Selain mengundang simpati, peristiwa penusukan yang menimpa Menko Polhukam Wiranto juga memunculkan berbagai teori konspirasi di media sosial. Beberapa pihak beranggapan bahwa apa yang menimpa Wiranto sebagai pengalihan isu, rekayasa, hingga mengaitkannya dengan dana radikalisme. Sebenarnya, bukan kali ini saja teori konspirasi hadir terkait kasus terorisme. Lalu, mengapa teori-teori konspirasi sering muncul ketika ada kasus terorisme di Indonesia?
PinterPolitik.com
Tiga prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dicopot dari jabatannya karena istri ketiganya mengunggah konten-konten di media sosial yang meragukan serta menuduh bahwa peristiwa penusukan terhadap Wiranto adalah pengalihan isu dan rekayasa.
Kemudian ada beberapa akun Twitter dan Facebook yang dilaporkan kepada polisi karena komentarnya dinilai menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong seputar penusukan Wiranto.
Menanggapi beredarnya teori-teori konspirasi ini, pemerintah secara tegas mengatakan bahwa apa yang menimpa Wiranto di Pandeglang, Banten bukan rekayasa.
Yang jelas, bukan kali ini saja teori konspirasi muncul.
Pada peristiwa Bom Surabaya tahun lalu, setidaknya tiga orang dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena menggunggah opini konspiratif.
Pun jika ingin ditarik lebih jauh lagi, konspirasi sudah muncul setidaknya sejak Bom Bali I di mana muncul opini bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) hingga TNI-lah yang melakukan pengeboman.
Di satu sisi teori-teori konspirasi terkait terorisme memang harus dibuktikan dan dalam beberapa kasus sudah terbukti hanya opini kelompok atau individu tertentu yang tidak terbukti kebenarannya.
Namun, di sisi lain bisa jadi pemerintah – khususnya kepolisian – justru memainkan peran dalam munculnya teori-teori konspirasi terhadap aksi teror. Benarkah demikian?
Masyarakat dan Konspirasi
Menurut Ali Mashru dan Esti Zaduqisti – yang mengkaji tentang kepercayaan masyarakat muslim Indonesia terhadap teori-teori konspirasi terkait serangan teroris – ada dua hal yang mempengaruhi percaya-tidaknya masyarakat terhadap teori konspirasi.
Pertama, adanya ancaman antar kelompok (inter-group threat) di mana seseorang cenderung akan lebih mempercayai teori konspirasi ketika ia menganggap kelompoknya menghadapi ancaman.
Dalam hal ini teori konspirasi dipilih sebagai penjelasan terhadap berbagai kejadian yang menimpa diri atau kelompoknya, khususnya dalam konteks ekonomi dan politik.
Kedua adalah seberapa penting seeorang melihat identitas sosialnya sebagian seorang muslim (social identity salience).
Mereka yang menganggap identitas muslimnya lebih penting akan lebih penasaran dan sensitif ketika ada aksi terorisme yang melibatkan kelompoknya.
Oleh karenanya, kelompok ini akan berusaha untuk mempertahankan citra kelompoknya salah satunya dengan menggunakan teori-teori konspirasi.
Mashru dan Zaduqisti melihat bahwa salah satu teori konspirasi yang sering dipercayai di Indonesia adalah bahwa kelompok teroris yang ada di Indonesia merupakan bentukan negara Barat.
Sementara Shofwan Al Banna Choiruzzad, dosen asal Universitas Indonesia, melihat bahwa dalam penanganan terorisme di level global maupun di Indonesia, terjadi apa yang dinamakan sebagai binary opposition of rationality.
Oposisi biner ini terjadi ketika adanya usaha pemerintah untuk memonopoli dan memanipulasi kebenaran seputar aksi terorisme.
Hal ini menyebabkan ketika terjadi aksi terorisme di Indonesia, kritik atau opini yang berbeda dari pernyataan resmi pemerintah sering dilihat sebagai teori konspirasi baik oleh media maupun pemerintah.
Tidak hanya itu, bahkan individu yang membuat opini tersebut dilabeli sebagai pendukung teroris.
