Philpott dalam buku yang berjudul Meruntuhkan Indonesia.
Sudah lama injil berbahasa minang itu ada kenapa baru diributin sekarang?
Ini versi pdf thn 1996, versi cetak yang jauh lebih tua sekitar thn 80an juga sudah banyak. Kok ya pas lagi pandemi corona gini hal ini sengaja diributin? Ajaib pejabat² kita hari ini 😳 pic.twitter.com/zUCSL9rfra
— Margie Sandjaya (@margiesandjaya) June 4, 2020
Philpott secara tegas – dengan mengutip Michel Foucault – mengatakan, bahwa di negara bekas jajahan banyak sekali praktik-praktik sosial yang dianggap warisan budaya leluhur tetapi justru sebenarnya merupakan campur tangan penjajah untuk membelah dan mewarisi kekuasaannya yang mampu beroperasi masif bahkan setelah era penjajahan fisik berakhir.
Bagaimana cara mengetahui tentang apakah suatu praktik sosial tersebut memiliki kaitan dengan campur tangan kolonial? Philpott memberi sebuah pijakan tentang genealogi yang sebenarnya juga mencontoh Foucault. Hanya dengan pelacakan yang mendalam ke belakang tentang suatu praktik sosial tertentu, maka ilmuwan sosial bisa menemukan apa yang berada di belakang praktik tersebut atau beyond reality.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Philpott, Gerry van Klinken juga menempuh jalur yang sama. Misal, pada tulisannya dalam buku Perang Kota Kecil, Klinken mencoba menyelami akar konflik di sana antara kelompok beda agama sampai ke belakang di abad-abad penjajahan. Meski Klinken tidak menyebut secara nyata ‘genealogis’ dalam tulisannya, namun sebagai peneliti yang kerap menempuh pendekatan ‘etnografis’, genealogis secara praksis akan muncul ke permukaan.
Apa yang menarik dari Klinken adalah pemilihan teorinya yang sering kali efektif dan jitu. Dalam penelitian di Ambon, misalnya, Klinken secara nyata mengaplikasikan apa yang disebut teori sosial dengan contentious politics atau ‘politik seteru’.
Apabila Philpott hanya berkutat pada persoalan the knowing subject (subjek berpengetahuan) yang berperan sebagai motor pencipta pikiran dan praktik kolonial, Klinken bergerak lebih maju dengan menjelaskan secara sistematis aktor-aktor, warisan masa lalu, proses dan motif ketegangan konflik.
Menilik penjelasan di atas, hal yang sama tampaknya sedang kita hadapi meski eskalasi konfliknya tidak semengerikan seperti di Ambon sebelumnya. Namun, apabila dibiarkan lebih lanjut, tidak menutup kemungkinan akan membawa kepada pikiran-pikiran menakutkan yang lain, seperti rasisme yang terinstitusionalisasi. Seperti kejadian di Amerika Serikat, percikan isu rasisme dan xenofobia yang tidak segera ditangani dan justru terkesan ada pembiaran dari pemerintah, akhirnya berujung konflik yang meluas.
Ketakutan seperti yang menimpa George Floyd tersebut diunggah oleh suarapapua.com ditambah dengan ulasan perbandingan saat kejadian yang menimpa saudara Papua di Yogyakarta, Obby Kogoya. Ulasan yang ditulis oleh Made Supriatma berjudul Rasisme Tidak Hanya Ada di Amerika, Di Sini pun Ada tersebut secara tersirat mengandung pesan, bahwa negara masih menganggap rasisme sebagai hal yang tidak masuk dalam program rekonsiliasi nasional.
Dari kedua kejadian tersebut, rasisme yang berdasar warna kulit (genetic) sangat mudah diidentifikasi. Lantas, apakah rasisme tidak bersarang di dimensi lain, seperti agama?
Rasisme tidak bisa dipisahkan dari orientasi politik (political orientation) yang dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk kultur. Share on XTentu kemungkinannya cukup besar, bahwa politik identitas menyelinap dalam interaksi antar agama. Mudahnya, perilaku apa pun yang menampilkan akumulasi kekuasaan oleh satu pihak atas penundukan pihak lain – mirip sebagaimana pandangan Edward Said dalam buku Orientalisme yang menghadapkan Barat vs Timur – sangat rawan adanya perilaku rasis.
Mobilisasi Sikap Rasis
Gubernur Sumbar secara mengejutkan mengirimkan surat kepada Menkominfo agar bersedia menghapus aplikasi Alkitab berbahasa Minang. Saat dikonfirmasi, melalui Plt Kepala Biro Humas, Zardi Syahrir, pemerintah provinsi Sumbar mengatakan, “Kan, di Sumatera Barat, kita tahu juga di sini ada budaya. Jadi memang kultur Islam lebih dekat dengan Sumbar.”
