Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Kata Maaf Belanda

Di Balik Kata Maaf Belanda

Raja Belanda Willem-Alexander dan Presiden Jokowi menyampaikan keterangan pers. (Foto: Antara)

Kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander dan Ratu Máxima ke Indonesia disertai dengan permohonan maaf atas kekerasan pasca-Proklamasi. Dinamika ekonomi dan politik apa yang bisa mendasari di balik kata maaf tersebut?


PinterPolitik.com

“I’m afraid the whole game would be colonized” – JAY Z, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Mungkin, sudah menjadi hal yang wajar apabila kunjungan kepala negara atau negara pemerintahan dilakukan dalam hubungan antarnegara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya, sempat berkunjung ke Malaysia pada Agustus 2019 lalu.

Dalam kunjungan tersebut, Presiden Jokowi tampak akrab dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia kala itu, yakni Mahathir Mohamad. Selain itu, mereka juga membicarakan berbagai kemungkinan kerja sama ekonomi di antara dua negara.

Tak hanya Mahathir, Presiden Jokowi juga pernah bertemu dan menerima kunjungan Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah Ri’ayatauddin Al Mustafa Billah Shah ke Indonesia. Polemik diskriminasi sawit pun menjadi salah satu pembahasan di antara keduanya.

Namun, bisa dibilang, pertemuan dengan Mahathir dan kunjungan dari Raja Malaysia Sultan Abdullah memiliki nuansa yang berbeda dengan kunjungan tamu ke Indonesia baru-baru ini.

Pasalnya, dalam kunjungan Raja Willem-Alexander Claus George Ferdinand dan istrinya – Ratu Màxima Zorreguieta Cerruti – dari Belanda, Yang Mulia tidak hanya menyampaikan sepatah dua kata mengenai kerja sama dan hubungan Indonesia-Belanda ketika bertemu Jokowi, melainkan juga menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf atas kekerasan berlebih yang pernah dilakukan Belanda pasca-Proklamasi Kemerdekaan.

Permohonan maaf itu tidak hanya disampaikan dengan tangan kosong. Bersamaan dengan kunjungan Keluarga Kerajaan ini, Belanda juga memulangkan sebuah objek bersejarah yang dianggap sebagai Keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro.

Mungkin, permohonan maaf atas masa lalu inilah yang membuat kunjungan Raja dan Ratu Belanda memiliki nuansa yang berbeda dengan kunjungan Sultan Malaysia pada 2019 silam. Bisa dibilang, Indonesia dan Belanda memiliki ikatan masa lalu yang terlampau panjang dalam lini sejarah.

Namun, terlepas dari perbedaan nuansa itu, apakah permohonan maaf tersebut dapat mengakhiri duka Indonesia di masa lampau? Apa motivasi Belanda mengajukan permintaan maaf tersebut?

Politik Reparatif

Permohonan maaf yang dilontarkan oleh Raja Willem-Alexander sebenarnya bukanlah hal pertama yang pernah terjadi. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah Belanda juga pernah mengajukan permohonan maaf dan mengakui secara resmi bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945 – sebelumnya hanya mengakui kemerdekaan pasca-Konferensi Meja Bundar.

Robert Aldrich – profesor sejarah Eropa di University of Sydney – dalam tulisannya yang berjudul Apologies, Restitutions, and Compensation menjelaskan bahwa pemerintah Belanda melalui Duta Besar Tjeerd de Zwaan menyampaikan permohonan maaf atas kekerasan yang pernah dilakukan Belanda pada September 2013 silam.

De Zwaan mengaku bahwa pemerintahnya menyesal atas kekerasan yang dilakukan negaranya kala ingin memberlakukan kembali penjajahan di Indonesia pasca-Perang Dunia II. Dubes Belanda untuk Indonesia itu juga mengakui adanya pembunuhan oleh pasukan Belanda atas 1.500 pejuang gerilya di Sulawesi Selatan.

Apa yang dilakukan oleh De Zwaan dan Raja Willem-Alexander ini disebut oleh Aldrich sebagai politik reparatif (reparative politics). Politik reparatif ini setidaknya dapat dilakukan melalui tiga bentuk tindakan, yakni permohonan maaf dan penyesalan, pengembalian objek warisan, serta kompensasi moneter atas kejahatan kolonial yang pernah dilakukan.

Dari penjelasan Aldrich tersebut, menjadi wajar apabila Belanda memutuskan untuk mengembalikan pusaka keris milik Pangeran Diponegoro yang selama ini tersimpan di Museum Nasional Etnologi Leiden. Restitusi ini juga melambangkan adanya upaya politik reparatif dari negeri kincir angin tersebut.

Upaya politik reparatif seperti ini juga pernah dilakukan oleh Inggris terhadap beberapa negara bekas jajahannya, seperti Kenya. Pada tahun 1950, pemberontakan kelompok Mau Mau terhadap pemerintah kolonial Inggris terjadi yang mana menewaskan ribuan orang.

Permohonan maaf oleh Raja Willem-Alexander ini dapat disebut sebagai politik reparatif (reparative politics). Share on X

Peristiwa masa lampau ini akhirnya membuat kelompok Mau Mau pada tahun 2009 menuntut pemerintah Inggris melalui sistem hukum negara yang kini dipimpin oleh PM Boris Johnson itu. Pemerintah Inggris akhirnya mengajukan permintaan maaf dan menawarkan bantuan dana.

Namun, apa yang diputuskan oleh Inggris ini menyisakan beberapa pertanyaan. Reparasi – khususnya kompensasi – seperti apa yang diperlukan? Situasi apa yang mendasari tindakan reparatif tersebut?

