Warganet beberapa waktu lalu sempat diramaikan oleh peretasan akun Twitter @Ferdinand_Haean milik Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahean. Selain Twitter, akun-akun Ferdinand lainnya seperti di Facebook dan Instagram juga diklaimnya telah dibajak.
PinterPolitik.com
“They’ll learn why, mere privacy, so essential,” – André 3000, penyanyi rap AS
[dropcap]A[/dropcap]kun Ferdinand yang dibajak tersebut menuliskan beberapa cuitan yang menyerang rekan-rekan Partai Gerindra, seperti Wakil Ketua Umum Arief Poyuono. Salah satu cuitan tersebut pun terlihat menuduh Arief sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki agenda untuk mengacaukan Indonesia.
Selain itu, akun tersebut juga mengaitkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sugiono dengan dugaan skandal tertentu melalui foto-foto syur. Salah satu unggahan juga menunjukkan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sugiono bersama seorang perempuan.
Dengan hilangnya akses terhadap akunnya, Ferdinand pun mengkonfirmasi bahwa akunnya telah dibajak melalui video yang diunggah rekannya, Koordinator Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak. Ferdinand pun menyebutkan bahwa hal serupa pernah terjadi pada akun penasehat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Haikal Hassan Baras.
Akun Haikal memang pernah dibajak pada bulan lalu. Dalam akun yang dibajak tersebut, terdapat cuitan yang mengatakan bahwa Prabowo tidak melakukan ibadah salat Jumat dan meminum bir di Yogyakarta. Haikal juga mengkonfirmasi bahwa akunnya dibajak melalui video yang diunggah oleh Dahnil melalui akun Twitternya.
Tidak hanya Haikal dan Ferdinand, akun WhatsApp (WA) milik Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat, Imelda Sari juga diduga telah diretas. Akun WA tersebut dikabarkan telah menyebarkan pesan dan gambar tidak senonoh ke grup percakapan tim BPN Prabowo-Sandiaga.
Imelda melalui cuitannya pun menjelaskan bahwa akun WA-nya telah dibajak dan akan melaporkan hal ini pada pihak berwajib. Selain itu, akun Twitternya juga tampak mencuit ulang informasi akan adanya akun-akun WA kader Partai Demokrat lainnya yang turut dibajak.
Maraknya peretasan ini memunculkan pertanyaan mengenai siapa pihak yang melakukan hal-hal tersebut.
Terkait persoalan pembajakan akun yang terjadi pada Ferdinand, para pendukung Joko Widodo (Jokowi) pun disebut-sebut oleh politisi Partai Demokrat tersebut sebagai dalang di balik peretasan akunnya. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding, pun menampik tuduhan bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf terlibat dalam peretasan tersebut.
Terkait tuduhan Ferdinand, apakah benar kubu Jokowi-Ma’ruf mungkin mendorong tindakan peretasan tersebut? Mengapa peretasan dan pembajakan akun tersebut dapat terjadi dan apa dampaknya terhadap Pilpres 2019?
Semalam akun Twitter saya dihack. Sekarang Instagram dan Facebook saya yang dihack..!!
Cebong udah mau kalah kayak gini amat..!!JANGAN sampai saya bawa ke POLISI..!!
SEGERA BALIKIN Instagram dan Facebook saya atau kalian RASAKAN..!!— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) March 28, 2019
Peretasan Politis?
Peretasan akun-akun media sosial milik politisi juga pernah terjadi di Australia. Joe Hockey yang saat itu menjabat sebagai duta besar Australia untuk Amerika Serikat (AS) pernah mengatakan bahwa akun Twitternya telah dibajak pada tahun 2017. Akun tersebut sempat mengkritik mantan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull dan Presiden AS, Donald Trump.
Selain Hockey, Greg Hunt yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Australia juga mengatakan akun Twitternya telah dibajak setelah akun tersebut menyukai cuitan yang berbau pornografis. Hal serupa pun juga terjadi pada akun Twitter milik Christopher Pyne yang saat itu menjabat sebagai Menteri Industri Pertahanan Australia.
