Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Langkah Politik Demokrat

di balik langkah politik demokrat

Foto: Istimewa

SBY membantah bahwa dirinya dan Partai Demokrat tidak membantu dalam mengkampanyekan pasangan Prabowo-Sandi.


Pinterpolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]residen keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menanggapi pernyataan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani melalui akun twitternya. Dirinya menyatakan jika pendapat Muzani “sembrono” dan merugikan. Muzani sebelumnya menyatakan bahwa Partai Demokrat belum menunaikan janjinya untuk mengkampanyekan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Memang beberapa waktu terakhir, terlihat ada friksi di antara Gerindra dan Demokrat. Keduanya nampak tidak akur terkait dengan langkah koalisi dalam proses pemenangan Prabowo-Sandi. Demokrat dinilai enggan mengkampanyekan Prabowo, meskipun hal ini sudah dibantah oleh pihak Demokrat.

SBY bahkan sempat menyindir para kandidat calon yang bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Menurut SBY, para kandidat belum secara gamblang menjelaskan visi dan misinya ke masyarakat. Hal tersebut, kata SBY, tidak hanya membuat bingung rakyat yang hendak memilih, tetapi juga partai pendukungnya.

SBY memang tidak secara gamblang menyebutkan nama yang dikritiknya. Tetapi, bila merujuk pada kandidat calon yang bertarung pada Pilpres kali ini, nama yang dimaksud tentu saja adalah pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga.

Nyatanya, langkah politik Demokrat belakangan mendapat tanggapan cukup hangat dan beragam, apalagi pasca membebaskan kadernya mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin jika berdampak pada kekuatan elektoral mereka. Ada yang menilainya sikap tersebut pragmatis, namun ada pula yang menilainya sangat realistis. Saling lempar tanggap dua partai satu poros koalisi ini menimbulkan pembacaan yang riuh dari publik.

Benarkah demikian?

Pesona SBY, Kekuatan Demokrat

Banyak pendukung maupun bukan pendukung Partai Demokrat yang selalu membanggakan politik santun SBY. Politik santun ini dianggap tidak mengedepankan permusuhan, penghujatan, dan penistaan kelompok lain. Memang, kambing hitam dan menyerang pihak lain bukanlah pilihan politik SBY.

Hal itu setidaknya terlihat dari cuitan terakhirnya di twitter. SBY terlihat menanggapi tudingan yang diarahkan padanya dengan bahasa persuasif dan tidak menyudutkan.

Politik santun ini memang lekat dengan citra SBY dan rezim pemerintahannya selama 10 tahun membuktikan tidak adanya konfrontasi secara terbuka.

Bahkan, Wisnu Nugroho, penulis buku Pak Beye dan Politiknya, menyebut bahwa citra politik adalah hal yang dijunjung tinggi oleh SBY. Persona itu turut memberikan efek pada Demokrat secara umum. Wisnu juga menyebut bahwa yang menempatkan Demokrat dua kali menjadi partai penguasa adalah berkat citra politik SBY tersebut.

Political politeness atau politik santun adalah cara yang digunakan untuk mendeskripsikan bahasa, aturan, atau tindakan yang dimaksudkan untuk menghindari sakit hati atau kerugian kepada anggota kelompok tertentu dalam masyarakat.

Lantas, kenapa orang cenderung suka dengan pemimpin yang mempraktikkan politik santun? Dalam buku Politeness: Some Universals in Language Usage, Penelope Brown dan Stephen Levinson mengemukakan sebuah strategi kesantunan yang dikenal dengan “penyelamatan muka” (face-saving), yaitu aktivitas tindak tutur sebagai sebuah kegiatan rasional yang mengandung maksud dan sifat tertentu sebagai manifestasi penghargaan atau penghormatan terhadap individu anggota masyarakat.

Sementara dosen senior London School of Economics, Margaret Scammell menyebut citra politik (political image) sebagai hal yang sangat melekat pada brand politik seorang politisi atau partai politik dan mempengaruhi kekuatan politik entitas tersebut.

Dalam konteks Indonesia, politik santun masih menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Kekuatan politik inilah yang masih melekat dan digunakan oleh partai berlambang bintang mercy itu, dan tentu saja diperkuat oleh citra politik SBY.

Mekanisme Coping Partai Demokrat

Dalam kajian psikologi-sosial, ada sebuah mekanisme bertahan atau coping mechanism yang diartikan sebagai sebuah pola tindakan sosial untuk mempertahankan eksistensi dari kemungkinan degradasi yang bisa menyebabkan sebuah entitas tertentu tidak mendapatkan tempat dalam pangung sosial.

Misalnya saja, dalam sebuah lingkungan sosial, ada seorang buruh tani yang melakukan berbagai kegiatan ekonomi secara simultan untuk menafkahi keluarganya. Ia melakukan pola pencarian nafkah ganda, menjadi buruh pacul sawah, buruh panen, kuli bangunan, kuli pasar, membantu tuan tanah saat pesta, dan lain-lain yang langsung menghasilkan uang atau mengamankan peluang kerja di hari mendatang.

