Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Penolakan RUU PKS

Di Balik Penolakan RUU PKS

(Foto: Antara)

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendapat penolakan dari sebagian kalangan karena dianggap pro zina dan LGBT. Faktanya memang ada miskonsepsi dan kekeliruan baik dari isi mau tujuan dari RUU itu sendiri.


PinterPolitik.com

“I raise up my voice—not so I can shout, but so that those without a voice can be heard, we cannot succeed when half of us are held back.”

:: Malala Yousafzai ::

[dropcap]P[/dropcap]erempuan-perempuan progresif di Indonesia tengah geram. Pasalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) mendapat penolakan dari sebagian masyarakat.

Kekesalan itu bukan tanpa alasan. Sebab, bagi mereka, orang-orang yang melakukan penolakan itu bisa dikatakan belum membaca draft RUU secara tuntas atau tidak memahami isu dan tujuan dari RUU tersebut.

Kabar penolakan ini santer terdengar setelah petisi online beredar di dunia maya. Maimon Herawaty adalah sosok yang menginisiasi petisi penolakan RUU PKS tersebut. Usahanya itu mendapat lebih dari seratus ribu tanda tangan sebagai sikap setuju atas penolakan tersebut.

Menurut perempuan yang pernah membuat petisi untuk grup musik Blackpink dan SNSD itu, dalam RUU tersebut ada kekosongan pengaturan kejahatan seksual, yakni tentang hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama.

Karenanya, menurut Maimon RUU tersebut berpotensi melanggengkan perzinahan. Lebih lanjut ia merujuk pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar penolakannya.

Lantas pertanyaannya adalah mengapa polemik tersebut dapat terjadi dan mengapa ada tarik ulur yang begitu alot terkait dengan kebijakan tersebut? Bukankah RUU itu sendiri berbicara tentang perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang angkanya tiap tahun tidak sedikit?

Melawan Budaya Patriarki

Berdasarkan “Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2017” yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual di ranah privat/personal menempati posisi tertinggi kedua, di bawah kekerasan fisik. Persentasenya cukup besar, yakni 31 persen atau sebanyak 2.979 kasus dari seluruh laporan yang masuk.

Yang memprihatinkan, bentuk kekerasan seksual di ranah pribadi paling banyak dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan darah (incest) dengan total 1.210 laporan.

Angka-angka tersebut baru berasal dari ranah privat. Sementara, di ranah publik atau komunitas, kekerasan seksual menempati posisi teratas dari kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kasusnya lebih dari separuh yang dilaporkan, yakni sebesar 76 persen atau total mencapai 3.528 kasus.

Secara umum, permasalahan kekerasan seksual memang jamak terjadi di berbagai belahan dunia. Bahkan di Eropa sendiri, Swedia yang sering dianggap sebagai negara paling sejahtera misalnya, turut menyumbang angka kekerasan seksual tertinggi mencapai 81 persen. Meskipun begitu, angka tersebut bisa muncul lantaran masyarakat – terutama perempuan – di negara itu aktif untuk melaporkan kasus yang menimpanya, sehingga memudahkan pencatatan.

Masyarakat dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi membuat perempuan di negara tersebut berani berbicara untuk melakukan laporan terhadap pihak berwajib. Sebab, ada aturan hukum yang jelas mengatur, misalnya terkait dengan korban kekerasan seksual.

Selain itu, ketiadaan stigma buruk terhadap perempuan yang menjadi korban, membuat mereka aktif berbicara. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia, di mana masyarakat umumnya masih takut untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang diterima.

Korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual biasanya tidak berani untuk mengadu, melaporkan, ataupun membela diri karena takut mengalami stigma dan prasangka yang buruk terhadap dirinya, dan karena itu perempuan mengalami kekerasan tersebut secara berulang kali (reproduksi kekerasan) dari berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.

Selama ini, korban kekerasan seksual tidak mendapatkan keadilan karena hanya memanfaatkan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak. Sementara, nyatanya hal tersebut belum substansial dan menyebabkan timbulnya kekosongan hukum. Kekosongan hukum ini seharusnya bisa diisi oleh RUU PKS tersebut.

Selain itu, secara mendasar, pelanggengan kekerasan ini karena adanya budaya patriarki yang berakar kuat di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup seperti ekonomi, pendidikan, politik hingga hukum sekalipun.

