Indonesia dan Uni Eropa (UE) kembali “ribut” soal perdagangan. Kali ini, UE menanggap produk baja nirkarat asal Indonesia adalah praktik yang tidak adil dalam perdagangan internasional karena dituding mendapat bantuan subsidi dari Tiongkok. Karena itu, mereka memberikan tambahan bea masuk dari produk tersebut. Pertanyaannya, sahkah UE menuding Indonesia?
Di dalam dunia yang semakin terbuka dan semakin terkoneksi ini, aktivitas perdagangan internasional menjadi sesuatu yang sangat penting untuk keberlangsungan ekonomi sebuah negara. Dengan terbukanya pasar-pasar antar-benua, pendapatan ekonomi hampir seluruh negara di dunia mengalami perkembangan yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan.
Kendati demikian, hal tersebut bukan berarti seluruh aktivitas ekonomi internasional bisa terus berlangsung tanpa hambatan. Bagi Indonesia sendiri, belakangan ini cukup ramai pemberitaan tentang negara kita yang mendapat perlakuan yang tidak adil dari Uni Eropa (UE). UE diketahui menuduh produk baja nirkarat asal Indonesia mendapat subsidi dari pemerintah Tiongkok, istilah internasionalnya, Tiongkok melakukan trans-national subsidies.
Dengan dasar dakwaan tersebut, UE kemudian menerapkan tambahan bea masuk anti-dumping (BMAD) dan bea masuk penyeimbang (BMP) terhadap produk lempeng baja canai dingin nirkarat atau stainless steel cold-rolled flat (SSCRF) yang berasal dari Indonesia.
Hal ini dilakukan karena menurut UE, subsidi yang dilakukan Tiongkok kepada Indonesia, sebagai sesama anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), adalah tindakan yang tidak adil dalam aktivitas ekonomi internasional. Dari pandangan UE, hal tersebut berpotensi menghancurkan aktivitas pasar di Eropa.
Pemerintah Indonesia tentu menggugat perlakukan tersebut. Gugatan itu sendiri kalau kata Staf Khusus (Stafsus) Menteri Perdagangan (Mendag) bidang Perjanjian Internasional, Bara Krishna Hasibuan, menjadi kasus sengketa pertama dalam sejarah WTO.
Namun, tidak dipungkiri masih banyak orang awam yang belum tahu posisi yang benar atau salah dalam masalah ini. Lantas, apakah Indonesia bisa disalahkan UE?
Jelas, Uni Eropa yang Tidak Adil?
Kalau ditelaah secara awam, mungkin dugaan yang dilemparkan UE terhadap Indonesia tampak bisa terjustifikasi, karena bisa saja bantuan dari Tiongkok memang lebih menguntungkan Indonesia dan mengganggu ekonomi negara lain. Akan tetapi, kalau kita mencoba melihatnya dari prinsip-prinsip dasar WTO, hal yang dilakukan Tiongkok sebetulnya bisa dibenarkan.
Pada dasarnya, WTO didirikan untuk mempromosikan praktik perdagangan internasional yang adil dan terbuka di antara negara-negara anggotanya. Prinsip liberalismenya selalu mengharapkan bahwa semua negara yang terlibat dalam WTO tidak hanya mendapat hak untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi internasional, tetapi juga mendapat bantuan untuk bisa “berdagang” secara layak, bila negara itu membutuhkan bantuan. Tentu, prinsip tersebut mengacu kepada negara berkembang.
Di dalam aturan WTO pun disebutkan bahwa mereka berpegang pada suatu “pelatihan” yang disebut Technical Assistance and Capacity Building. Melalui hal ini, mendukung bantuan teknis dan program peningkatan kapasitas untuk membantu negara-negara berkembang berpartisipasi secara efektif dalam sistem perdagangan multilateral. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas negara-negara berkembang dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan perdagangan, berpartisipasi dalam negosiasi perdagangan, dan mematuhi aturan WTO.
Sebagai negara berkembang, Indonesia tentunya bisa dianggap juga sebagai negara yang membutuhkan bantuan dari negara maju, atau yang mampu secara finansial, untuk membantu kita sebagai negara yang bisa secara mantap ikut serta dalam perdagangan internasional. Atas dasar itu, bantuan finansial dari negara asing, termasuk dalam bentuk subsidi, bisa dibenarkan.
Selain hal itu, perlakuan UE sendiri terhadap Indonesia sebetulnya menunjukkan perilaku yang melanggar prinsip perdagangan internasional. Di dalam prinsipnya, WTO menganut sesuatu yang disebut most-favoured-nation (MFN), yang mengatakan bahwa berdasarkan perjanjian WTO, negara-negara tidak dapat melakukan diskriminasi terhadap mitra dagang mereka secara khusus.
Bila sebuah negara memberikan satu atau lebih negara lain perlakuan khusus (seperti tarif bea masuk yang lebih rendah atau tinggi untuk salah satu produknya), maka negara itu pun harus melakukan hal yang sama untuk semua anggota WTO lainnya.
Perlakuan UE yang secara khusus memberikan “pemerasan” kepada Indonesia karena itu, justru adalah sesuatu yang sangat diskriminatif dan melanggar prinsip dasar perdagangan internasional yang dianut di dalam WTO.
Namun, hal ini lantas memunculkan satu pertanyaan menarik lagi, bila UE dengan sengaja menempatkan dirinya dalam suatu perkara yang sulit dibela melalui aturan, mengapa mereka rela melakukan perlakuan yang tidak adil kepada Indonesia?
Bukan Karena Indonesia, Tapi Tiongkok?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita tampaknya perlu berkaca kepada perkataan dari salah satu filsuf ekonomi modern paling ternama saat ini, yakni Yanis Varoufakis. Dalam sebuah wawancara, Yanis pernah menyebut bahwa nasib Eropa, baik dalam aspek politik, saat ini sebetulnya sudah “finished” atau selesai.
Yanis berpandangan bahwa sejak beberapa tahun terakhir Eropa tampaknya mulai secara sedikit demi sedikit kehilangan kekuatan besarnya dan kini berada di bawah bayangan para economic powerhouse seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan potentially, beberapa negara Asia seperti India di masa depan.
Dalam hal inovasi dan teknologi misalnya, seperti yang diungkapkan Francis de Véricourt dalam tulisannya di South China Morning Post (SCMP), Eropa sudah sangat tertinggal dari AS dan Tiongkok dalam hal genomika, komputasi kuantum, and kecerdasan buatan (AI). Hal ini, menurut Véricourt, salah satunya disebabkan karena pendanaan untuk riset dan inovasi yang terus turun di negara-negara Eropa. Penyebabnya, kata Véricourt, adalah karena banyak politisi di Eropa kini kesulitan melihat inovasi dapat memberikan keuntungan ekonomi yang cepat untuk mengejar kemajuan AS dan TIongkok.
Nah, ketertinggalan inilah yang kemudian bisa kita duga mengarah kepada diskriminasi perdagangan yang dilakukan oleh UE kepada Indonesia. Bisa jadi, sebetulnya tujuan utama UE memberikan sanksi kepada Indonesia adalah untuk menghambat pengaruh Tiongkok dalam membangun mitra negara berkembangnya, karena dengan majunya negara yang diinvestasikan Tiongkok, hal itu pun diduga dapat membantu percepatan pembangunan ekonomi Tiongkok sendiri.
Yap, sederhananya, apa yang dilakukan UE kepada Indonesia adalah respons atas ketakutan potensi ekonomi Tiongkok. Indonesia bisa dikatakan hanya berada di tengah “line of fire” atau jalur tembak pertarungan antara UE dan Tiongkok. (D74)