Pemerintah akhirnya menunjuk Dokter Reisa Broto Asmoro sebagai salah satu anggota Tim Komunikasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan tampil mendampingi Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto beberapa waktu lalu. Sontak, kemunculannya membuat ramai media sosial. Mengapa pemerintah menunjuk Reisa sebagai salah satu juru bicara baru?
PinterPolitik.com
“We’ll run to the future, shining like diamonds, in a rocky world” – Frank Ocean, penyanyi R&B asal Amerika Serikat (AS)
Pandemi yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) sepertinya tak akan kunjung usai. Tak hanya Indonesia, beberapa negara lain juga harus kewalahan dalam menangani pandemi global satu ini.
Amerika Serikat (AS) misalnya menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus positif terbanyak di dunia. Di tengah pandemi ini, AS bahkan harus menghadapi gejolak sosio-politik akibat dugaan diskriminasi dan rasisme yang terjadi pada George Floyd.
Meski ancaman virus tetap ada, gejolak tersebut menunjukkan bahwa semangat masyarakat AS untuk menggugat rasisme dan diskriminasi tetap membara. Bahkan, gelombang protes serupa turut menyebar dan terjadi di negara-negara lain, seperti Inggris.
Mungkin, semangat inilah yang kini ingin dibawa oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang hendak menerapkan kebijakan normal baru (new normal) dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mantan Wali Kota Solo tersebut menyebutkan bahwa masyarakat harus hidup “berdamai” bersama Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan.
Dokter Reisa Broto Asmoro secara resmi adalah TIM KOMUNIKASI PUBLIK GUGUS TUGAS Covid-19, sedangkan Dokter Yurianto adalah Jubir Covid-19. Keduanya memberikan informasi & edukasi ke publik. Tetap disiplin memakai masker, menjaga jarak fisik, mencuci tangan & tidak berkerumun ~ FR pic.twitter.com/foADbLr5xc
— Fadjroel Rachman (@fadjroeL) June 9, 2020
Boleh jadi, pandemi yang bermula beberapa bulan lalu ini memang menjadi kewajaran yang baru bagi masyarakat Indonesia. Juru Bicara (Jubir) Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto (Yuri) misalnya mengisi layar televisi setiap harinya guna melaporkan perkembangan penanganan pandemi.
Kebiasaan inilah yang mungkin harus dilalui oleh masyarakat Indonesia. Tak jarang masyarakat semakin merasa resah dengan penambahan kasus yang cenderung fluktuatif.
Namun, guna menyongsong normal baru, pemerintah tampaknya menghadirkan sosok baru guna mendampingi Yuri kala melaporkan perkembangan kasus pada publik dan media. Orang baru tersebut adalah Dokter Reisa Broto Asmoro.
Sontak, banyak warganet membicarakan kehadiran Reisa bersama Yuri. Sebagian besar warganet justru menyambut bahagia kehadiran Reisa dalam konferensi-konferensi pers tersebut. Sebagian juga mempertanyakan mengapa beliau baru muncul sekarang.
Kabarnya, Reisa akan membantu Gugus Tugas Covid-19 untuk mengedukasi masyarakat dalam menerapkan adaptasi dan protokol kesehatan guna menyongsong kebijakan normal baru. Hal ini turut dikonfirmasi oleh Jubir Kepresidenan Fadjroel Rachman melalui cuitannya di Twitter.
Meski begitu, kehadiran Reisa ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa pemerintah akhirnya menunjuk Reisa guna hadir memberikan edukasi pada publik dan media? Bukankah selama ini Yuri telah memberikan imbauan setiap harinya kepada masyarakat?
Modal Dokter Reisa
Pemilihan Dokter Reisa sebagai salah satu jubir dalam Tim Komunikasi Gugus Tugas Covid-19 oleh pemerintah bisa jadi bukan tanpa alasan. Bagaimana pun juga, guna memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat, Reisa memerlukan keahlian yang mumpuni.
Sebagai seorang dokter, Reisa tentunya memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang kesehatan. Pengetahuan dan gelar pendidikannya inilah yang dapat menjadi modal bagi dirinya guna memberikan peran sebagai salah satu jubir Covid-19.
Kepemilikan modal semacam ini setidaknya dapat dijelaskan melalui pemikiran Pierre Bourdieu yang mengenalkan konsep modal sosial (social capital) dan modal kultural (cultural capital). Lebih lanjut lagi, konsep-konsep ini berusaha dijelaskan secara lebih luas oleh Kimberly L. Casey dari University of St. Missouri, St. Louis, dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital.
Guna menjelaskan modal politik (political capital), Casey membaginya menjadi tujuh spesies modal utama yang dapat dimiliki oleh seseorang, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM) (human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolis, dan modal moral.
Secara umum, dokter bisa jadi memiliki modal yang tergolong dalam modal SDM. Mengacu pada penjelasan Casey, modal ini merupakan kombinasi atas kecakapan, keahlian, pengalaman, dan pendidikan.
