Jokowi kembali merombak susunan organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dari beberapa poin perombakan, hal yang paling banyak mendapat sorotan adalah dimunculkannya kembali jabatan Wakil Panglima (Wapang) TNI yang sebelumnya sudah dihapus pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2000. Lalu apa sebenarnya alasan Jokowi membangkitkan kembali sosok Wapang yang sudah “mati” selama 19 tahun?
PinterPolitik.com
Perombakan disahkan Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI yang disahkan pada 18 Oktober 2019. Sedikit catatan bahwa Perpres ini mengubah kembali susunan organisasi TNI yang pada Juli 2019 lalu sudah diubah melalui Perpres Nomor 42 Tahun 2019.
Atau dengan kata lain, hanya dalam waktu tiga bulan terjadi dua kali perombakan organisasi TNI yang cukup signifikan. Ada apa?
Dihapus Gus Dur
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa jabatan Wapang sebenarnya bukan hal yang baru.
Jabatan ini sudah ada sejak tahun 1948, di mana pada saat itu ada A.H Nasution yang menjadi wakil dari Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Memasuki masa reformasi, jabatan Wapang kemudian dihapus oleh Gus Dur pada tahun 2000 dengan alasan untuk merampingkan struktur organisasi TNI.
Namun, ada juga pandangan bahwa dihapusnya jabatan Wapang tidak lepas dari ketegangan politik antara Gus Dur dengan TNI.
Pada akhirnya jabatan Wapang terakhir kali dijabat oleh Fachrul Razi yang saat ini menjabat sebagai Menteri Agama (Menang) di Kabinet Indonesia Maju.
Wacana untuk menghidupkan kembali jabatan Wapang kemudian muncul pada tahun 2015 oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI.
Menurut Moeldoko, jabatan Wapang perlu dimuncukan kembali karena diperlukannya sosok yang dapat mengambil alih tugas dan fungsi Panglima TNI ketika sang Panglima berhalangan, khususnya dalam fungsi komando alias wewenang untuk menggerakkan pasukan.
Adanya fungsi komando ini juga yang nantinya akan membedakan Wapang dengan Kepala Staf Umum (Kasum) sekaligus membuat Wapang memiliki pangkat bintang empat alias sama dengan Panglima.
Wacana ini pun menimbulkan kritik yang salah satunya datang dari Muradi, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran.
Menurut Muradi, jika tugas wapang tidak diatur secara tegas, pemunculan kembali jabatan Wapang akan menimbulkan “matahari kembar” di tubuh TNI.
Potensi ini dapat muncul karena Wapang TNI yang diajukan Moeldoko memiliki pangkat yang sama dengan Panglima TNI serta memiliki wewenang untuk mengambil alih fungsi komando.
Hal senada juga diutarakan pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Darma Putra, yang mengatakan bahwa jika Panglima dan wakilnya memiliki tugas dan fungsi yang sama, Wapang akan memperumit rantai komando di TNI.
Rizal juga berpendapat bahwa kesamaan tugas ini akan membuat Wapang “nganggur” karena semua tugas bisa dikerjakan oleh Panglima.
Ia juga menambahkan bahwa memunculkan kembali jabatan Wapang akan membuat struktur TNI semakin gemuk.
Kepentingan Pertahanan dan Politik Jokowi?
Menurut Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman, nantinya pemerintah akan memberikan tugas khusus atau tugas prioritas bagi Wapang.
Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa biasanya posisi wakil dalam pemerintahan merupakan kebutuhan langsung dari institusi.
Kuat dugaan bahwa tugas yang dimaksud pemerintah adalah untuk meningkatkan interoperabilitas – sebutan untuk kemampuan bekerja secara bersama-sama – di antara tiga angkatan TNI.
Hal ini terlihat jelas dalam Perpres, di mana dituliskan secara spesifik bahwa Wapang “merupakan koordinator pembinaan kekuatan TNI guna mewujudkan interoperabilitas”.
Interoperabilitas sendiri memang menjadi isu yang cukup penting bagi TNI karena belum optimalnya kemampuan tiga angkatan TNI untuk beroperasi bersama dalam suatu operasi gabungan.
Kebutuhan untuk meningkatkan interoperabilitas ini juga menjadi salah satu fokus utama Panglima TNI Hadi Tjahjanto sejak ia dilantik pada akhir 2017, salah satunya dengan meresmikan berdirinya Komando Operasi Khusus (Koopssus).
Pemberian tugas spesifik berupa peningkatan interoperabilitas ini nampaknya juga menjadi cara pemerintah untuk menghindari tumpang-tindih tugas Wapang dengan Panglima sekaligus menjadi jawaban terhadap pandangan bahwa nantinya Wapang akan menganggur.
Namun, potensi munculnya matahari kembar tetap ada, mengingat dalam Perpres ini diatur juga bahwa Wapang memiliki pangkat bintang empat serta salah satu tugasnya adalah “melaksanakan tugas Panglima apabila Panglima berhalangan sementara ataupun tetap”.
