Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Polemik 500 TKA Tiongkok

Presiden Jokowi dan Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan

Presiden Jokowi dan Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: RMOL)

Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan kembali menuai sorotan karena disebut mendukung pendatangan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok ke Sulawesi Tenggara. Menyibak lebih dalam polemik tersebut, tampaknya terdapat persoalan filsafat bahasa yang menjadi akar dari kebijakan yang disebut untuk kepentingan ekonomi tersebut.


PinterPolitik.com

Entah disengaja atau tidak, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan kerap menempatkan dirinya sebagai episentrum pemberitaan. Bak selebriti, setiap tindak laku Luhut memang kerap mencuri perhatian. Cukup beralasan memang, selaku sosok yang dilabeli sebagai menteri segala urusan, ataupun the real president RI, berbagai kebijakan kontroversial pemerintah kerap diasosiasikan kepada politisi senior Partai Golkar tersebut.

Terbaru, nama Luhut kembali memancing keributan karena disebut-sebut mendukung pendatanganan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok ke wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), khususnya di PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel. Hal tersebut misalnya disebutkan oleh Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa yang mengaku pernah dijanjikan sesuatu oleh Luhut agar 500 TKA Tiongkok tersebut diizinkan untuk masuk ke wilayahnya.

Sontak saja, pengakuan tersebut membuat publik geram dan menilai Luhut adalah biang keladi atas kisruh tersebut. Terlebih lagi, dengan adanya pandemi virus Corona (Covid-19), publik tentu menilai aneh, mengapa pemerintah mendatangkan ratusan TKA di tengah upaya pemerintah dalam memerangi pandemi tersebut.

Juru bicara (Jubir) Menkomarves Jodi Mahardi dalam tanggapannya menyebutkan bahwa tidak terdapat kepentingan pribadi Luhut dalam pendatangan tersebut. Lanjutnya, kebijakan dilakukan karena perusahaan tengah mengalami darurat tenaga kerja. Masalahnya, tenaga kerja lokal dinilai belum memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan sehingga harus mendatangkan TKA.

Lalu, ada pula pernyataan dari pelaksana tugas (Plt) Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Aris Wahyudi yang menyebutkan bahwa pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tidak dapat melarang kedatangan 500 TKA tersebut karena memiliki payung hukum.

Di sini, Aris merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 11 tahun 2020 pasal 3 ayat (1) huruf f yang menyebutkan orang asing yang akan bekerja pada proyek strategis nasional tidak dilarang masuk Indonesia selama pandemi Covid-19.  Dan memang benar, 500 TKA tersebut direncanakan akan terlibat dalam pembangunan smalter Konawe, yang mana pembangunan smelter merupakan salah satu dari 26 proyek strategis nasional.

Akan ketapi, kendatipun terdapat pembenaran di balik pendatangan 500 TKA Tiongkok tersebut, kegeraman publik nyatanya tetap menyeruak kepada pemerintah, khususnya kepada Luhut. Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari hal tersebut?

Pemerintah Tidak Sensitif?

Melihat begitu banyaknya luapan penolakan dan kegeraman publik terkait kebijakan tersebut, sebenarnya tidak mengherankan jika kita mengacu pada banyaknya sentimen yang menyelimuti.

Selain karena adanya kekecewaan masyarakat yang diharuskan disiplin menjaga physical distancing di tengah pandemi Covid-19, namun pemerintah justru mendatangkan TKA Tiongkok, pemerintah juga tentu menyadari bagaimana sentimen anti-Tiongkok telah lama menggema di tengah masyarakat.

Kemudian, pemerintah juga seolah menutup mata atas terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama pandemi dengan adanya pendatangan TKA tersebut.

Anggota Komisi X DPR RI Saleh Partaonan Daulay bahkan sampai menyebutkan bahwa kedatangan TKA Tiongkok di tengah pandemi Covid-19 merupakan indikasi yang menunjukkan pemerintah Indonesia sangat inferior jika berhadapan dengan investor asal Tiongkok.

Tidak hanya mendapat penolakan dari masyarakat biasa, pendatangan TKA tersebut nyatanya juga ditolak oleh kepala daerah dan pihak berwenang terkait di Sultra. Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Shaleh bahkan menegaskan bahwa dirinya akan memimpin aksi penolakan jika 500 TKA tetap dipaksakan datang ke Sultra.

Terkait kisruh tersebut, relevan bagi kita untuk melihat tulisan Richard D. French yang berjudul Policymaking Requires Sensitivity to Emotion, Publicity and Performancea as Much as it Does to Knowledge and Principles. Menurut French, dalam pembuatan kebijakan publik, politisi harus memiliki kepekaan atas emosi masyarakat karena kebijakan terkait tidak akan dinilai layak apabila masyarakat menolaknya.

Bertolak dari temuan berbagai psikolog, French menyebutkan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki asumsi bahwa politisi yang bertengger di institusi publik merupakan wakil rakyat yang sudah seharusnya mengaktualisasikan keinginan atau harapan masyarakat ke dalam kebijakan publik.

Mengacu pada French, mudah bagi kita untuk memahami bahwa kebijakan pendatangan 500 TKA Tiongkok tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat luas karena dinilai tidak sesuai dengan harapan atau sentimen yang ada di masyarakat. Persis seperti yang disebutkan oleh Bupati dan DPRD Konawe, penolakan tersebut terjadi karena saat ini pihaknya tengah memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19.