Dalam hal pendidikan, Reisa lulus dari Studi Kedokteran Universitas Pelita Harapan (UPH). Setidaknya, melalui pendidikan ini, Reisa akan dibekali kecakapan dan keahlian di bidang kesehatan.
Selain itu, dalam hal pengalaman, Reisa memiliki rekam jejak ketika tergabung dalam tim identifikasi korban bencana (disaster victim identification) yang memproses investigasi atas korban aksi terorisme di Jakarta dan jatuhnya pesawat Sukhoi.
Tak hanya di bidang kesehatan, Reisa juga berpengalaman di dunia media dan komunikasi dengan menjadi pembawa acara (host) atas sebuah acara kesehatan di salah satu saluran televisi Indonesia. Jubir baru ini juga pernah menjadi Puteri Indonesia Lingkungan 2010.
Di luar pengalamannya yang banyak, Reisa juga bisa saja memiliki modal sosial dengan statusnya sebagai pasangan dari seorang pangeran Keraton Solo yang bernama Kanjeng Tedjodiningrat Broto Asmoro. Modal sosial sendiri – menurut Casey – merupakan modal yang mengakar pada relasi sosial dan ikatan personal.
Namun, tampaknya, tak hanya modal-modal ini saja yang membuat publik sontak ramai membicarakan kehadiran Reisa. Boleh jadi, kemunculan Reisa sebagai jubir Covid-19 merupakan bagian dari strategi pemerintah. Kira-kira, apa alasan pemerintah?
Halo Effect?
Meski memiliki modal-modal tersebut, banyak warganet justru mengomentari kecantikan yang dimiliki oleh Dokter Reisa. Tak sedikit justru memandang Reisa sebagai “penyegaran” dalam Tim Komunikasi Gugus Tugas Covid-19.
Bagaimana persepsi positif kepada Reisa ini datang dari masyarakat? Kecenderungan semacam ini biasa disebut sebagai halo effect. Gerald William Lucker dari University of Texas, El Paso, dan rekan-rekan penulisnya menjelaskan bahwa halo effect ini berhubungan dengan ketertarikan fisik (physical attractiveness).
Dalam tulisan mereka yang berjudul The Strength of the Halo Effect in Physical Attractiveness Research, Lucker dan rekan-rekannya menjelaskan bahwa persepsi atas atribut sifat (personality) seseorang kerap berbanding lurus dengan ketertarikan fisik orang tersebut.
Bila berbicara soal ketertarikan fisik, konsepsi masyarakat soal kecantikan dan estetika bukan tidak mungkin turut memengaruhi. Boleh jadi, dengan penilaian bahwa Reisa cantik, persepsi positif dari masyarakat menjadi timbul.
Secara filosofi, Crispin Sartwell dalam tulisannya yang berjudul Beauty dengan mengutip beberapa filsuf – seperti Aritoteles – menjelaskan bahwa kecantikan dan estetika kerap dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap positif, seperti keadilan, kebenaran, dan kebaikan. Selain itu, kecantikan juga dikaitkan dengan harmoni, proporsionalitas, keseimbangan, dan integritas.
Persepsi akan nilai-nilai positif pada kecantikan seperti ini juga sejalan dengan tendensi masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia dinilai kerap mengaitkan kecantikan dengan keberhasilan seseorang.
Dari sini, bukan tidak mungkin pemerintah berusaha menggunakan strategi komunikasi yang boleh jadi menarik persepsi positif dari publik. Lagi pula, pemerintah sendiri kini semakin tidak dipercaya publik, khususnya dalam hal penanganan pandemi Covid-19.
Setidaknya, kegunaan halo effect kala terjadi krisis reputasi ini turut dijelaskan oleh W. Timothy Coombs dan Sherry J. Holladay dari Eastern Illinois University, Amerika Serikat (AS) dalam tulisan mereka yang berjudul Unpacking the Halo Effect. Dalam tulisan itu, disebutkan bahwa halo dapat berperan sebagai tameng guna menghindari kerugian reputasi di kala krisis.
Hal yang mirip juga diterapkan oleh pemerintah Thailand. Seperti Reisa di Indonesia, penunjukkan Panprapa Yongtrakul juga memunculkan pembicaraan publik di negaranya.
Meski begitu, bukan tidak mungkin, kemunculan Dokter Reisa ini tak memberi banyak perubahan narasi dan pesan pemerintah soal tips-tips menjaga kesehatan yang biasa disampaikan oleh Yuri. Beberapa waktu lalu misalnya, jubir baru tersebut menjelaskan bahwa menghindari menyentuh area wajah perlu diterapkan – sesuatu yang lumrah telah diketahui masyarakat.
Lagi pula, masyarakat juga memerlukan informasi dan arahan yang jelas dan menenangkan terkait kebijakan normal baru yang kini menuai banyak kritik – apalagi peningkatan jumlah kasus positif terus bertambah. Bukan begitu? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.