Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Kampanye Ayam-Ayaman Sandi

Di Balik Kampanye Ayam-Ayaman Sandi

Sandi dan ayam-ayaman Owi dan Owo (Foto: instagram)

Kampanye politik Sandiaga Uno di media sosial belakangan ini memang menarik perhatian. Hadir dengan hal-hal yang dianggap nyeleneh, lucu, dan menyegarkan, mantan Wagub DKI Jakarta ini justru dianggap menampilkan model kampanye kreatif. Jenis kampanye yang demikian sering kali efektif untuk menggaet pemilih. Faktanya, survei internal kubu Prabowo-Sandi menyebut 50 persen pemilih milenial cenderung apatis dengan konteks Pilpres 2019, sehingga membutuhkan pendekatan berbeda untuk merangkul mereka.


PinterPolitik.com

“Art, freedom and creativity will change society faster than politics.”

:: Victor Pinchuk, pebisnis Ukraina ::

[dropcap]K[/dropcap]reativitas punya pertalian yang panjang dalam sejarah hidup umat manusia. Bahkan, peradaban kontemporer dengan demokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi di dalamnya adalah bagian dari garis kreativitas yang telah ada sejak manusia menciptakan alat-alat dari kayu, batu, tulang dan kulit sekitar 10 juta tahun lalu.

Setidaknya, konteks itulah yang membuat banyak orang menganggap era Yunani Kuno dengan segudang filsuf dan warisan kebudayaan yang membawa banyak perubahan, adalah salah satu era paling kreatif dalam garis sejarah. Konteks kreativitas yang berhubungan dengan perubahan itu nyatanya menjadi sedemikian penting dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik.

Survei dari Axios dan Survey Monkey menyebut mayoritas generasi milenial “membenci” generasi baby boomers. Menariknya, dari pasangan capres-cawapres hanya Sandi yang bukan baby boomers. Share on X

Konteks kreativitas dalam politik inilah yang mungkin tergambar dari aksi-aksi Sandiaga Uno, calon wakil presiden nomor urut 02 yang akan bertarung pada Pilpres 2019 mendampingi Prabowo Subianto.

Belakangan ini Sandi memang menjadi kandidat yang paling aktif berkampanye. Keriuhan kampanye politik Sandi nyatanya bukan hanya soal emak-emak yang berjubel ingin bertemu dengannya saja, tetapi juga soal branding politik yang ditampilkan di akun-akun media sosial. Dari semua kandidat yang akan bertarung di Pilpres nanti, kampanye politik Sandi di medsos mungkin menjadi yang paling kreatif.

Keriuhan itu misalnya bisa dilihat dari postingan di akun Instagram Sandi yang memperlihatkan dirinya sedang menari diiringi lagu India bersama sekelompok emak-emak, lalu ada video menggunakan bubur seolah-olah sebagai trik sulap ala kontestan American Got Talent (AGT), hingga video tips mengelola keuangan Rp 4 juta, sehingga tetap bisa menikah.

Lebih jauh ke belakang pun publik juga bisa menyaksikan aksi-aksi kreatif Sandi yang ikut larut dalam trend #seberapagregetkamu, main pingpong yang di-remix menjadi musik, dan lain sebagainya.

Foto-foto dan caption yang diunggah ke akun-akun medsosnya pun banyak di antaranya yang tergolong kreatif – walaupun oleh beberapa pihak juga dianggap nyeleneh dan aneh. Foto tentang ayam-ayaman yang ia beri nama Owo dan Owi misalnya, tentu saja menjadi hal yang kocak bagi orang-orang yang memahami bahwa dua nama itu adalah simplifikasi sebutan untuk PrabOwo dan JokOwi atau Joko Widodo.

Demikian pun jelang konser band Guns n Roses beberapa hari lalu, ada foto Sandi yang bergaya ala-ala gitaris band legendaris tersebut, Slash. Gaya kampanye yang cenderung mengedepankan kreativitas dan out of the box ini tentu saja keluar dari pakem lama yang hanya mengedepankan sosialisasi program dan keunggulan pribadi.

Bahkan, terkesan branding politik Sandi di media sosial adalah “I am a part of you” – saya adalah bagian dari kalian. Tentu pertanyaannya adalah seberapa efektif model kampanye yang demikian? Apakah mampu menarik minat pemilih pemula dan milenial yang notabene menjadi pengguna mayoritas sosial media di Indonesia?

India, Ayam-ayaman dan Generasi Netflix

Faktanya, pertumbuhan pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2018 adalah yang terbesar ketiga di dunia. Dengan persentasi mencapai 23 persen, Indonesia hanya kalah dari Arab Saudi dan India.

Pengguna aktif media sosial di Indonesia per Januari 2018 pun mencapai 130 juta jiwa atau sekitar 49 persen dari total populasi. Walaupun televisi masih menjadi media iklan untuk membangun “kesadaran” (awareness) terbesar dengan 44 persen, namun pertumbuhan pengguna sosial media juga berdampak pada penggunaannya membentuk kesadaran publik tersebut.

Dalam konteks politik, hal ini tentu saja berdampak pada model kampanye politik yang digunakan, jika ingin menyasar pemilih dengan lebih tepat sasaran. Jelas dengan persentase pengguna mencapai setengah dari total seluruh penduduk Indonesia, kampanye lewat sosial media tentu saja akan lebih tepat sasaran dan berpotensi mencapai tujuannya dengan lebih baik.

Dalam konteks Sandi, ia dan timnya tidak hanya terpaku pada penggunaan media sosial sebagai alat kampanye saja untuk menggaet pemilih lewat sosialisasi program-program kerja unggulan, tetapi memaksimalkannya demi meraih minat pemilih secara lebih spesifik.

