HomeNalar PolitikDi Balik Nadiem Menteri Jokowi

Di Balik Nadiem Menteri Jokowi

Sehari setelah pelantikan presiden, Jokowi memanggil sejumlah pihak ke Istana yang ditengarai sebagai calon-calon menteri yang akan mengisi kabinet pada periode kedua kepemimpinannya. Di antara pihak-pihak tersebut, muncul sosok Co-Founder sekaligus mantan CEO Gojek, Nadiem Makarim. Nadiem sendiri telah mengakui telah menerima tawaran sebagai menteri dari Jokowi dan telah pula melepas jabatannya di Gojek. Dengan hadirnya Nadiem di jajaran kabinet, apakah ini merupakan langkah Jokowi untuk mengembangkan ekonomi berbasis digital?


PinterPolitik.com

Sebenarnya, hadirnya sosok Nadiem Makarim sebagai calon menteri tidak begitu spesial, mengingat sosok menteri dari kalangan pengusaha memang telah menjadi tren dan lazim. Namun, terdapat dua hal yang membuat sosok Nadiem menjadi berbeda, yaitu sampai saat ini Nadiem adalah sosok termuda (35 tahun) yang dipanggil Jokowi, dan latar usahanya yang merupakan startup atau berbasis ekonomi digital.

Dua hal tersebut selaras dengan sinyal yang pernah dikeluarkan oleh Jokowi ketika menyebut akan adanya menteri muda karena kebutuhan akan orang-orang dinamis, fleksibel, dan mampu mengikuti perubahan zaman yang sangat cepat, dan keinginan untuk mengembangkan ekonomi digital dalam rangka visi revolusi industri 4.0.

Tidak hanya itu, di banyak kesempatan, Jokowi juga mengutarakan dukungan pada perkembangan startup dan menginginkan lebih banyak lagi unicorn – sebutan untuk startup yang memiliki valuasi di atas US$ 1 juta – yang saat ini hanya berjumlah lima, yaitu Gojek, Traveloka, Bukalapak, OVO dan Tokopedia.

Atas dipanggilnya Nadiem, Chief Corporate Affairs Gojek, Nila Marita menilai ini menjadi sejarah baru bagi startup Indonesia karena baru pertama kalinya seorang pengusaha startup akan menduduki kursi menteri, dan merupakan pengakuan atas prestasi yang selama ini diraih Nadiem.

Melihat pada fenomena tersebut, pertanyaannya adalah apakah Nadiem adalah sosok yang tepat untuk mewujudkan visi ekonomi digital Jokowi?

Mimpi Ekonomi Digital

Yang pertama dan utama tentunya adalah pertanyaan mengapa Jokowi ingin menggenjot perkembangan ekonomi digital?

Jawaban atas pertanyaan tersebut besar kemungkinan adalah terkait motif ekonomi dari keinginan Jokowi untuk meningkatkan investasi. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong pernah mengungkapkan bahwa ada dua sektor yang menjadi tulang punggung investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia, yaitu sektor pengelolahan industri smelter dan sektor e-commerce serta ekonomi digital.

Tom Lembong menyebutkan bahwa ada fenomena yang cukup mendadak karena dalam 3-4 tahun terakhir, terdapat tren 15-20 persen dari total FDI mengalir ke perusahaan-perusahaan startup unicorn. Ini membuat bisnis startup meloncat akibat arus modal yang sebelumnya hampir tidak ada.

Tom juga menyebutkan bahwa Jokowi sangat sadar akan potensi ekonomi digital, sehingga dirinya mendukung penuh perkembangan sektor ini melalui berbagai kebijakan.

