Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Keliru Data Jokowi

Di Balik Keliru Data Jokowi

Mungkinkah Jokowi sengaja keliru data? (Foto: istimewa)

Penampilan Jokowi pada debat kedua Pilpres beberapa hari lalu memang lebih unggul dibanding Prabowo dalam konteks komunikasi politik. Namun, sang presiden tetap dikritik akibat fakta-fakta yang ia sampaikan dianggap tidak tepat. Dengan momentum debat terbuka yang disaksikan publik, kekeliruan data tersebut bisa berakibat fatal pada citra sang presiden. Walaupun demikian, Jokowi tentu menyadari hal tersebut dan sesungguhnya mengejar hal lain – sebuah efek yang sejak 1975 telah diteliti para ilmuwan.


PinterPolitik.com

“It is a capital mistake to theorize before one has data”.

:: Arthur Conan Doyle, penulis ‘Sherlock Holmes’ ::

[dropcap]J[/dropcap]am dinding putih di pojok ruangan memang sudah menunjukkan pukul 21.15, tetapi suara alat cukur rambut elektrik itu masih terus berbunyi, seiring potongan-potongan rambutku yang jatuh ke lantai.

“Jokowi kemarin serangannya bagus waktu debat ya, mas”, akhirnya suara si tukang cukur keluar juga.

Arif – demikian namanya – sudah 6 tahun membuka tempat cukur di salah satu pojok keramaian daerah Kemang, Jakarta Selatan. Sembari merapikan rambutku, ia terus berceloteh tentang kekagumannya pada penampilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di debat kedua Pilpres beberapa hari lalu.

Menurutnya, Jokowi jauh lebih luar biasa dibandingkan Prabowo di malam itu. Apalagi ketika ia menyinggung soal ratusan ribu hektare lahan yang disebutnya milik Prabowo di beberapa daerah. Pria yang cuma lulusan SMA itu menyebut penampilan Jokowi di debat kedua menutupi kekurangannya di debat pertama.

“Jadi, mas, berilah kesempatan pada yang sudah terbukti untuk memimpin lagi 5 tahun ke depan”, selorohnya saat aku hendak pergi.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Strategi kampanye yang efektif nih lewat tukang cukur. Bayangkan jika ia punya 30 pelanggan dalam satu hari, sudah berapa banyak orang yang diajaknya bicara tentang penampilan Jokowi.

Yang jelas Arif adalah satu dari jutaan penduduk Indonesia yang mungkin sedang terpukau dengan penampilan Jokowi pada debat kedua Pilpres. Mantan Wali Kota Solo itu memang dianggap lebih baik dibanding lawannya, Prabowo Subianto.

Jokowi terlihat menguasai topik bahasan dengan sangat baik. Ia juga membicarakan dan menjawab pertanyaan panelis dengan menggunakan data berupa angka-angka yang spesifik dan meyakinkan.

Bagi masyarakat awam seperti Arif yang hanya menilai dari sisi komunikasi politik dan performa tampilan debatnya, Jokowi memang terlihat jauh lebih unggul. Hal itu juga ditambah dengan penampilan Prabowo yang terlihat kurang maksimal dan cenderung lebih banyak mengiyakan apa yang dikatakan oleh Jokowi.

Debat Pilpres adalah sarana menampilkan diri di hadapan masyarakat. Publik tak akan fokus pada benar atau salah, tetapi seberapa lebih baik-nya penampilan komunikasi politik kandidat dibandingkan lawannya. Share on X

Namun, dalam hal konten, tidak sedikit data-data yang diklaim Jokowi justru bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Soal kebakaran hutan misalnya, Jokowi menyebutkan bahwa dalam 3 tahun terakhir hal tersebut tidak lagi terjadi. Faktanya, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru menyebutkan kebakaran masih terus terjadi, sekalipun skalanya tidak mencapai status bencana.

Lalu, Jokowi juga mengklaim tidak ada konflik agraria yang terjadi dalam hal pembangunan infrastruktur. Hal tersebut kemudian dibantah oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menyebutkan bahwa konflik terkait persoalan agraria akibat program infrastruktur masih terjadi di era Jokowi. Pada akhir 2018, telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dan 16 konflik di antaranya terjadi di sektor infrastruktur.