Ia perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut karena andaikata ada satu jenis pekerjaannya yang hilang, ia masih bisa melakukan jenis pekerjaan lainnya untuk mengamankan nafkahnya di masa depan.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Lynette Ena Hand dan Richard Hicks bahwa mekanisme bertahan bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumber daya (resources) yang dimiliki. Sumber daya coping yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi strategi coping yang akan dilakukan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

Dalam konteks politik, mekanisme bertahan ini kerap digunakan oleh aktor politik untuk kepentingan politisnya.

Hal itu juga diadopsi oleh Demokrat untuk menghadapi Pemilu serentak di tahun mendatang. Mekanisme bertahan itu tertuang dalam bentuk dukungannya untuk pasangan Prabowo-Sandi di satu pihak, dan mempersilakan para kadernya untuk bebas menyatakan dukungannya sesuai dengan basis kultural di masing-masing wilayahnya.

Itu sebabnya Demokrat kemudian membolehkan sejumlah kadernya untuk mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, misalnya yang terjadi pada Gubernur Banten, Wahidin dan mantan Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar.   Dengan kata lain, Demokrat sedang menjalankan pola mekanisme bertahan di kancah politik.

Perilaku Demokrat ini juga bisa dinilai sebagai strategi bertahan dalam menanggapi tuduhan-tuduhan yang diarahkan pada mereka. Demokrat yang tidak memiliki calon pada pasangan capres-cawapres perlu berlaku realis dengan menempatkan kepentingan partai yang utama, apalagi mereka mengakui cukup sulit untuk mendapatkan efek ekor jas (coattail effect) dari Prabowo-Sandi.

Defensive strategy atau strategi bertahan, dalam kadar tertentu juga berguna bagi partai politik seperti Demokrat sebab sebagai Demokrat tetap bisa memberikan pengaruh yang signifikan baik kepada sikap koalisi maupun kepada publik secara umum.

Hal ini sesuai dengan pendapat Christine Oliver dan Ingo Holzinger dari York University dalam tulisan berjudul The Effectiveness of Strategic Political Management. Keduanya menyebutkan bahwa stategi defensif dapat memberikan keuntungan dengan mempertahankan status quo sebagaimana yang diinginkan.

Dalam hal Demokrat, strategi ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran yang positif bagi partai dan mempertahankan sikap “di tengah”.

Targetnya tentu saja untuk mengamankan peluang-peluang politik di masa depan siapa pun pasangan capres-cawapres yang tampil sebagai pemenang.  Demokrat nampaknya tidak ingin menjadi oponen murni, juga tidak ingin menjadi proponen murni.

Peluang politik yang diperjuangkan juga jelas, yaitu posisi politik bagi kader mudanya yang sedang dipromosikan, Agus Harimurti Yudhonono (AHY). Siapa pun pemenang kontestasi pilpres  2019,  Demokrat bisa memperjuangkan satu posisi politis sebagai “The President Man” bagi AHY.

Menangkan Sandi atau Prabowo?

Oleh sebab itu, dalam kampanye politik hingga hari ini, Demokrat terkesan tidak ikut “mendorong gerobak” Koalisi Adil dan Makmur. Meski jika dilihat lebih jauh, Demokrat tetap memberikan dukungannya pada Prabowo-Sandi.

AHY sendiri mengungkapkan jika tudingan Demokrat tidak all out dalam memberikan dukungan kepada pasangan itu terlalu berlebihan. Bahkan dua belah pihak dalam waktu dekat akan melakukan pertemuan untuk membahas langkah-langkah kampanye yang diperlukan.

Namun, ini bukan berrati Demokrat tidak memiliki prioritas. Beberapa sumber menyebutkan, Demokrat sebetulnya lebih memilih mengkampanyekan Prabowo-Sandi lebih melalui figur Sandi.

Sebab, Sandi secara politis tidak “dimiliki” oleh partai mana pun. Coattail effect Sandi lebih terasa realistis untuk Demokrat, apalagi jika diperhatikan, mantan Wagub DKI Jakarta itu lebih antusias dalam melakukan kampanye di berbagai daerah, berbanding terbalik dengan Prabowo yang terkesan malas-malasan.

Secara popularitas, meskipun Sandi masih di bawah Prabowo, namun angka itu merangkak naik dengan kampanye kreatif yang selama ini diterapkannya.

SBY tanggapi pernyataan Ahmad Muzani melalui twitter. Share on X

Selain itu, Demokrat secara visioner melihat peluang untuk periode Pilpres mendatang. Tentu saja SBY akan meneruskan trahnya kepada AHY untuk membawa estafet kepemimpinan di tubuh Demokrat. AHY juga digadang-gadang akan menjadi suksesor sang Ayah dalam bursa pencapresan.

Oleh karenanya, dengan peluang yang sama besar dengan Sandi untuk maju kembali dalam episode Pilpres berikutnya, Demokrat bisa dikatakan besar kemungkinan dapat memasangkan duet Sandi dengan AHY.

Maka, perdebatan yang dilakukan oleh Demokrat dan Gerindra akhir-akhir ini, sangat mungkin sebetulnya hanya riak-riak di permukaan saj. Demokrat seperti mendayung di antara dua karang, di mana ia akan mendukung Sandi, namun di pihak lain juga akan mengamankan kepentingan partai politiknya demi menjamin tetap lolos ke parlemen di periode berikutnya. (A37)

Exit mobile version