Maraknya peredaran senjata api disebut-sebut sebagai faktor yang ikut meningkatkan angka kriminalitas. Adanya kepentingan bisnis dalam masalah peredaran senjata api juga membuat masalah ini semakin kompleks.
PinterPolitik.com
“It takes a good guy with a gun, to stop a bad guy with a gun” – Quentin R. Bufogle, penulis
[dropcap size=big]K[/dropcap]epemilikan senjata api seolah menjadi pralambang kekuasaan yang juga sangat identik dengan kontrol. Maka, seringkali butuh penegak hukum yang juga bersenjata untuk menghentikan orang-orang yang menebar ketakutan di masyarakat dengan senjata api yang mereka miliki. Setidaknya ketakutan itulah yang beberapa hari belakangan diperbincangkan oleh masyarakat di Indonesia, menyusul makin seringnya aksi kejahatan dengan senjata api.
Pada Jumat, 9 Juni 2017 lalu, Davidson Tantono (31) harus meregang nyawa akibat tertembak di kepala oleh sekawanan perampok. Davidson yang baru pulang dari bank bukan hanya kehilangan uang sejumlah Rp 300 juta, tetapi juga kehilangan nyawanya. Ia ditembak saat akan menambal ban mobilnya di sebuah SPBU di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat.
Tiga hari berselang, aksi kejahatan dengan senjata api menimpa seorang wanita muda bernama Italia Chandra Kirana Putri (23). Italia harus meregang nyawa setelah ditembak oleh pencuri yang hendak menggondol sepeda motor dari rumahnya di daerah Karawaci, Kota Tangerang pada Senin, 12 Juni 2017. Italia yang sedang menjalani praktik sebagai Dokter Muda (Koas) sempat melawan para pencuri tersebut, namun nyawanya harus berakhir pula di ujung senjata kawanan pencuri tersebut.
Belum beberapa jam kasus tersebut muncul di pemberitaan, pihak kepolisian kembali berurusan dengan pelaku pembunuhan seorang remaja di Cengkareng yang membawa senjata api saat berusaha ditangkap oleh polisi. Pada dini hari Selasa, 13 Juni 2017 polisi menyergap pelaku pembunuhan yang diketahui bernama Wahyu tersebut. Namun, Wahyu yang membawa senjata api melakukan perlawanan terhadap polisi. Akhirnya polisi menembak mati tersangka itu dengan pertimbangan keamanan bagi petugas dan orang-orang yang ada di sekitar.
Tiga kasus kejahatan dengan melibatkan senjata api dan terjadi hanya dalam 5 hari tentu saja sangat memprihatinkan. Penggunaan senjata api oleh orang sipil non-militer tentu saja menjadi inti persoalan tersebut. Artinya, akses terhadap senjata api semakin mudah didapatkan. Padahal Indonesia punya aturan hukum yang sangat ketat terkait kepemilikan senjata api.
Kita tentu ingat kasus yang menimpa Gatot Brajamusti yang memiliki senjata api illegal. Bahkan salah satu senjata yang dimiliki oleh Gatot berjenis Glock 26 adalah senjata yang sama dengan yang digunakan oleh Paspampres. Senjata berjenis Glock 26 memang bisa dibeli bahkan lewat situs-situs penjual senjata api online. Di situs gunbroker.com misalnya, harga Glock 26 ada di kisaran 450-600 dollar Amerika Serikat.
Fakta kepemilikan senjata api yang makin banyak ini tentu menimbulkan tanda tanya, apakah memang sudah tidak ada kontrol lagi terhadap kepemilikan senjata? Ataukah memang sulit untuk mengontrol peredarannya?
Legalitas Senjata Api
Maraknya peredaran senjata api disebut-sebut sebagai faktor yang ikut meningkatkan angka kriminalitas. Pada tahun 2012 misalnya, tercatat ada 561 kasus pencurian yang dilakukan dengan menggunakan senjata api. Pada tahun 2013 ada 482 kasus pencurian dengan senjata api dan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 332 kasus.
Walaupun belum ada rilis resmi terkait angka penggunaan senjata api dalam kasus kejahatan antara tahun 2015-2017, namun jika memperhatikan intensitas kasus yang terjadi belakangan ini, trend kejahatan dengan senjata api cenderung meningkat. Tiga kasus terakhir yang terjadi hanya dalam 5 hari saja sudah membuktikan hal tersebut.
Pada dasarnya, peredaran senjata api ada yang legal dan ada yang ilegal. Senjata api yang legal adalah yang baik pengguna maupun senjatanya telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang, sementara yang illegal adalah yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
Seperti dikutip dari kanalhukum.id, ketentuan tentang kepemilikan senjata api di Indonesia ada di dalam beberapa aturan, misalnya dalam Ordonansi Bahan Peledak (LN. 1893 No. 234) – yang merupakan aturan dari zaman Hindia Belanda, UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, UU Darurat No. 12 Tahun 1951 LN No. 78 Tahun 1951 tentang Peraturan Hukuman Istimewa Sementara, UU No. 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan menurut UU Senjata Api, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, serta berbagai aturan turunan yang dibuat oleh Presiden, Menteri maupun Polri.
Di Indonesia ada 7 macam izin kepemilikan senjata api (senpi) yang umumnya dipakai untuk kepentingan pengamanan dan olahraga. Adapun pengajuan kepemilikan senjata api juga harus dilengkapi dengan berbagai dokumen pendukung, misalnya sertifikat keterampilan menembak minimal kelas III, serta memenuhi syarat medis dan psikologis melalui psikotes yang dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk Dinas Psikologi Mabes Polri. Jika dilihat dari syarat-syaratnya saja bisa dimaklumi betapa panjangnya proses untuk mendapatkan izin resmi memiliki senjata api.
