Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyebut kondisi DKI Jakarta kian amburadul. Banyak pihak yang menyebut pernyataan ini bermuatan politis untuk menyerang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Lantas apa yang bisa dimaknai dari kritik teranyar Mega ini?
Bagi penggemar serial televisi Game of Thrones (GoT), mungkin sudah tak asing lagi dengan nama King’s Landing. Bagaimana tidak? Hampir sebagian besar plot cerita dari series produksi HBO itu memang berlatar di kota fiksi tersebut.
Diceritakan bahwa King’s Landing merupakan kota terbesar dan terpadat di Westeros. Di sini pula kedudukan (seat of government) dari raja dan ratu The Seven Kingdoms bertakhta.
Meski plot cerita GoT berpusat pada perebutan kekuasaan para elite, namun duo produser GoT, David Benioff dan D.B Weiss tetap berhasil menggambarkan keadaan ibu kota dengan begitu realistis.
Di balik kemegahan dan pergumulan kekuasaan itu, tak lupa mereka menyelipkan sejumlah persoalan-persoalan urban yang bahkan relevan dengan kondisi di dunia nyata, seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, bahkan konflik vertikal dan horizontal.
Persoalan-persoalan itulah yang mungkin saja menginspirasi Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri untuk melontarkan kritik terhadap DKI Jakarta. Dalam pernyataan teranyarnya itu, Ia menggunakan diksi ‘amburadul’ untuk menggambarkan kondisi Ibu Kota kendati tak menjabarkan parameternya dengan jelas.
Konteks pernyataan Mega itu semakin menarik lantaran disampaikan dalam acara pemberian penghargaan terhadap Kota Semarang, Solo, dan Surabaya sebagai ‘Kota Mahasiswa’ atau ‘City of Intellectual’ oleh tim yang dipimpin oleh Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas.
Meski tak menyinggung secara spesifik, namun sindiran ini agaknya sulit untuk tak dikait-kaitkan dengan sosok Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Selain sebagai kepala daerah, Anies juga merupakan lawan politik PDIP di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta terakhir. Apalagi, dalam kesempatan itu, Mega juga tak lupa menyampaikan kebanggaannya lantaran ketiga kota yang menerima penghargaan itu memang dipimpin oleh kader-kader PDIP.
Direktur Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif’an mengatakan bahwa muatan politik dalam pernyataan Mega itu bukan semata-mata dilontarkan untuk Pilkada 2020, melainkan juga demi kepentingan Pilkada 2022 yang menjadi tahun terakhir kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Selain itu, Ia juga menilai pernyataan tersebut merupakan wujud dari ambisi PDIP yang merasa perlu untuk merebut kembali DKI Jakarta.
Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya motif Mega melempar kritik tersebut, dan mengapa posisi DKI-1 ini begitu krusial bagi sejumlah elite politik?
Mega The King Maker?
Sebelum masuk ke pangkal persoalan, manuver Mega yang kian rajin muncul di hadapan publik merupakan fenomena tersendiri yang unik untuk didalami. Apalagi kemunculannya itu kerap memantik pemberitaan karena tutur katanya, misalnya ketika mempertanyakan sumbangsih kaum milenial, hingga yang teranyar soal Jakarta.
Fenomena politikus turun gunung jelang kontestasi elektoral sebenarnya merupakan hal lumrah. Akan tetapi, konteks ini menjadi menarik lantaran PDIP saat ini tengah jadi sorotan minor imbas dari kebijakan-kebijakan anti-populis yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kadernya.
Apa yang dialami PDIP ini sebenarnya sudah pernah menimpa Partai Demokrat di penghujung kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu juga mengalami kemerosotan pamor atau elektabilitas. Jemmy Setiawan dalam tulisannya Pemberantasan Korupsi di era SBY Tercatat Paling Progresif di Dunia menyebutkan bahwa kemerosotan pamor itu merupakan imbas dari komitmen SBY dalam mendukung penindakan terhadap kasus korupsi yang menjerat kader-kadernya.
Untuk mengatasi kemerosotan pamor kala itu, Partai Demokrat melakukan sejumlah upaya untuk membendung sentimen negatif, khususnya saat menghadapi Pemilu 2014. Masduki dalam tulisannya yang berjudul Strategi Pemulihan Citra Partai Politik: Kasus Partai Demokrat, menilai partai tersebut memaksimalkan dua elemen sumber daya, yakni personalitas SBY sebagai Presiden yang berprestasi, dan kisah sukses kinerja SBY selaku representasi Partai Demokrat.
Singkatnya, Partai Demokrat bisa dibilang ‘menjual’ brand SBY sebagai figur yang terbukti sukses bertahan dua periode menjadi Presiden, sebagai upaya menandingi persepsi korupsi yang sangat kuat.
Dalam konteks saat ini, maka pernyataan Mega yang menyinggung soal Jakarta bisa saja dibilang sebagai strategi PDIP untuk menjual personalitas sang Ketua Umum sebagai sosok king maker untuk menandingi narasi-narasi yang kontra terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Karena tak dapat dipungkiri, sejumlah kepala daerah yang sempat diusung Mega memiliki popularitas yang cukup tinggi di mata publik, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau bahkan Jokowi sendiri.