Peretasan-peretasan yang menyerang aktor-aktor politik semacam ini pun bisa jadi memiliki motivasi politis. Peretasan bermotif politis ini dikenal dengan istilah “hacktivisme”.
Tim Jordan dan Paul Taylor dalam bukunya yang berjudul Hacktivism and Cyberwars menjelaskan bahwa hacktivisme merupakan tindakan politik dalam dunia siber untuk memengaruhi keadaan di masyarakat dengan menggunakan kemampuan virtual.
Jordan dan Taylor pun melanjutkan bahwa hacktivisme merupakan aktivisme yang dilakukan secara elektronik karena tindakan ini sebenarnya merupakan aktivitas gerakan akar rumput yang dikombinasikan dengan peretasan komputer.
Dalam sejarahnya, hacktivisme memang erat dengan gerakan-gerakan anti-globalis – mendorong demokrasi langsung di dunia maya, keterbukaan informasi, dan tidak percaya pada aturan hak kekayaan intelektual. Pemerintah di berbagai negara pun sering kali menjadi sasaran perlawanan dari hacktivisme ini.
John Perry Barlow, pendiri salah satu kelompok hacktivis Electronic Frontiers Foundation (EFF), menjelaskan bahwa motivasi peretasan – apapun taktik peretasannya – sebenarnya adalah untuk memengaruhi masyarakat meskipun gerakan-gerakan ini secara individu dan kelompok tidak saling terkoneksi.
Salah satu contoh kelompok hacktivis yang sempat menggemparkan masyarakat di banyak negara adalah Wikileaks. Lembaga non-profit yang didirikan oleh Julian Assange tersebut meretas pemerintah AS dan membocorkan data-data rahasia ke publik. Hingga saat ini, Wikileaks mengklaim telah merilis 10 juta dokumen rahasia.
Selain Wikileaks, terdapat juga kelompok hacktivis lain yang melakukan ekspresi politiknya dengan meretas, yaitu Anonymous. Kelompok ini pernah meretas sistem pembayaran Visa, Mastercard, dan Paypal yang sempat menutup akses pembayaran rekan hacktivisnya, Wikileaks.
Berkaca pada konsep dan contoh-contoh tindakan hacktivisme di atas, tentunya suatu tindakan peretasan dapat bermuatan politis. Lantas, apakah peretasan-peretasan media sosial yang semakin marak menjelang Pilpres 2019 juga politis?
Tentu, peretasan yang terjadi di Indonesia dapat saja bermotif politis – mengingat berbagai pihak yang diserang merupakan aktor politik. Penyerangan siber yang dilakukan terhadap akun-akun media sosial politisi ini pun bisa jadi bertujuan untuk memengaruhi masyarakat dalam Pilpres 2019.
Peretasan memengaruhi Pemilu dengan cara mengecoh pemilih melalui disinformasi, pembocoran informasi, dan peretasan bersasaran. Share on XMeretas Pemilu 2019?
Peneliti dari Communication and Information System Security Research Center (Cissrec) Ibnu Dwi Cahyo menjelaskan bahwa peretasan yang terjadi pada Ferdinand memang bukanlah hanya didasari oleh motif unjuk kemampuan meretas, tetapi juga bermuatan politis. Ibnu pun juga membandingkan peretasan-peretasan tersebut dengan fenomena yang terjadi di berbagai negara di kawasan Amerika Latin.
Seorang peretas Andrés Sepúlveda merupakan sosok di balik upaya pemenangan Pilpres di berbagai negara Amerika Latin, seperti Nikaragua, Panama, Honduras, El Salvador, Kolombia, Meksiko, Kosta Rika, Guatemala, dan Venezuela. Jasanya pun banyak disewa untuk melakukan peretasan terhadap situs-situs kampanye, database lawan, ponsel pintar, dan surel guna memengaruhi diskursus publik.