Tentu dapat dibayangkan, apabila kebijakan tersebut disetujui, kemungkinan besar masyarakat akan kecewa sehingga tidak mematuhi protokol physical distancing yang diterapkan oleh pemerintah. Konteksnya mirip dengan kasus masyarakat yang masih melaksanakan shalat berjamaah di masjid karena kecewa pada pemerintah yang justru masih membuka mall atau pusat perbelanjaan.

Hal tersebut misalnya diungkapkan oleh Ustadz Abdul Somad dalam acara Indonesia lawyers Club (ILC) dengan menyebutkan terdapat kemarahan masyarakat karena mall ataupun bandara justru dibuka di tengah pelarangan shalat berjamaah di masjid.

Bahasa yang Tidak Sama?

Di luar persoalan kurangnya kepekaan pemerintah terhadap sentimen yang ada di tengah masyarakat, terdapat persoalan yang lebih dalam yang terjadi dalam kisruh pendatangan 500 TKA Tiongkok tersebut.

Jika kita mengacu pada kasus di Amerika Serikat (AS), yang mana keinginan Presiden Donald Trump untuk melonggarkan lockdown (karantina wilayah) agar aktivitas ekonomi kembali berjalan mendapat sambutan hangat dari masyarakat AS yang juga menginginkan hal serupa. Kita dapat melihat bahwa terdapat bahasa yang sama antara Trump dengan masyarakat AS, yang mana persoalan ekonomi menjadi suatu prioritas.

Namun, beda halnya dengan di Indonesia, kendati pemerintah juga menunjukkan gelagat memprioritaskan persoalan ekonomi, suara publik sepertinya masih menginginkan akar masalah, yakni pandemi Covid-19 diselesaikan terlebih dahulu.

Rasa-rasanya, semua kita tentu memahami rasionalisasi dari pemerintah, yang mana persoalan ekonomi tentu saja sangat vital bagi suatu negara. Apalagi, dengan adanya pandemi Covid-19 yang membutuhkan banyak bantuan sosial, keuangan negara yang sehat tentu saja sangat diperlukan.

Akan tetapi, pertanyaannya, kendati terdapat pemahaman umum bahwa ekonomi itu penting, mengapa kesamaan suara atau bahasa seperti yang terjadi di AS justru tidak terjadi di Indonesia. Pada kasus pendatangan 500 TKA Tiongkok misalnya, mungkin mudah dipahami bahwa alasan kualifikasi tenaga kerja menjadi vital, namun mengapa tetap terjadi penolakan?

Pada titik ini, kita perlu menggunakan pisau bedah filsafat bahasa, khususnya terkait intelligibility atau kejelasan dalam suatu bahasa. Mengacu pada salah satu filsuf bahasa dan logika terbesar Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, dijelaskan bahwa suatu percapakan dapat terjadi apabila pihak-pihak terkait memiliki kesamaan pemahaman dalam konteks persoalan yang tengah dibahas. Pasalnya, apabila kejelasan bahasa tidak terjadi, maka akan tercipta ambiguitas, yang menurut filsuf Britania Julian Baggini akan mengakibatkan kesalahpahaman dan terjadinya kesalahan penalaran atas objek bahasan terkait.

Artinya, pada kasus kisruhnya pendatangan TKA Tiongkok, di sana terjadi ketidaksamaan pemahaman antara pemerintah dengan masyarakat terkait mengapa kebijakan yang hanya seolah mementingkan persoalan ekonomi tersebut justru diambil di tengah pandemi Covid-19.

Dengan kata lain, di sisi pemerintah, terdapat pemahaman bahwa tidak masalah mendatangkan TKA di tengah pandemi, namun di sisi masyarakat, menjadi tidak masuk akal untuk mendatangkan TKA di tengah pandemi. Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga semakin menegaskan bahwa pemerintah lebih mementingkan persoalan ekonomi daripada bencana kesehatan.

Dalam hal ini, kita sepertinya harus setuju pada pernyataan Rocky Gerung yang menyebutkan memang menjadi tugas pemerintah untuk membahasakan suatu kebijakan agar dinilai adil oleh masyarakat.

Dalam berbagai kebijakan pemerintah, seperti revisi UU KPK, Omnibus Law, hingga pada pendatangan 500 TKA Tiongkok, terlihat jelas terdapat langkah yang dilewati oleh pemerintah, yakni kurangnya pelibatan masyarakat dalam konstruksi ataupun penetapan kebijakan tersebut.

Artinya, sedari awal, boleh jadi pemerintah memang tidak memiliki upaya untuk membuat masyarakat memiliki bahasa yang sama dengan pemerintah agar kebijakan yang diambilnya mendapatkan dukungan. Seperti kata Rocky, itu telah membuat masyarakat merasakan ketidakadilan dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa kisruhnya pendatangan 500 TKA Tiongkok terjadi karena pemerintah memang tidak peka terhadap sentimen masyarakat. Pun begitu dengan pemerintah tidak berusaha untuk membahasakan rasionalisasinya agar diterima oleh masyarakat sehingga kebijakan tersebut mendapatkan dukungan. Tentu kita berharap agar ke depannya pemerintah dapat memperbaiki kemampuannya dalam membahasakan suatu kebijakan publik. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version