Budaya patriarki diartikan sebagai adanya relasi dominan – antara laki-laki dan perempuan – yang terjadi pada salah satu pihak. Marvin Harris dalam artikelnya Why Men Dominate Women di The New York Times menyebut bahwa laki-laki sering kali tampil sebagai pihak yang memiliki kuasa atas perempuan di berbagai lini kehidupan.

Dari perspektif sosiologis maupun feminisme, terlihat bahwa kekerasan terhadap perempuan – termasuk di dalamnya kekerasan seksual – berakar dari budaya patriarki yang ada dalam masyarakat.

Rohani Budi Prihatin dalam artikel Perspektif Sosiologis tentang Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Indonesia menyebut budaya patriarki telah melahirkan struktur dan sistem sosial yang sangat kental, sehingga melegitimasi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.

Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut.

Penyebabnya masih kalsik, yaitu karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga, penegakan hukum pun masih lemah dan tidak adil secara gender.

Oleh karena itu, RUU PKS adalah salah satu instrumen hukum yang lahir dari tuntutan, keterlibatan, pengalaman dan pengetahun tentang dan untuk perempuan, yang akan bermanfaat bagi kehidupan, perlindungan dan keadilan bagi perempuan.

Unsur Politik?

“Bola” kini ada di tangan DPR dan pemerintah. Nasib RUU PKS tergantung dari sikap mayoritas suara anggota parlemen. Yang jelas sejauh ini kinerja mereka tampak mengecewakan dilihat dari molornya waktu yang menjadi target RUU ini. RUU PKS sudah didaftarkan sejak awal 2016, bahkan di tahun 2018 menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.

Lebih lanjut, mandegnya RUU PKS tersebut sangat memprihatinkan jika dikaitkan dengan representasi politik perempuan di parlemen. Sejak diberlakukannya keterlibatan politikus perempuan minimal 30 persen, ternyata suara perempuan di lembaga legislatif ini belum mampu mewakili suara dan kepentingan perempuan.

Konteks 30 persen itu hanya sebatas angka-angka untuk memenuhi ambisi representasi politik, sementara “orang-orang pilihan” tersebut belum mampu mendesak pengesahan produk legislasi yang punya kaitan dengan hak-hak perempuan.

Selain itu, anggota DPR banyak yang terjebak dalam miskonsepsi terhadap pemahaman dari RUU PKS itu sendiri. Sebab, masih ada pandangan yang menyebut RUU PKS ini akan melegalkan perzinahaan dan LGBT.

Salah satunya ditunjukkan oleh sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bersikukuh untuk menolak RUU PKS. Alasannya, sama seperti Maimon, RUU tersebut dianggap pro zina.

Kondisi senada disampaikan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 31 Januari lalu. AILA saat itu menyebut RUU PKS berpotensi melanggengkan perilaku LGBT. AILA bahkan berpendapat RUU PKS tak usah dilanjutkan.

Pada titik ini, memang perlu adanya kesepamahan antara semua kalangan terhadap RUU PKS itu sendiri. Sebab, semangat dari pengusulan RUU PKS adalah untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Ada apa di balik penolakan RUU PKS? Share on X

Bagaimanapun juga, di tengah meningkatnya angka kekerasan seksual tiap tahun, tentu kebutuhan payung hukum yang bisa melindungi perempuan semakin penting. Semua pihak tentu tidak ingin kejadian yang menimpa Baiq Nuril – seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, namun malah menjadi tersangka – terulang kembali.

Persoalan-persoalan tersebut bukanlah hanya tentang kekerasaan seksual semata, namun juga menjadi masalah hak-hak yang melekat pada pribadi perempuan. Artinya, respon pemangku kebijakan sangat ditunggu untuk memberikan tanggapan yang cepat dan tepat. Sikap menunda-nunda tentu sama dengan menginginkan apa yang dialami Baiq Nuril terus terjadi.

Pada akhirnya, negara memang dituntut untuk memberikan keberpihakannya terhadap perempuan yang selama ini dianggap tidak memiliki kuasa dalam relasi sosial politik di Indonesia. Lalu, akan ke manakah “bola panas” ini akan melaju? Menarik untuk ditunggu. (A37)

Exit mobile version