Di tengah puluhan triliun rupiah dana yang digelontorkan pemerintah dalam menanggulangi stunting, terdapat fakta menarik bahwa setiap US$ 1 dana yang dikeluarkan diperkirakan dapat memberi efek ekonomi sebesar US$ 48 sebagai hasil program tersebut. Dengan kata lain, penanggulangan stunting tidak hanya bermotif sosial, melainkan juga memiliki motif ekonomi. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Indonesia boleh jadi sedang mengalami darurat stunting. World Health Organization (WHO) mendefinisikannya sebagai kegagalan pertumbuhan anak akibat gizi buruk, terkena infeksi berulang kali, dan kekurangan stimulasi psikososial. Bagaimana tidak, stunting Indonesia berada di angka 27,67 persen, di mana angka ini masih berada di atas kisaran standar WHO sebesar 20 persen.
Walau demikian, di tengah lampu kuning kasus stunting ini, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko baru-baru ini memberikan solusi yang cukup “out of the box”. Tuturnya, setiap rumah tangga mesti memelihara ayam agar telurnya dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan protein dan mencegah terjadinya stunting.
Sebagai pembanding, mantan Panglima TNI ini juga turut mencontohkan kebijakan di India yang telah mewajibkan konsumsi telur sebanyak lima kali dalam seminggu.
Menimbang pada gelontoran dana sebesar Rp 60 triliun untuk pengentasan stunting, solusi Moeldoko ini memang terbilang cukup menggelitik dan memiliki kesan “asal jawab”.
Tanggapan serupa misalnya dilontarkan oleh Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay yang menyebut program setiap rumah perlu memiliki ayam terlalu mengada-ada, bahkan terkesan agak lucu.
Melihat jumlah dananya, memang dapat dinilai bahwa pemerintah tengah begitu serius dalam upaya pengentasan stunting. Ini terlihat jelas dari data yang dipublikasikan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa terjadi penurunan angka stunting setiap tahunnya sejak tahun 2013.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, upaya percepatan penurunan stunting bahkan menjadi salah satu program prioritas dan masuk dalam daftar proyek major (besar).
Percepatan ini dimaksudkan agar pada akhir tahun 2024 mendatang, angka stunting dapat berkurang menjadi 19,4 persen, di mana angka ini ada di bawah standar yang telah ditentukan oleh WHO.
Usaha percepatan tersebut dilakukan dengan menambah anggaran dan kabupaten yang mendapatkan prioritas penanganan stunting menjadi 390 kabupaten/kota pada 2020.
Persoalan stunting ini menjadi menarik untuk dilihat ketika merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh John Hoddinott, dkk dalam The Economic Rationale for Investing in Stunting Reduction, yang menyebutkan bahwa Indonesia dapat menikmati timbal balik ekonomi sampai sebesar US$ 48 (sekitar Rp 675 ribu) untuk setiap US$ 1 (Rp 14 ribu) dana yang dikeluarkan untuk menanggulangai stunting.
Dengan kata lain, pengentasan stunting sebenarnya bukanlah kegiatan karikatif negara atau belas kasih terhadap warga negaranya semata, melainkan juga merupakan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pertanyaannya adalah mampukah persoalan ini benar-benar ditanggulangi?
Keuntungan Ekonomi
Disadari atau tidak, pemerintah sepertinya telah melakukan investasi besar pada penanggulangan stunting karena akan terdapat efek ekonomi yang begitu besar di masa depan.
Efek tersebut terlihat pada pidato pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) 20 Oktober 2019 lalu. Saat itu, Jokowi menjelaskan terkait bonus demografi di mana jumlah usia produktif melebihi usia non-produktif yang diprediksi pada tahun 2030-2040 akan mencapai 64 persen.
Lalu, terdapat penekanan sang presiden untuk meningkatkan kualitas SDM untuk memaksimalkan bonus demografi tersebut.
Masalahnya, untuk memaksimalkan bonus demografi, tentu membutuhkan SDM yang berkualitas. Akan tetapi, bonus demografi tersebut justru dapat menjadi beban negara apabila SDM yang tersedia mengalami penurunan kemampuan kognitif atau kualitas, katakanlah akibat terkena stunting.
Dengan kata lain, penanggulangan stunting sebenarnya adalah investasi jangka panjang yang diperuntukkan pemerintahan untuk menjawab tantangan bonus demografi kelak.
Ini juga dipertegas dalam Aiming High Indonesia’s Ambition to Reduce Stunting yang dikeluarkan oleh The World Bank Group – yang mengutip penelitian John Hoddinott, dkk –bahwa Indonesia akan mendapatkan benefit-cost ratios for investment atau rasio keuntungan investasi sampai sebesar US$ 48 pada setiap US$ 1 dana yang dikeluarkan untuk penanggulangan stunting. Di mana angka ini adalah rasio keuntungan terbesar dari rata-rata investasi stunting yang hanya sebesar US$ 17.