Dalam artikel Bloomberg yang ditulis oleh Jordan Robertson, Michael Riley, dan Andrew Willis, Sepúlveda pun menjelaskan bahwa tugasnya adalah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor dan operasi-operasi psikologis seperti propaganda hitam dan rumor. Peretas yang kini dipenjara tersebut juga menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk mengungkap sisi gelap politik yang banyak orang tidak ketahui.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah terkait dampak dari peretasan itu sendiri. Apakah peretasan memiliki pengaruh tertentu terhadap hasil dari suatu Pemilihan Umum?
Alyza Sebenius dari Bloomberg menjelaskan dugaan peretasan yang terjadi di Pemilu Sela AS 2018 dalam artikelnya di Houston Chronicle. Sebenius menyebutkan bahwa salah satu cara peretasan memengaruhi Pemilu adalah dengan mengecoh pemilih melalui disinformasi, pembocoran informasi, dan peretasan bersasaran.
Peretasan yang berbiaya murah ini pun memanfaatkan diskursus informasi publik di media sosial. Michael Sulmeyer dari Harvard’s Belfer Center pun menjelaskan bahwa penggunaan media sosial oleh peretas dapat dianalogikan seperti menuangkan bahan bakar minyak pada api yang besar.
Berkaca dari penjelasan tersebut, peretas bisa jadi menggunakan akun-akun politisi di Indonesia untuk melakukan penyebaran disinformasi dan pembocoran informasi. Hal ini tentu menambahkan narasi lain bagi diskursus publik di dunia maya terkait Pemilu 2019.
Salah Cebong?
Hal yang patut dipertanyakan kemudian terkait peretasan terhadap akun Ferdinand dan kawan-kawan adalah bagaimana peretas dapat menembus perlindungan akun-akun media sosial politisi. Apakah terdapat pihak tertentu yang membantu melancarkan peretasan?
Metode peretasan akun di media sosial yang mungkin dilakukan oleh peretas terkait akun-akun ini adalah metode kloning melalui perangkat atau aplikasi tertentu. Hasil dari metode ini adalah duplikasi nomor ponsel, sehingga dapat digunakan dalam satu perangkat atau dua perangkat yang berbeda.
Berbagai aplikasi media sosial pun juga menggunakan nomor ponsel sebagai cara untuk verifikasi akun. Bisa jadi, peretas-peretas tersebut menggunakan kelengahan kontrol pemilik akun melalui duplikasi nomor ponsel.
Pemerintah bisa jadi meluaskan kemungkinan untuk terjadinya peretasan terhadap akun-akun media sosial ini. Jika kita menilik kembali pada kebijakan pemerintah terkait registrasi nomor ponsel pada 2018 lalu, akses pemerintah atas data pribadi setiap pengguna seluler di Indonesia menjadi sangat luas.
Dengan konteks akun-akun yang diretas umumnya milik politisi oposisi, hal ini tentu dengan sendirinya melahirkan banyak spekulasi liar. Jika memang pengelolaan data pribadi pengguna seluler berada di tangan pemerintah, apakah mungkin pemerintah bisa bertanggungjawab atas peretasan-peretasan tersebut – mengingat hal tersebut cukup ramai diperbincangkan di media sosial?
Untuk saat ini, dugaan tersebut pun belum dapat dipastikan. Hal yang jelas perlu diketahui adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjaga data tersebut perlu dilaksanakan dengan baik. Dengan konteks politik yang makin dekat hari pemungutan suara, tentu hal ini bisa berdampak besar terhadap perubahan pilihan politik masyarakat.
Pada akhirnya, seperti apa yang dikatakan André 3000 pada awal tulisan, kita semua akan belajar bagaimana informasi pribadi kita merupakan hal yang sangat penting. Dan negara sudah seharusnya punya tanggung jawab besar untuk menjamin keamanan dan privasi warga negaranya. (A43)