Faktanya, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia memang didominasi oleh rentang usia 13-34 tahun, yang mayoritas di antaranya bisa dikategorikan sebagai kelompok milenial.

Persoalannya, hampir separuh dari kelompok milenial ini cenderung apatis terhadap politik, apalagi dalam konteks Pilpres 2019. Dalam sebuah tulisan di The Straits Times, Sandi mengungkapkan hasil survei internal kubunya yang menyebut sekitar 50 persen dari pemilih milenial tidak tertarik dengan politik, bahkan tidak ingin memberikan suaranya pada saat Pemilu.

Kelompok pemilih ini yang oleh Sandi disebut sebagai Netflix generation – generasi penonton Netflix – memang memiliki kecenderungan yang berbeda dalam hal pandangan-pandangan politiknya.

Hal ini sesuai dengan tulisan jurnalis senior Jennifer Rubin di The Washington Post yang menyebutkan bahwa kelompok milenial memang punya kecenderungan kurang partisan, namun punya pola pikir yang inklusif dan terbuka kepada dunia serta kepada hal-hal baru.

Hal inilah yang membuat model kampanye old school atau gaya lama yang hanya mengedepankan sosialisasi program saja cenderung tidak terlalu menarik untuk mereka. Apalagi, pemahaman bahwa proses politik selalu dipenuhi kecurangan dan bahwa seringkali pemerintahan dijalankan dengan lobi-lobi politik yang penuh KKN semakin membuat generasi ini apatis terhadap politik.

Konteks ini juga beralasan jika melihat saat ini rata-rata politisi berkuasa – oligark politik dan elite-elite berpengaruh – umumnya berasal dari generasi baby boomers atau yang lahir antara tahun 1946-1964.

Menariknya, survei dari Axios dan Survey Monkey menyebutkan bahwa mayoritas generasi milenial “membenci” generasi baby boomers. Sekitar 51 persen kelompok milenial menyebut baby boomers membuat hidup mereka menjadi lebih buruk.

Dari pasangan capre-cawapres yang akan bersaing di 2019, hanya Sandi yang berasal dari generasi gen x, sementara sisanya adalah baby boomers. Hal inilah yang mungkin membuat Sandi bisa lebih baik menangkap “keresahan” generasi milenial yang menguasai 40 persen dari total pemilih nasional ini.

Sebetulnya, Jokowi juga tidak bisa disebut “sepenuhnya” sebagai baby boomers karena ia lahir di tahun 1961 yang merupakan masa peralihan generasi. Hal ini mungkin yang membuat Jokowi bisa “mengimbangi” Sandi dalam konteks perebutan suara pemilih milenial ini.

Dari konteks-konteks tersebut, dengan karakteristik milenial yang inklusif, open minded serta suka pada hal-hal yang out of the box, memang penting bagi kandidat-kandidat yang bersaing untuk mengemas kampanye politik yang bisa menarik hati para pemilih ini.

Pada titik inilah, pemilihan konten kampanye yang kreatif sangat mungkin mampu mempersuasi pemilih milenial untuk memberikan suaranya pada kandidat tertentu.

Adu Kreativitas, Jokowi vs Sandi

Kreativitas memang menjadi salah satu warna penting dalam kampanye politik. Brett V. Kubicek dalam tulisannya yang berjudul Political Creativity, menyebutkan bahwa kreativitas dalam politik memungkinkan seseorang meraih hasil atau perubahan yang diinginkannya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh peneliti senior sekaligus mantan presiden Demos – sebuah think tank progresif di Amerika Serikat – Heather McGhee yang menyebutkan bahwa kreativitas dalam politik inheren dengan konteks penyelesaian masalah.

Sementara, dalam konteks kampanye politik Sandi di media sosial, nyatanya ini sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok milenial tersebut. Pasalnya, Forbes Human Resources Council – sebuah komunitas yang berisi eksekutif-ekseklutif Human Resources Department (HRD) dari berbagai perusahaan – menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menjaga agar kaum milenial tetap engage atau ikut serta dalam kemajuan perusahaan, ekonomi, atau pun politik adalah dengan menawarkan fleksibilitas dan kreativitas.

Hal tersebut dapat terjadi karena kreativitas cenderung menjadi hal yang menarik bagi kelompok milenial. Pada titik ini, Sandi telah melakukan pendekatan yang tepat. Tim kampanye politiknya sangat paham bagaimana cara menarik hati pemilih milenial ini.

Namun, yang perlu menjadi catatan adalah jangan sampai kampanye berbasis kreativitas ini melupakan pesan penting untuk mensosialisasikan program-program kerja yang tentu saja menjadi hal yang esensial dari sebuah kampanye politik. Pasalnya, jika terlalu “berlebihan”, bukan tidak mungkin kampanye yang digalakkan justru akan dinilai sebagai gimmick yang hanya sekedar bertujuan menarik perhatian saja.

Saat ini, Sandiaga memang sedikit lebih unggul dari Jokowi dalam hal kreativitas kampanye. Sang presiden cenderung melihat kreativitas tersebut dari sudut pandang industri. Maka, dalam kampanye politiknya, Jokowi akan terlihat lebih banyak meyakinkan milenial dari sisi dukungan terhadap industri kreatif – misalnya sneakers buatan lokal, modifikasi motor, jaket denim nasionalis, dan lain sebagainya.

Tentu menarik untuk ditunggu, model kampanye kreatif milik siapa yang lebih menarik kelompok milenial. Yang jelas, seperti kata Victor Pinchuk di awal tulisan, kreativitas dan kebebasan memang sering kali punya daya ubah yang lebih besar daripada politik itu sendiri. (S13)

Exit mobile version