Konteks klaim data yang “keliru” itu – jika ingin disebut demikan – kini menjadi topik ulasan berbagai acara dialog politik di televisi. Jokowi juga menutup debat kedua tersebut dengan pernyataan yang tegas: “Saya tidak takut!”

Pernyataan itu seolah mengindikasikan bahwa ia tidak takut dalam kebijakan-kebijakannya jika bersinggungan dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, tidak takut mengungkapkan ke hadapan publik terkait 220 ribu hektare lahan di Kalimantan Timur serta 120 ribu hektare di Aceh yang dikuasai oleh Prabowo, dan tidak takut membuat pernyataan-pernyataan yang kemudian digugat aktivis dan pegiat lingkungan.

Pertanyaannya adalah mengapa?

Jokowi: Saya Tidak Takut (Keliru)!

Alasan sederhananya adalah tentu saja seperti yang terjadi pada Arif. Bagi masyarakat yang hanya melihat tampilan komunikasi politik dalam debat, akurasi data dan keberimbangan cara pandang sering kali tidak menjadi hal yang utama. Konteks persoalan ini telah menjadi diskursus yang dibahas dalam satu dekade terakhir di hampir semua kawasan.

Pada 2010 lalu, sebuah diskusi terjadi antara kolumnis Washington Post, Dana Milbank dengan Brendan Nyhan – seorang peneliti dari University Michigan – serta Alicia Shepard dari Ombudsman di saluran National Public Radio (NPR) yang membahas narasi besar, bahwa dalam politik sering kali fakta-fakta tidak mampu mempengaruhi perubahan pilihan dukungan.

Dalam kesempatan itu, Nyhan menyebutkan bahwa ada kecenderungan banyak orang mempercayai apa yang telah mereka percayai. Ketika dihadapkan pada koreksi fakta yang kontradiktif terhadap pilihan mereka, yang terjadi justru dukungan politik mereka semakin kuat. Inilah yang disebut sebagai backfire effect atau bias konfirmasi (confirmation bias)

Persoalannya adalah, saat ini dunia telah memasuki era politik pasca kebenaran (post-truth) di mana kecenderungan persepsi terhadap kebenaran dibangun atas preferensi – suka atau tidak suka. Hal ini diulas oleh The Economist dalam salah satu artikelnya di 2016 lalu, berangkat dari tuduhan Donald Trump bahwa Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) didirikan oleh Barack Obama dan Hilary Clinton.

Kondisi di Amerika Serikat (AS) itu juga terjadi di banyak negara, mulai dari Inggris, Rusia, hingga Brasil. Gelombang backfire effect ini juga menguat seiring makin banyaknya pemimpin populis yang lahir. Publik tidak lagi menilai akurasi fakta yang disampaikan, tetapi seberapa baik kandidat membuat dirinya berbeda dibanding lawannya.

Jika diperhatikan, konteks efek politik inilah yang nyatanya sedang dikejar oleh Jokowi. Sang presiden tampaknya mulai mengesampingkan akurasi data dan fokus pada retorika politik yang mendukung tampilannya di hadapan publik.

Apalagi, debat Pilpres adalah sarana untuk menampilkan diri di hadapan masyarakat. Publik tak akan fokus pada benar atau salahnya, tetapi seberapa lebih baik-nya penampilan komunikasi politik kandidat di layar televisi dibandingkan lawannya.

Jokowi memang menampilkan bold statements atau pernyataan-pernyataan yang berani dan tegas sepanjang debat kedua Pilpres. Konteks kekeliruan data Jokowi memang cukup ramai dibahas di media sosial. Bagi para pemilih rasional, hal tersebut memang akan membuat mereka berpikir dua kali untuk menentukan pilihannya.

Namun, bagi mayoritas pemilih – seperti Arif si tukang cukur – hal berbedalah yang justru mereka tangkap. Bagi mereka, performa debat Jokowi jauh lebih baik dibandingkan Prabowo dan membuat sang petahana lebih layak untuk dipilih lagi.