Adanya wewenang untuk mengambil alih tugas ini menandakan bahwa Wapang juga dapat memiliki fungsi komando.
Selain adanya kebutuhan pertahanan, tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan Jokowi untuk menghidupkan kembali jabatan Wapang berkaitan dengan janjinya terhadap TNI.
Pada HUT TNI 2019, Jokowi berjanji akan menambah lebih dari 750 jabatan baru bagi perwira-perwira TNI.
Jika melihat jabatan bintang empat lainnya di tubuh TNI, jenderal-jenderal tersebut memiliki berbagai staf pendukung seperti asisten dan staf ahli.
Oleh sebab itu, kemunculan kembali jabatan Wapang secara otomatis akan menambah pos-pos jabatan baru yang bisa ditempati oleh perwira TNI.
Selain untuk membantu TNI mengatai permasalahan surplus prajuritnya, janji tersebut juga bisa dimaknai sebagai usaha Jokowi untuk “menyenangkan” dan menjaga loyalitas TNI sebagai salah satu sumber kekuatan politiknya.
Wakil Panglima dari Angkatan Laut?
Di samping tugas dan fungsi Wapang, hal lainnya yang menarik untuk dibahas adalah siapa, atau lebih tepatnya angkatan apa yang akan menduduki kursi Wapang.
Moeldoko mengatakan bahwa Wapang nantinya bisa ditunjuk secara langsung oleh Jokowi ataupun Hadi.
Satu hal yang pasti, seperti jabatan Panglima, tidak ada aturan mengenai angkatan mana yang menduduki jabatan Wapang. Pemilihan sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden sebagai panglima tertinggi TNI.
Perwira-perwira tinggi TNI dari tiga angkatan atau matra, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) sama-sama memliki peluang untuk menjadi Wapang.
Moeldoko juga mengatakan bahwa Wapang akan ditunjuk memberikan bocoran bahwa tiga kepala staf yang saat ini menjabat, yaitu KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna memiliki peluang untuk menjadi Wapang.
Namun, pemilihan Wapang ini tidak akan lepas dari politik pemilihan Panglima.
Perlu diketahui bahwa sejak reformasi ada anggapan bahwa jabatan Panglima seharusnya digilir atau dirotasi secara berimbang antara darat-laut-udara.
Rotasi ini diperlukan karena masih adanya rivalitas antar angkatan di tubuh TNI dan potensi timbulnya kecemburuan jika pucuk pimpinan TNI lebih sering diberikan ke satu angkatan tertentu.
Panglima TNI meresmikan satuan baru bernama Komando Operasi Khusus (Koopssus). Satuan ini akan menjadi wadah pasukan-pasukan khusus TNI untuk kemudian melakukan operasi bersama baik di dalam maupun di luar negeri. Benarkah hanya untuk tujuan itu?https://t.co/I0uRm7ui6C pic.twitter.com/AUDVpxuoos
Ambil contoh ketika beberapa pihak berpendapat bahwa Jokowi melanggar tradisi rotasi ketika pada 2015 ia memilih Gatot Nurmantyo yang berasal dari AD sebagai Panglima TNI untuk menggantikan Moeldoko yang juga berasal dari AD.
Jika mengikuti rotasi, seharusnya Panglima TNI setelah Moeldoko berasal dari AU karena sebelum Moeldoko, Panglima TNI berasal dari AL.
Kemudian dengan Panglima saat ini yang berasal dari AU, jika kembali melihat rotasi, seharusnya pengganti Hadi Tjahjanto akan berasal dari AL.
Namun, ada kemungkinan bahwa rotasi kembali dilanggar dan kursi Panglima kembali diberikan ke AD.
Potensi ini berkaitan dengan adanya sosok KSAD saat ini, yaitu Andika Perkasa yang diprediksi akan menjadi Panglima selanjutnya.
Bukan tanpa alasan, prediksi ini muncul karena Andika memiiliki kedekatan dengan Jokowi sebagai mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) serta statusnya sebagai menantu dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono.
Dengan demikian, jika Andika memang disiapkan untuk mengganti Hadi, ada kemungkinan bahwa kursi Wapang akan diberikan kepada AL sebagai bentuk kompensasi “hilangnya” kursi Panglima.
Sejauh ini, sebagai pihak utama yang mengawasi kebijakan pemerintah di sektor pertahanan, ada dua pandangan di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai pemunculan kembali jabatan Wapang.
Ketua Komisi I Meutya Hafid mengatakan bahwa pemunculan kembali jabatan Wapang sesuai dengan kebutuhan lingkungan strategis dan organisasi TNI.
Ia juga mengatakan bahwa nantinya Wapang tidak perlu melewati uji kelayakan DPR.
Namun, pandangan berbeda datang dari anggota Komisi I, yaitu Sukamta.
Menurut politikus dari Fraksi PKS tersebut pemunculan kembali jabatan Wapang tidak sesuai dengan pernyataan Jokowi yang sebelumnya ingin merampingkan birokrasi pemerintah.
Ia juga menambahkan bahwa jabatan Wapang tidak sesuai secara hukum karena jabatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang TNI. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.