Perdebatan semacam ini sepertinya tak terselesaikan dengan adanya negara-negara eks-jajahan yang selalu meminta adanya tindakan reparatif – seperti yang kini dilakukan India kepada Inggris.

Terlepas dari itu, Aldrich menjelaskan bahwa politik reparatif kerap didasarkan pada situasi yang terjadi di masa kini. Beberapa faktor – seperti kepentingan politik, sektarianisme, nasionalisme, kondisi geopolitik, disparitas kekuatan antarnegara, dan lain-lain – kerap mendasari munculnya permintaan dan pemberian reparasi kolonial.

Lantas, bagaimana dengan politik reparatif yang dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia? Apa yang mendasari Belanda melakukan reparasi kolonial?

Untuk Siapa?

Politik reparatif yang dilakukan oleh Raja Willem-Alexander kepada Indonesia bukan tidak mungkin didasari oleh beberapa faktor. Setidaknya, kunjungan Kerajaan Belanda ini disertai dengan beberapa penawaran kerja sama dan investasi di Indonesia.

Raja dan Ratu Belanda tersebut dikabarkan membawa investasi senilai satu miliar dollar Amerika Serikat (AS) – atau senilai Rp 14,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah pengembagan Tanjung Priok (khususnya Terminal Vopak), pengembangan pabrik susu Friesland Campina, dan investasi Shell (Royal Dutch Group) di sektor hilir minyak dan gas.

Terminal Vopak sendiri merupakan terminal pelabuhan Tanjung Priok yang didesain untuk menangani produk-produk minyak dan gas bersih. Terminal tersebut dikelola oleh PT Jakarta Tank Terminal yang merupakan joint venture PT AKR Corporindo asal Indonesia dan Royal Vopak dari Belanda.

Investasi-investasi ini bisa jadi berhubungan dengan politik reparatif Belanda. Pasalnya, di beberapa negara eks-jajahan – khususnya di Afrika, reparasi kolonial berupa investasi dan bantuan dana kerap dianggap sebagai bentuk baru penjajahan di era kontemporer, yakni neo-kolonialisme.

Sheriff Folarin dalam tulisannya yang berjudul Reparation or Recolonization menjelaskan bahwa reparasi kolonial semacam itu kerap dianggap sebagai bentuk neo-kolonialisme. Neo-kolonialisme sendiri merupakan upaya dominasi pengaruh suatu negara atas negara lain dalam hal ekonomi dan budaya – tanpa kontrol secara langsung seperti penjajahan di masa kolonial.

Hal yang menjadi unik adalah kehadiran investasi Shell dalam kunjungan Raja Willem-Alexander. Pasalnya, selama ini, Keluarga Kerajaan Belanda dianggap mempunyai kepemilikan bisnis di perusahaan tersebut.

Shell – dulu bernama Koninklijke Olie – sendiri merupakan perusahan minyak dan gas Inggris-Belanda yang berbasis di Den Haag, Belanda. Perusahaan ini juga menjadi salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia.

Di Indonesia, kehadiran Shell sudah ada sejak tahun 1884 ketika perusahaan ini ingin memperoleh lisensi penggalian sumur minyak di Sumatera. Sumur itu menjadi Telaga Tunggal 1 di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Pasca-Pilpres 2019 lalu, perusahaan migas ini sempat dikabarkan akan hengkang dari Indonesia. Meski begitu, hingga kini, Shell tampaknya masih menjadi pemilik saham dominan di Blok Masela.

Uniknya, Philip Dröge – jurnalis investigatif asal Belanda – pernah menjelaskan dalam bukunya bahwa Keluarga Kerajaan Belanda dikenal kaya dengan kepemilikan bisnisnya yang luas. Salah satunya adalah Shell.

Apa yang disebutkan oleh Dröge bisa jadi benar. Adanya laporan kepemilikan Keluarga Kerajaan Belanda di Shell juga pernah ditulis oleh Forbes pada tahun 2001.

Sebagian besar kekayaan Ratu Beatrix dan Keluarga Orange berasal dari kepemilikan perusahaan minyak dan gas yang dikenal sebagai Shell. Pada suatu waktu, kepemilikan keluarga ini sempat mencapai 25 persen.

Berkaca dari penjelasan Forlain, bukan tidak mungkin Keluarga Orange ingin memperluas pengaruh ekonomi dan bisnisnya di Indonesia melalui politik reparatif. Apalagi, Keluarga Kerajaan Belanda disebut-sebut memiliki kepemilikan di perusahaan itu.

Meski begitu, kebenaran akan adanya maksud tersebut juga belum dapat dipastikan. Walau hingga kini masih dikabarkan memiliki kepemilikan yang besar, beberapa sumber menyebutkan bahwa Raja Willem-Alexander tidak lagi memiliki kepemilikan dominan di Shell.

Kini, keluarga tersebut diestimasi hanya memiliki 2 persen kepemilikan. Pihak kerajaan (Koninklijk Huis) sendiri mengumumkan bahwa Raja Willem-Alexander tidak lagi memiliki saham atas Shell guna menanggapi dugaan publik di dalam dan luar negeri.

Terlepas dari benar atau tidaknya kabar itu, bukan tidak mungkin politik reparatif tersebut disertai dengan dinamika ekonomi politik lainnya. Boleh jadi, kunjungan tersebut dapat memperluas pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional tersebut di Indonesia. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)


► Ingin lihat video-video menarik? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version