Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Kemarahan SBY

SBY saat memberikan keterangan pers terkait kasus KTP eletronik. (Foto: Kini.co.id)

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membantah tuduhan mengenai dirinya mengetahui permasalahan kasus KTP elektronik. Pernyataan SBY ini sekaligus menguatkan dugaan adanya pihak-pihak yang masih mempolitisasi persidangan Setya Novanto.


PinterPolitik.com

“When anger rises, think of the consequences.”

– Confucius (551-479 BC) –

[dropcap]S[/dropcap]etelah lama tidak muncul di pemberitaan, Ketua Umum Partai Demokrat ini menampakkan diri lagi di hadapan awak media. Kali ini, dengan suasana hati yang agak berbeda dari biasanya.

Dalam ketenangan penyampaian kata-katanya saat itu, tidak ada yang bisa membantah bahwa SBY sedang marah besar. Bagaimana tidak, persidangan kasus mega korupsi KTP elektronik dengan tersangka mantan Ketua DPR RI sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto beberapa waktu lalu menyeret-nyeret namanya serta sang putra Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). SBY disebut mengetahui bahwa proyek KTP elektronik bermasalah.

Atas keterangan tersebut, SBY secara tegas membantah. Ia menyebut bahwa apa yang dituduhkan kepadanya adalah fitnah yang kejam dan tuduhan politik yang tidak bermoral. Menurutnya hal tersebut adalah serangan yang jauh dari akhlak politik.

Dalam kesempatan itu, SBY juga menyampaikan adanya pihak-pihak tertentu yang ingin merusak citra dan nama baiknya. Ia mencurigai adanya kelompok-kelompok yang memanfaatkan momen tersebut untuk meraih kepentingan tertentu, mengingat tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik yang akan penuh dengan persinggungan.

SBY juga menganggap tuduhan terhadap dirinya linear, misalnya dengan kasus cuap-cuap Antasari Azhar sebelum Pilkada Jakarta pada 2017 lalu – yang menjadi penyebab tidak langsung kekalahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam kontestasi politik tersebut.

Pasca pernyataan pers yang dikeluarkan  SBY, beredar kabar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mendalami kemungkinan untuk memanggil politisi PDIP sekaligus Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Nama Puan memang sempat disebut-sebut terlibat dalam kasus KTP elektronik.

Apalagi, PDIP dengan Puan yang saat kebijakan KTP elektronik bergulir menjabat sebagai ketua fraksi di DPR, disebut-sebut dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, dua tersangka mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, sebagai salah satu partai yang terlibat dalam kasus ini.

Publik tentu bertanya-tanya, akankah KPK berani memanggil Puan untuk keterlibatannya dalam kasus tersebut? Lalu, apakah munculnya nama Puan dalam pemberitaan menunjukkan kekuasaan politik SBY belum berakhir?

This is My War!

Sangat jarang menyaksikan SBY dalam kapasitas politiknya, secara keras menyampaikan bantahan atas tuduhan tertentu. Didampingi istri dan dua anaknya, SBY terlihat sangat serius menanggapi tuduhan yang dianggap merusak citra politiknya tersebut.

Secara politik, tuduhan terhadap SBY ini memang punya dampak politik yang besar. Dalam konteks politik nasional, SBY adalah satu dari 3 elit politik paling berkuasa – mengacu pada aspek kekuasaan politik lewat partai – selain Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.

Tentu saja masih ada oligarki politik lain termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam konteks elit nasional. Namun, SBY, Mega dan Prabowo adalah 3 aktor utama yang menentukan kiblat politik nasional, setidaknya dalam 5 tahun terakhir.

Tentu saja, membawa nama SBY ke dalam kasus korupsi punya dimensi politik yang sangat besar secara elektoral, terutama memasuki tahun politik di 2018 dan 2019. Bagi lawan-lawan politiknya, keterangan dalam persidangan kasus KTP elektronik tentu saja menguntungkan secara politik untuk menjatuhkan citra politik SBY – imbasnya tentu saja kepada Partai Demokrat secara keseluruhan.

Apalagi, pasca 2 periode berkuasa, SBY masih punya pengaruh politik yang sangat besar – hal yang tentu saja tidak disukai oleh lawan-lawan politiknya.

Ketika Antasari Azhar mengeluarkan cuap-cuap sehari sebelum Pilkada Jakarta 2017 lalu terkait tuduhannya bahwa SBY mengetahui masalah yang menimpa dirinya, semua pihak melihatnya sebagai ‘serangan politik’ yang luar biasa besar. Orang awam sekalipun pasti bisa menebak-nebak maksud Antasari tersebut.

Apakah efektif? Yang jelas, dampaknya sangat terasa dengan kekalahan AHY pada kontestasi politik tersebut – terlepas dari performa politik AHY secara pribadi. Yang diuntungkan saat itu sangat jelas adalah lawan-lawan politik SBY. Apalagi, kasus Antasari pun hingga kini tidak juga diusut oleh polisi, sama halnya dengan laporan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh SBY terhadap Antasari – hal yang semakin menguatkan dugaan politisasi isu.