Apalagi, Kota Semarang, Solo dan Surabaya yang mendapatkan penghargaan Kota Mahasiswa dipimpin oleh kader PDIP. Dengan kata lain, ini dapat dibaca bahwa Mega telah berhasil menjadi king maker karena kadernya sukses memimpin.
Lalu, Mega yang menggunakan diksi amburadur untuk menyentil Anies, tampaknya bisa dibaca bahwa Ketum PDIP ini hendak menegaskan bahwa, “jika Jakarta ingin tidak amburadul, maka pemimpinnya dari PDIP”.
Signifikansi Politik Ibu Kota
Ambisi PDIP untuk merebut kembali Ibu Kota sebenarnya merupakan hal yang dapat dimaklumi. Sebab, politik elektoral Jakarta bisa dianggap sebagai karpet merah menuju Istana.
Heike Mayer dan David Kaufmann dalam tulisan mereka yang berjudul The Political Economy of Capital Cities mengatakan bahwa ibu kota memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Sebagai pusat pemerintahan dan pengambil kebijakan, representasi ibu kota tak hanya bersifat simbolis tapi juga dalam konteks ekonomi dan perannya sebagai jaringan urban nasional.
Melengkapi pendapat tersebut, Scott Campbell dalam tulisannya The Changing Role and Identitiy of Capital Cities in The Global Era kemudian membagi ibu kota ke dalam dua karakteristik, yaitu ibu kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis; dan ibu kota sebagai secondary capital. Jenis kedua ini lebih mengacu pada kota yang hanya memegang peranan sebagai seat of government, atau pusat administrasi pemerintahan saja.
Signifikansi kekuatan politik ibu kota terhadap politik nasional nyatanya merupakan fenomena yang banyak terjadi berbagai belahan dunia.
Fenomena tersebut misalnya terjadi di Inggris, di mana Perdana Menteri (PM) saat ini, Boris Johnson pernah menjabat sebagai Wali Kota London, yang merupakan pusat pemerintahan dan bisnis di Britania Raya.
Dari sini sekiranya dapat dikatakan bahwa ibu kota yang berperan sebagai pusat bisnis dan komersial agaknya lebih banyak memberikan keuntungan elektoral kepada para kepala daerahnya. Namun mengingat Jakarta adalah ibu kota negara yang menjalankan dua fungsi tersebut sekaligus, maka sudah barang tentu siapapun yang memimpin Jakarta akan punya kesempatan yang tinggi untuk berlaga di level nasional.
Lalu sekarang pertanyaannya, apa saja keuntungan yang didapat PDIP jika pada akhirnya mampu merebut Jakarta kembali?
Faktor Jakartasentris
Peran media massa merupakan faktor yang inheren dalam politik. Hal ini lantaran media berperan sebagai alat komunikasi para elite untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada publik.
Kendati begitu, dalam konteks nasional, peran media massa nyatanya tak juga luput dari kritik.Banyak pihak yang menilai mayoritas media nasional yang ada di Indonesia terlalu Jakartasentris.
Ross Tapsell dalam bukunya yang berjudul Media Power in Indonesia mengatakan bahwa berkumpulnya hampir semua kantor pusat media di Jakarta, secara tak langsung menyebabkan pemberitaan media-media akan berkiblat pada ‘kepentingan Jakarta’ yang pada akhirnya membuat isu regional Jakarta seolah-olah menjadi isu nasional.
Model bisnis digitalisasi dan multi-platform yang mulai dianut oleh para konglomerasi media juga berkontribusi terhadap sentralisasinya isu-isu nasional pada Jakarta. Sehingga pada akhirnya siapa pun yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta akan menjadi sorotan nasional yang merupakan modal penting bagi mereka untuk maju dalam kontestasi elektoral di tingkat nasional.
Dengan demikian, merebut Jakarta setidaknya memiliki dua keuntungan bagi PDIP. Pertama, menempatkan kembali kadernya di DKI Jakarta dapat mengokohkan kembali citra Megawati sebagai king maker dan PDIP sebagai pencetak kepala daerah populer.
Kedua, hal ini juga dapat membuka peluang bagi partai berlogo banteng itu untuk mempersiapkan tempat yang aman bagi siapa pun calon yang diproyeksikannya maju dalam Pilpres 2024. Dengan kata lain, merebut kembali Jakarta membuka peluang PDIP untuk mengulang kembali fenomena Jokowi.
Kendati demikian, sekelumit ulasan tersebut pada akhirnya hanyalah analisis teoritis semata yang belum tentu benar adanya. Bagaimanapun juga, yang tahu persis maksud dari kritik Mega terhadap Jakarta hanyalah yang bersangkutan sendiri. Namun demikian, tak dapat dipungkiri sebagai barometer politik nasional, signifikansi dinamika politik DKI memang penting untuk disimak dan dinantikan kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.