Selain itu, tidak semua orang bisa mengantongi izin kepemilikan senjata tersebut. Kepemilikan senjata api hanya terbatas pada orang-orang yang dianggap perlu memiliki senjata api. Dalam UU nomor 20 tahun 1960, ada 4 golongan yang boleh memiliki izin senjata api, antara lain golongan pejabat swasta atau bank, jajaran TNI dan Polri, anggota Perbakin (Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia), dan masyarakat yang lulus tes kepemilikan senjata api di Polda dan disetujui oleh Mabes Polri.
Adapun sanksi yang diberikan bagi pemilik senjata api ilegal sangat berat, terdapat dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Api illegal, dengan ancaman 20 tahun penjara bahkan bisa juga hukuman mati.
Bisnis Senjata Api
Berlapisnya aturan dan ketentuan tentang kepemilikan senjata seringkali membuat pemilkan senjata lewat jalur ilegal menjadi pilihan orang-orang yang tidak ingin berurusan dengan kepolisian. Faktanya, saat ini peredaran senjata api – khususnya yang illegal menjadi semakin tidak terkontrol. Pihak kepolisian melalu Komisaris Besar Polisi Rikwanto mengatakan 90 % persen senjata yang beredar adalah senjata rakitan bukan dari hasil penyelundupan.
Di daerah Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat misalnya terdapat sentra pembuatan senjata api rakitan. Pada tahun 2014 lalu pihak kepolisian menggerebek tempat tersebut yang diperkirakan mampu memproduksi 1.400 pucuk senjata dalam setahun. Senjata-senjata api ilegal ini banyak dipesan oleh perampok dan penjambret. Dengan harga yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan senjata api selundupan, senjata rakitan tentu saja menarik bagi mereka yang ingin punya senjata api dengan harga yang murah. Tidak sedikit senjata api tersebut bisa dibeli dengan harga hanya 3,5 juta rupiah. Bandingkan dengan senjata impor atau selundupan yang harganya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Bisnis senjata api memang cukup menguntungkan. Untuk senjata legal saja, tiap tahun dikenakan pajak sebesar 1,5 juta rupiah yang masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak – yang seringkali juga diselewengkan. Terkait pengurusan ijin kepemilikan senjata api pun banyak kali tidak didapatkan sesuai prosedur. Ibaratnya sama seperti SIM, ada yang mengurus SIM tanpa ujian. Begitu juga halnya dengan senjata ilegal yang produksinya menguntungkan bagi para pembuat senjata tersebut.
https://twitter.com/ArisKarisma/status/789853248177917953
Padahal, semakin bebasnya senjata api beredar, semakin tinggi pula potensi angka kriminalitas. Di Indonesia memang belum ada studi yang mendalam tentang hal tersebut. Namun, jika melihat kasus yang terjadi di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang membebaskan warganya memiliki senjata api, angka kasus kejahatan dengan senjata api sangat tinggi. 9 dari 10 orang Amerika Serikat memiliki senjata api di rumahnya. Antara tahun 2015-2017, ada 33.599 kasus kematian di Amerika Serikat karena senjata api. Bandingkan dengan negara yang mengontrol ketat peredaran senjata seperti Jepang yang hanya ada 6 kasus kejahatan serupa dalam periode yang sama.
Dalam sebuah penulusuran yang dipublikasiskan oleh beritasatu.com, hampir di setiap kota besar, ada mafia yang memperdagangkan senjata api secara illegal. Bahkan bisnis tersebut memiliki pasar tersendiri dan tidak jarang juga memainkan wilayah ‘abu-abu’ ketika bersinggungan dengan hukum. Banyak orang memiliki senjata api secara ilegal dengan alasan untuk melindungi diri, namun tidak sedikit yang menggunakannya untuk kejahatan atau menakut-nakuti orang lain.
Adanya kepentingan bisnis dalam masalah peredaran senjata api tentu saja membuat masalah ini semakin kompleks. Bahkan selentingan yang beredar menyebutkan bahwa bisnis tersebut juga melibatkan banyak kalangan yang dekat dengan kekuasaan.
Selain itu, semakin banyaknya kasus-kasus kejahatan dengan senjata api menimbulkan ketakutan dalam masyarakat. Pihak kepolisian tentu saja harus mengambil tindakan yang lebih tegas, mengingat kepemilikan senjata api memiliki aturan yang sangat jelas dan tegas. Davidson dan Italia telah menjadi korban peredaran senjata api ilegal. Aksi-aksi tersebut membuat masyarakat semakin was-was, tidak sedikit yang bahkan ingin memiliki senjata api juga agar bisa menghadapi orang-orang yang berniat jahat.
Pada akhirnya semuanya kembali pada hakikat senjata api itu sendiri sebagai alat yang bisa mengamankan, bisa pula mengontrol orang, namun tidak sedikit digunakan untuk mencabut nyawa orang. Selama rantai ekonomi terkait senjata tidak diputus, akan ada banyak lagi orang-orang yang menjadi korban. Wacana operasi ‘sapu jagat’ atau razia besar-besaran untuk membersihkan masyarakat dari senjata api mungkin bisa menjadi solusi peredaran senjata api. Namun, tanpa niatan untuk benar-benar menghapus keberadaan senjata api ilegal dari Indonesia, negara ini masih akan menjadi sarang bandit-bandit dengan senjata di tangan. (S13)