Jika demikian, siapa yang ada di balik kasus-kasus tuduhan terhadap SBY ini?

Publik tentu menyaksikan ketika pasca bebas dari penjara, Antasari Azhar menemui Presiden Jokowi di Istana Negara. Maka, ketika cuap-cuap Antasari sehari sebelum Pilkada terjadi, sempat muncul spekulasi bahwa Jokowi-lah yang ada di balik setiap aksi politik terhadap SBY. Yang jelas, tuduhan itu belum bisa dibuktikan kebenarannya.

Namun, dalam kasus terakhir terkait KTP elektronik, Partai Demokrat membantah spekulasi itu dan menyebut hubungan SBY dengan Jokowi sedang baik-baiknya. Dugaan yang muncul justru mengarah pada oknum-oknum dan partai-partai politik lain yang ingin mengambil keuntungan politis dengan merusak citra politik SBY.

Jika demikian, seberapa penting sebetulnya citra politik itu?

Citra Politik dan Perebutan RI 2?

Wartawan Harian Kompas, Wisnu Nugroho dalam bukunya Pak Beye dan Politiknya memang menyebut ‘citra politik’ adalah hal yang sangat dijunjung tinggi oleh SBY. Kekuatan citra politik itu juga berdampak pada Partai Demokrat. Wisnu juga menyebut bahwa hal yang membuat Demokrat memenangkan dua kali pemilihan umum bukanlah ideologi, tetapi citra politik.

Layaknya peramal, dalam bukunya yang ditulis pada tahun 2010 itu, Wisnu juga menyebut, jika ada ‘upaya penghancuran’ terhadap citra politik itu, maka akan ada ‘serangan balik dengan energi yang luar biasa’ terhadap pihak-pihak yang menyerang. Maka, hal inilah yang bisa dilihat dalam pernyataan bantahan SBY terkait kasus KTP elektronik.

Dalam tulisannya juga, Wisnu menyebut Partai Demokrat adalah ‘partai tengah’ yang secara ideologis berada di irisan nasionalis dan agamis. Disadari atau tidak, faktanya konsepsi irisan ini dianggap sebagai kunci utama kepemimpinan di Indonesia – beberapa pihak menggunakan istilah NASAIN (Nasionalis, Agamis dan Insan Bisnis) untuk merangkumnya.

Namun, konsepsi ini nyatanya membuat Demokrat mengalami ‘kekosongan ideologis’. Hal inilah yang membuatnya berbeda misalnya jika dibandingkan dengan PDIP dan Gerindra yang begitu nasionalis atau dengan PKS dan PPP yang agamis.

Faktanya, kekuatan politik utama Partai Demokrat adalah tentu saja citra politik partai yang diperkuat oleh citra politik SBY. Wisnu menyebut citra politik inilah yang menjadi kekuatan elektoral utama partai berlambang bintang mercy itu.

Anjloknya suara Demokrat pada Pilpres 2014 adalah salah satu bukti bahwa citra politik partai yang tergerus pasca beberapa kasus korupsi yang menimpa kader Demokrat sangat mempengaruhi tingkat keterpilihan partai biru ini.

Terkait konsep tersebut, dosen senior London School of Economics, Margaret Scammell menyebut citra politik (political image) sebagai hal yang sangat melekat pada brand politic seorang politisi atau partai politik dan mempengaruhi kekuatan politik entitas tersebut.

Tokoh politik macam mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan bahkan Jokowi sendiri merupakan mereka-mereka yang sangat bergantung pada kekuatan citra politik.

Hal yang sama juga terjadi pada SBY yang kuat secara citra politik. Dengan demikian, menggoyang citra politik SBY adalah hal yang sangat efektif. Hal ini berbeda dengan partai macam PDIP yang justru mendapatkan kekuatan politik dari ideologi. Maka, untuk menggoyang PDIP, yang diserang adalah ideologinya. Tidak heran jika tuduhan macam komunisme dan lain-lain sering dialamatkan kepada partai merah itu.

Jika demikian, siapa yang ada di balik tuduhan yang memancing kemarahan SBY ini? Kalau bukan Jokowi, maka siapa lagi?

Beberapa selentingan menyebut kasus ini ada hubungannya dengan perebutan kursi RI-2, terutama terkait peluang pendamping Jokowi di 2019. Bukan rahasia lagi jika Jokowi adalah tokoh politik terkuat saat ini dan akan menentukan wajah politik di 2019, tergantung siapa yang ia pilih sebagai calon wakil presiden. Kedekatan Jokowi dengan SBY belakangan ini boleh jadi membuat beberapa pihak kebakaran jenggot.

Siapa yang kebakaran jenggot? Masih terlalu dini untuk disimpulkan – seperti kata SBY juga – akan mendatangkan kegemparan jika dibuka ke masyarakat. Yang jelas, sangat mungkin munculnya nama Puan Maharani dalam pemberitaan terkait KTP elektronik secara tidak langsung mengindikasikan siapa ‘kubu lawan’ dalam kasus ini. Jika demikian, benarlah kata Confucius di awal tulisan: jika kemarahan bangkit, pikirkanlah konsekuensinya! (S13)

Exit mobile version