Bahkan, banyak pendukung Prabowo – sebelum mereka melihat cek fakta, atau ulasan di Twitter dan media sosial lainnya – yang mengakui keunggulan performa debat Jokowi. Pasalnya, penampilan Prabowo juga tidak meyakinkan – tidak sedikit yang berseloroh bahwa sang jenderal tak niat mencalonkan diri.

Kemudian, kata-kata “saya tidak takut” yang diungkapkan Jokowi juga menjadi gambaran narasi politik besar yang kembali diketengahkan oleh sang presiden untuk menegaskan posisinya sebagai bagian dari kelompok besar masyarakat di hadapan elite – tentu saja dengan Prabowo di dalamnya.

Artinya, Jokowi sedang mempertegas retorika us vs them – kita melawan mereka – sebagai perwujudan jalan populisme politiknya. Konteks retorika ini memang menguat seiring makin banyaknya pemimpin populis. Jokowi sendiri adalah seorang pemimpin populis.

Strategi politik Jokowi ini memang terlihat digunakan untuk kembali menggaet pemilih yang memilihnya di 2014. Pasalnya, dinamika politik dalam dua tahun terakhir ini membuat banyak pemilih Jokowi meragu untuk memilihnya lagi. Ancaman golput yang santer diberitakan meningkat di Pilpres kali ini juga disebut-sebut berasal mayoritas dari pendukung Jokowi.

Fakta Tak Penting?

Jurnalis pemenang Pulitzer, Elizabeth Kolbert dalam salah satu tulisannya di The New Yorker menyebutkan bahwa para ilmuwan menemukan ada sebuah kecenderungan otak manusia memiliki keterbatasan ketika berhubungan dengan reason atau alasan – hal yang salah satunya dibuktikan dalam sebuah penelitian di tahun 1975.

Menurutnya, hal tersebut memungkinkan orang-orang mempercayai hal tertentu, sekalipun fakta yang ada tidak sepenuhnya benar. “As a rule, strong feelings about issues do not emerge from deep understanding”, tulis Kolbert. Akibatnya, kapasitas berpikir orang diukur dari seberapa hebat ia berargumen, dibanding seberapa lurus pikirannya. Konteks “pikiran lurus” itu berhubungan dengan fakta.

Apa yang ditulis oleh Kolbert inilah yang terjadi pada Jokowi – sekalipun strategi yang sama sebetulnya (dituduh) digunakan oleh kubu Prabowo di awal-awal masa kampanye. Akurasi fakta memang tidak lagi menjadi tolok ukur pilihan politik, apalagi di era post-truth seperti saat ini.

Sementara, jawaban untuk pertanyaan terkait apakah hal ini baik atau buruk untuk masyarakat, menjadi relatif. Yang jelas, Jokowi sedang memperkuat kembali narasi politik yang ia gunakan di 2014.

Hal ini kini juga serupa dengan apa yang dilakukan oleh beberapa pemimpin beraliran populis sejenis, seperti Rodrigo Duterte di Filipina dan Narendra Modi di India – yang keduanya juga akan menghadapi Pemilu di tahun ini.

Kedua pemimpin itu juga lahir dari retorika politik us vs them, sama-sama mengatakan “tidak takut” pada apa pun, serta juga “bermain-main” di seputaran fakta dan kebenaran. Yang jelas pemimpin bertangan kuat seperti mereka tidak akan disukai oleh elite-elite yang umumnya menjadi aktor perebutan pucuk kekuasaan.

Di samping itu, ada ancaman terhadap demokrasi jika dukungan publik membuat tak ada lagi kontrol terhadap kekuasaan mereka – hal yang akan terjawab di akhir batas waktu yang diijinkan konstitusi.

Pada akhirnya, bagi orang-orang seperti Arif si tukang cukur, akurat atau tidaknya data tidak lagi menjadi hal yang penting sebab tidak semua orang bisa menjadi seperti Sherlock Holmes. So, maafkeun, Sir Arthur Conan Doyle! (S13)

Exit mobile version