Padahal, menurut Shofwan opini-opini yang berbeda dari pernyataan resmi pemerintah seharusnya didengarkan terlebih dahulu untuk kemudian diteliti secara kritis.
Terlebih lagi, lanjut Shofwan, dalam beberapa kasus apa yang dikatakan oleh pemerintah berbeda dengan kejadian sebenarnya di lapangan.
Ia kemudian mencontohkan beberapa kasus di mana polisi memanipulasi atau bahkan memaksa beberapa terduga teroris untuk membuat pengakuan palsu mengenai peran dan fungsinya dalam kelompok teroris.
Kasus ini misalnya terjadi dalam keterangan palsu tersangka teroris Khairul Ghazali dan Abu Dujana di televisi, serta Luthfi Haedharoh yang pengakuan dan pengacaranya sudah diatur oleh polisi.
Selain itu Shofwan juga melihat adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan, termasuk pembunuhan ekstra yudisial yang dilakukan kepolisian ketika menangkap dan menginterogasi terduga teroris.
Penanganan Terorisme yang Bermasalah
Ya, sayangnya penanganan terorisme di Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan.
Tahun lalu Komnas HAM pernah mempertanyakan akuntabilitas penanganan terorisme Polri yang hanya mempublikasikan berapa jumlah terduga teroris yang ditangkap.
Padahal menurut Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, Polri seharusnya juga mempublikasikan di mana terduga tersebut ditahan guna mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
Hal senada juga diutarakan oleh KonstraS yang melihat adanya potensi pelanggaran HAM dalam penangkapan 350 terduga teroris pada tahun 2018 yang hampir semuanya tidak dipublikasikan oleh kepolisian.
Selain itu, KontraS juga melihat adanya pelanggaran prosedural penangkapan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Kemudian usaha pemerintah untuk menghalau terorisme juga tercoreng dengan adanya dugaan penyiksaan terhadap terduga teroris selama masa penahanan.
Hal ini salah satunya terjadi dalam kasus salah tangkap terhadap 14 warga Poso yang diwarnai interogasi berlebihan dan penyiksaan, meskipun pada akhirnya mereka dibebaskan oleh kepolisian.
Kasus lainnya terjadi pada 2016 lalu ketika terduga teroris asal Solo bernama Siyono meninggal usai diperiksa oleh Densus 88.
Meninggalnya Siyono ini diduga banyak pihak seperti anggota DPR, Komnas HAM, hingga ormas seperti Muhammadiyah, berkaitan dengan pelanggaran HAM dan dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Densus 88.
Tidak berhenti di situ, permasalahan dalam penanganan terorisme di Indonesia juga menyentuh hal yang cukup mendasar, yaitu definisi.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), definisi terorisme dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme membuat penegakan hukum pidana terorisme menjadi sulit dan rentan dimasuki kepentingan lain di luar kepentingan penegakan hukum.
Kemudian permasalahan juga ada dalam kata “radikalisme” yang sering digunakan pemerintah untuk “melabeli” kelompok tertentu yang hingga saat ini belum didefinisikan.
Kekosongan definisi ini juga yang menjadi penyebab beberapa pihak, terutama kalangan akademisi, memprotes ketika pemerintah mengklaim beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar oleh radikalisme.
Terakhir, dijeratnya beberapa pihak akibat unggahan konspiratifnya di media sosial juga tidak lepas dari kritik karena mereka dijerat oleh UU ITE, salah satu produk hukum paling kontroversial karena sifatnya yang “karet”.
Menurut YLBHI, apa yang menimpa istri anggota TNI yaing cuitannya tentang Wiranto dilaporkan ke polisi berbenturan dengan prinsip kebebasan pendapat.
Pada akhirnya, teori-teori konspirasi terkait penusukan Wiranto memang tidak atau belum bisa dibuktikan kebenaranya. Namun kemunculannya bisa dimengerti.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari permasalahan transparansi dan akuntabilitas penanganan terorisme pemerintah yang membuat masyarakat, dalam beberapa kasus, harus menerka-mereka apa yang sebenarnya terjadi. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.