Tidak hanya sebagai strategi investasi, penanggulangan stunting juga vital dilakukan untuk mencegah terjadi kerugian negara.
Pada tahun 2018, Menteri Kesehatan pada saat itu, Nila Farid Moeloek, mengungkapkan bahwasanya stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika merujuk pada data PDB Indonesia pada 2017 yang sebesar Rp13.000 triliun, maka kerugian yang ditimbulkan diperkirakan sebesar Rp 260-390 triliun.
Strategi Perangi Stunting
Melihat pada tingginya potensi efek ekonomi yang didapatkan melalui penanggulangan stunting, lantas strategi apa saja yang dilakukan pemerintah?
Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024, program penanggulangan stunting di Indonesia bertolak dari pengalaman negara-negara lain seperti Peru, Vietnam, India, dan Bangladesh yang menunjukkan betapa pentingnya kampanye nasional untuk mendorong kesadaran publik tentang persoalan ini.
Oleh karenanya, selain melakukan intervensi gizi atau makanan untuk ibu dan anak, kampanye, advokasi, dan diseminasi tentang stunting serta upaya-upaya pencegahannya adalah intervensi vital lainnya yang harus ditingkatkan.
Lubina Qureshy, dkk dalam Positive Returns: Cost-Benefit Analysis of a Stunting Intervention in Indonesia menjelaskan bahwa strategi intervensi gizi ataupun kampanye tentang stunting digalakkan pemerintah melalui Posyandu yang tersebar di setiap desa di Indonesia.
Dalam konteks ini, Posyandu telah berjasa besar dalam melakukan perubahan dari situasi di mana penduduk desa harus melakukan perjalanan ke pusat kesehatan terdekat – yang biasanya berada di kota – sehingga dapat menikmati akses pelayanan kesehatan dengan lebih mudah.
Di Posyandu, masyarakat mendapatkan layanan pemantauan pertumbuhan janin dan ibu, suplemen mikronutrien – terutama zat besi – dan imunisasi, serta berbagai layanan kesehatan lainnya.
Jika kembali pada pernyataan Moeldoko, melihat pada berbagai program yang dicanangkan pemerintah yang disebut sukses untuk menurunkan angka stunting, agaknya menjadi tanda tanya mengapa solusi yang diberikan sang jenderal adalah memelihara ayam.
Di satu sisi, solusi ini mungkin tepat. Namun, di sisi lain, timbul berbagai pertanyaan terkait apakah wacana ini berlaku untuk semua masyarakat di seluruh Indonesia, menimbang adanya regulasi pelarangan pemeliharaan unggas untuk wilayah perkotaan seperti di Jakarta. Dengan kata lain, solusi Moeldoko tersebut memiliki tendensi bahwa sasarannya adalah rumah tangga di pedesaan.
Jika memang benar sasaran solusinya adalah rumah tangga di pedesaan, bukankah itu menunjukkan bahwa Moeldoko sadar bahwa berbagai Posyandu yang tersebar di setiap desa tidak memadai untuk menanggulangi stunting?
Atau mungkin terdapat distribusi anggaran ataupun logistik seperti obat-obatan yang tidak merata di setiap Posyandu, sehingga narasi memelihara ayam dari Moeldoko mengemuka?
Indikasi dari tendensi ini terlihat dari data bahwa dari total dana Rp 60 triliun untuk program stunting, kebermanfaatannya hanya mencapai Rp 29 triliun. Tentu menjadi tanda tanya besar mengapa kebermanfaatan dana tersebut tidak sampai setengahnya.
Apakah itu mengindikasikan adanya distribusi dana yang tidak merata? Ataukah ada faktor lain? Terkait hal ini mungkin publik hanya dapat sebatas menerka-nerka semata.
Kemudian, apabila kita melihat dengan cermat narasi solusi Moeldoko tersebut, boleh jadi terdapat pengakuan dari Moeldoko bahwa terdapat fakta masih rendahnya kesejahteraan berbagai rumah tangga, khususnya yang tinggal di pedesaan, sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan gizinya setiap hari.
Artinya, solusi jangka panjang untuk pengentasan stunting sebenarnya adalah meningkatkan kesejahteraan atau perekonomian masyarakat itu sendiri.
Pandangan ini misalnya diungkapkan oleh Sebastien Mary dalam How Much Does Economic Growth Contribute to Child Stunting Reductions? yang menyimpulkan bahwa 10 persen peningkatan PDB dapat mengurangi prevalensi stunting sebesar 2,7 persen. Artinya, sebetulanya ada hubungan timbal balik yang bisa dimaknai dalam program ini.
Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa selain terdapat motif ekonomi dalam usaha penanggulangan stunting, solusi memelihara ayam dari Moeldoko secara tidak langsung telah mengakui terjadinya kesenjangan ekonomi yang tinggi, khususnya di rumah tangga pedesaan. (R53)
https://www.youtube.com/watch?v=NdUfJpLo568
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.