Ahmad Fahim Didar, Founder dan Executive Director dari Aghaez Professional Services (AGHAEZ), sebuah firma konsultasi manajemen yang berfokus pada pengembangan kewirausahaan dan ekosistem startup di Afghanistan, mengungkapkan bahwa startup mungkin adalah perusahaan kecil, tetapi dapat memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Didar mengutarakan bahwa startup dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan yang dapat meningkatan perekonomian. Tidak hanya itu, startup juga dapat berkontribusi terhadap dinamika ekonomi dengan memacu inovasi dan menyuntikkan intensitas kompetisi. Hal ini karena startup umumnya diisi oleh para pengusaha baru yang membawa ide-ide baru. Tentunya ini sangat dibutuhkan untuk menggerakkan inovasi dan menghasilkan kompetisi.

Kemudian, studi yang dilakukan oleh Hans Westlund, Amy Rader Olsson dan Johan P. Larsson di Swedia, memperlihatkan bukti yang cukup meyakinkan bahwa startup mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja secara positif, dan beberapa bukti menunjukkan startup dapat meningkatkan populasi.

Atas dasar ini, jelas terlihat bahwa startup tidak hanya memberikan bukti empiris seperti kenaikan FDI di Indonesia, melainkan juga diperlihatkan oleh kajian di Afghanistan dan Swedia yang memperlihatkan hal yang sama.

Melihat pada tren peningkatan FDI karenanya adanya startup unicorn, ini merupakan alasan yang sangat masuk akal mengapa Jokowi ingin menambah jumlah unicorn di Indonesia. Secara hitungan kasar, apabila lima unicorn dapat menyerap 15-20 persen FDI, maka pertambahan jumlah unicorn tentunya akan berbanding lurus dengan besarnya FDI yang diterima.

Untuk mewujudkan terciptanya unicorn-unicorn baru, pemerintah telah mengupayakan tiga hal. Pertama, menyediakan infrastruktur seperti jaringan internet broadband berkecepatan tinggi dan Palapa Ring. Kedua, menciptakan ekosistem pendukung dan iklim usaha yang baik bagi ekonomi digital. Ketiga, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di dunia digital.

Tidak hanya itu, pemerintah juga mendorong kecepatan dan efisiensi transaksi melalui agenda menciptakan cashless society. Kebijakan ini ditujukan untuk mencapai Masyarakat Digital pada 2020 mendatang yang dilakukan melalui program Go Digital Vision 2020. Cashless society ini tentunya memudahkan transaksi berbasis digital yang menjadi salah satu ciri utama dari ekonomi digital.

Lantas, dengan berbagai bukti terkait keberhasilan ekonomi digital seperti startup, apakah Nadiem merupakan sosok yang tepat untuk mewujudkan visi ekonomi digital tersebut?

Tepatkah Sosok Nadiem?

Penunjukan seseorang sebagai menteri tentunya tidak melalui pertimbangan seadanya. Mesti terdapat pertimbangan matang, khususnya terkait kapasitas sang calon menteri.

Nadiem Makarim tentu bukanlah orang sembarang. Kendati dirinya masih muda, pengalamannya di dunia bisnis digital sudah tidak perlu diragukan lagi. Saat ini, Gojek sebagai startup buatannya sudah bertransformasi menjadi decacorn, yaitu startup yang memiliki valuasi di atas US$ 10 miliar.

Valuasi Gojek sudah menyentuh angka US$ 9,5 miliar dan pada April 2019 lalu diperkirakan mendapatkan tambahan pendanaan senilai US$ 2 miliar.

Tidak hanya soal tingginya nilai valuasi. Gojek juga kembali masuk ke daftar tahunan perusahaan yang dinilai berhasil mengubah dunia versi majalah Fortune atau Fortune’s “Change the World” 2019.

Gojek masuk Fortune’s “Change the World” 2019 melalui inovasi GoPay yang dinilai telah mentransformasi percepatan inklusi finansial dan ekonomi digital di Indonesia.

Pencapaian ini menjadikan Gojek bukan hanya sebagai satu-satunya perusahaan Asia Tenggara dalam daftar Fortune’s “Change the World”, melainkan juga satu-satunya perusahaan Asia Tenggara yang berhasil masuk ke daftar yang diakui secara global tersebut sebanyak dua kali.