Benarkah budaya yang dianggap determinan atas agama itu tidak menerima dialog plural? Apakah ini murni alasan kebudayaan atau jangan-jangan ada agenda politik ke depan? Mengingat Sumbar merupakan wilayah dengan segmentasi pemilih mayoritas Islam yang sangat ketat.
Hal ini bisa disimak melalui pernyataan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang mengkategorikan Sumbar sebagai wilayah dengan indeks kerawanan tinggi. Ada empat dimensi yang digunakan Bawaslu untuk menentukan indeks tersebut.
Salah satunya adalah dimensi sosial politik (sospol). Dan, di antara unsur dimensi sospol, tampaknya mobilisasi dengan kekerasan merupakan hal yang mudah dicium untuk konteks sekarang menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak ke depan.
Pernyataan Humas Pemprov Sumbar barang kali juga bisa disebut memungkinkan munculnya ‘narasi yang bergerak’ atau shifting narratives – seperti yang diulas oleh Eickelman dan Anderson dalam New Media in The Muslim World – agar Islam selalu dilihat inheren dalam budaya Sumbar. Kalau begitu, bila dilacak secara genealogis, apakah benar hal demikian?
Nyatanya, dalam beberapa pustaka, seperti karya Jeffrey Hadler yang berjudul Sengketa Tiada Putus, pelibatan peran birokrasi ke dalam kultur adat dan agama tidak terlepas dari sejarah kolonial dan purifikasi di Minang.
Pemerintah kolonial sudah menerka bahwa konflik antara agama dan adat bisa dijadikan ekses masuk yang sangat menguntungkan sehingga akan dilanggengkan agar pemerintah kolonial mudah menciptakan politik ‘pecah-belah’, atau dalam bahasan Wahid Hasyim di awal yakni ‘politik mayoritas-minoritas’ berbasis agama. Proses itu pula yang menyebabkan Minangkabau sering melakukan invention of tradition (penciptaan tradisi) berdasar setting sosial yang telah terbentuk pada masa penjajahan ketika dialami.
Apa Motifnya?
Sebenarnya, pertanyaan menarik dalam melihat fenomena ini adalah-untuk apa Gubernur Sumbar melakukan itu semua? Bisa jadi, ini terkait dengan motif politis tertentu.
Argumentasinya jelas, seperti pernyataan Oxendine dalam The Relationship between Political Orientation and Race on Modern Racism yang menjelaskan bahwa kemunculan praktik rasisme tidak bisa dipisahkan dari orientasi politik (political orientation) yang dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk kultur. Namun, ada perbedaan bentuk rasisme seiring dengan perkembangan dunia.
Rasisme klasik (blatant overt radical prejudice) sangat mudah terlihat atau. Sementara, rasisme modern bersifat tersembunyi. Bahkan, pelaku rasis menganggap bahwa pernyataannya yang menurut orang lain rasis tersebut dianggapnya sekadar penggambaran fakta, seperti dalam kasus Gubernur Sumbar ini.
Mungkin, ini perlu dilihat dengan saksama bahwa apakah pernyataan ini merupakan awal dari adanya mobilisasi yang digerakkan oleh bahasa rasis yang sangat tersembunyi seperti yang dibicarakan oleh Klinken kala menyoroti konflik Ambon yang melihat aktor sangat berperan besar dalam proses mobilisasi ini.
Barang kali, jelas berbeda antara Sumbar dan Ambon masa dulu, yakni konflik tidak melibatkan kekerasan fisik. Namun,apa yang perlu menjadi blue-print adalah kalimat yang terucap di mana terdapat unsur pembelahan antar kelompok sangat berpotensi menjurus kepada mobilisasi politik tertentu.
Terlebih, menurut Klinken, mobilisasi di Ambon memiliki motif untuk menguasai kedudukan birokratis. Dan, secara bertepatan, pada tahun 2020 ini, Sumbar akan menghadapi momentum Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Melacak peta politik di Sumbar, fakta sosial memperlihatkan bahwa bahwa Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno merupakan sosok gubernur yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagai sebuah partai yang dalam sejarahnya berhasil menduduki kursi Sumbar satu selama dua periode berturut-turut tentu tidak ingin kehilangan posisi tersebut sehingga melalui Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Wilayah PKS Tifatul Sembiring mengungkapkan bahwa partainya siap bertarung kembali.
Hal ini diungkapkan kala pembekalan anggota DPRD terpilih PKS di wilayah Sumbar. Terlebih, PKS telah menyiapkan dua nama – yaitu Wali Kota Padang, Mahyedi dan Wali Kota Payakumbuh, Riza Falepi.
Jika melihat kondisi di atas, meski tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menduduki posisi Gubernur Sumatera Barat, bukankah sebagai kader PKS, Irwan Prayitno mempunyai keinginan untuk menjaga suara konstituen loyal yang selama ini mendukung mereka? Mungkin, penjelasan van Klinken layak dipikirkan kembali. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.