Tidak hanya dari Fortune, Gojek juga mendapatkan penghargaan dari The Straits Times Asian of the Year 2016 dan Bloomberg 50 tahun 2018 karena telah mengubah kehidupan ekonomi di Indonesia dengan cepat dan mendalam.

Dalam wawancara dengan Nikkei Asian Review, Nadiem menyebut total transaksi (GMT) Gojek pada 2018 sebesar Rp126 triliun. Kemudian, riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menyebutkan perusahaan penyedia jasa ride-hailing ini memberikan kontribusi sebesar Rp 44,2 triliun untuk perekonomian Indonesia selama 2018 lalu.

Atas berbagai prestasi tersebut, tidak mengherankan apabila Nadiem diproyeksikan menjadi menteri ekonomi digital. Apabila nantinya Nadiem benar-benar menjadi menteri ekonomi digital, tugas yang menunggunya tidaklah ringan.

Yang utama, Nadiem diharapkan mampu mewujudkan potensi ekonomi digital tahun ini yang dalam laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menyentuh angka US$40 miliar, dan akan menyentuh angka US$130 miliar pada tahun 2025. Praktis, Nadiem dituntut untuk memberikan berbagai dobrakan kebijakan dan regulasi.

Merujuk pada Nissim Cohen, Nadiem adalah seorang yang ditempatkan sebagai policy entrepreneur, yaitu pihak yang memanfaatkan peluang untuk mempengaruhi hasil kebijakan untuk meningkatkan kepentingan diri mereka sendiri.

Maksudnya, bukan pada pengertian Nadiem akan berlaku egois atau koruptif, melainkan akan membuat berbagai regulasi yang dapat mendorong majunya bidang ekonomi, terutama ekonomi digital.

Dalam studi yang dilakukan Cohen di Israel, ia menemukan bahwa policy entrepreneur dapat memberi berbagai perubahan regulasi dalam birokrasi yang memang mengacu pada concern sang policy entrepreneur.

Artinya, posisi menteri juga sebetulnya tidak akan begitu mengejutkan dapat direngkuh Nadiem. Apalagi, di luar sosoknya sebagai pengusaha startup yang sukses, jika melihat pada latar belakang keluarganya, Nadiem sebenarnya tidaklah asing dengan dunia politik, justru mungkin kehidupan politik begitu lekat dengannya.

Ia adalah anak tunggal dari pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri. Nono adalah salah satu praktisi hukum ternama di Indonesia yang pernah menjadi anggota Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lalu, Nadiem adalah keponakan Mayjen TNI (Purn) Zacky Anwar Makarim, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) yang merupakan adik Nono. Zacky juga pernah menjadi Ketua Satgas Panitia Penentuan Pendapat Timor Timur (P3TT) pada akhir tahun 1990-an.

Dari sisi ibu, Atika Algadri adalah anak dari Hamid Algadri, seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia keturunan Arab. Hamid Algadri sendiri berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, Konfrensi Meja Bundar (KMB) dan salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.

Kemudian saudara Atika yang adalah paman Nadiem, Maher Algadri adalah anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Maher juga merupakan salah satu orang dekat Prabowo Subianto, katakanlah ketika rumahnya dipakai sebagai tempat pertemuan koalisi sang mantan Danjen Kopassus itu sebelum Pilpres 2019 lalu.

Maher juga salah satu pengusaha Kongsi Delapan (Kodel) Group yang merupakan konglomerasi perusahaan yang didirikan Fahmi Idris bersama Aburizal Bakrie, Soegeng Sarjadi, Abdul Latief, dan Pontjo Sutowo. Perusahaan ini sendiri sukses pada era Orde Baru, tepatnya di tahun 1980-an.

Pada akhirnya, kita dapat berharap, apabila Nadiem benar-benar ditunjuk sebagai menteri, khususnya sebagai menteri digital, semoga ia dapat membawa ekonomi digital potensial Indonesia ke muka dunia seperti yang dilakukannya bersama Gojek. (R53)

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...