Keputusan Jokowi untuk tidak mengambil cuti sebagai presiden meskipun maju lagi pada Pilpres 2019 sempat menuai polemik. Mahkamah Konstitusi (MK) pun akhirnya memutuskan bahwa mantan Wali Kota Solo itu tidak wajib cuti selama masa kampanye.
PinterPolitik.com
“It’s even harder, dear Father, to be David when Goliath’s so much larger,” – Big K.R.I.T., penyanyi rap asal Amerika Serikat
[dropcap]P[/dropcap]olemik ini sebenarnya telah mencuat sejak 2018 ketika pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mempertanyakan persoalan cuti Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon petahana. Pada tahun 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa tidak ada aturan yang mengharuskan Jokowi untuk cuti ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2019.
BPN Prabowo-Sandiaga memang mempertanyakan perihal tidak cutinya Jokowi sebagai calon petahana. Alasannya adalah demi menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan mencontohkan Sandiaga yang berhenti dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta kala memutuskan maju sebagai pendamping Prabowo.
Terkait komplain tersebut, Jokowi pun merespon bahwa dirinya akan cuti apabila terdapat aturan yang mengharuskannya cuti. Tim Kampnye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin juga merespon bahwa yang dilakukan Jokowi sudah sesuai aturan dalam Pemilu. Justifikasi yang digunakan adalah ancaman kekosongan tanggung jawab kepresidenan.
Kalau sudah unggul ya cuti..gak usah curang..gak usah larang konser orang…tapi kok malah semakin nampak ketakutan di lapangan… #SurveyVsSuaraRakyat https://t.co/Ft8VQWDC1D
— #2019WAJAHBARU (@Fahrihamzah) March 11, 2019
Sebelumnya, sekelompok mahasiswa dari Universitas Islam As-Sayfiiyah juga sempat mengajukan gugatan terkait tidak cutinya Jokowi menjelang Pilpres 2019. Gugatan tersebut gagal akibat adanya Putusan MK yang tidak mengharuskan Jokowi untuk cuti.
MK juga menjelaskan bahwa cuti presiden merupakan hak sepenuhnya dari Jokowi. Namun, lembaga tersebut tetap mengingatkan bahwa fasiltas negara tidak diperbolehkan untuk digunakan dalam kampanye.
Terlepas dari legalitas atas tidak cutinya Jokowi, pertanyaannya adalah apakah dampak dari keputusan tersebut? Apakah penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi apabila Jokowi tidak cuti menjelang keikutsertaannya dalam Pilpres 2019?
Keuntungan Petahana
Keputusan untuk tidak turun jabatan dalam masa Pemilu juga sempat terjadi di Thailand yang akan melaksanakan Pemilu pada tahun 2019 ini. Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-o-cha juga memutuskan untuk tetap menjabat sebagai perdana menteri meskipun tokoh junta militer tersebut menjadi kandidat dalam Pemilu.
Konteks ini membuat kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dianggap punya nuansa politik untuk mendukung tingkat keterpilihannya. Pada akhir 2018 misalnya, Prayuth yang didukung oleh partai pro-junta Palang Pracharat menerapkan kebijakan berupa bantuan langsung yang diberikan kepada warga dengan penghasilan kurang dari THB 100.000 (Rp 45 juta) per tahun dan warga lanjut usia. Bantuan langsung tersebut diberlakukan dengan program kartu kesejahteraan yang beranggaran THB 63 juta (Rp 28,37 miliar).
Kebijakan tersebut dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap sebagai manuver politik Prayuth untuk meningkatkan popularitasnya dalam untuk Pemilu Thailand 2019. Meskipun begitu, PM Thailand tersebut menjelaskan bahwa kebijakan tersebut tidak memiliki kaitan dengan Pemilu karena telah sesuai dengan aturan yang berlaku dan merupakan sebuah kebetulan apabila baru diberlakukan di akhir 2018.
Dalam konteks tersebut, kebijakan-kebijakan Prayuth pun bisa jadi merupakan penyalahgunaan sumber-sumber administratif dalam Pemilu. Matthew Jenkins dan Marie Chêne dari Transparency International dalam tulisannya yang berjudul Best Practices on Preventing the Abuse of Public Resources menjelaskan bahwa penyalahgunaan sumber administratif dapat dipahami sebagai penggunaan sumber-sumber publik untuk memengaruhi kampanye dalam Pemilu guna menguntungkan salah satu kandidat.
Pembelian suara dengan sumber administratif yang dimiliki oleh negara dapat dilakukan dengan kebijakan yang memberikan akses pada public goods seperti bantuan sosial. Share on XSejalan dengan pengertian dari Jenkins dan Chêne, Magnus Ohman dari International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam tulisannya yang berjudul Abuse of State Resources menjelaskan bahwa penyalahgunaan sumber-sumber daya negara merupakan penggunaan variabel seperti sumber finansial, sumber institusional, sumber regulasi, dan sumber penegakan hukum untuk mendukung atau melemahkan aktor politik.
Terkait apa yang dilakukan oleh PM Prayuth, penyalahgunaan sumber tersebut merupakan penyalahgunaan sumber finansial yang digunakan untuk mendukung citra politiknya sebagai petahana dan partai politik tertentu dalam Pemilu.
Penyalahgunaan semacam ini dapat mengarah pada istilah vote buying atau pembelian suara. Bruno Speck dan Alessandra Fontana dalam tulisannya yang berjudul “Milking the System” menjelaskan bahwa pembelian suara dengan sumber administratif yang dimiliki oleh negara dapat dilakukan dengan kebijakan yang memberikan akses pada public goods seperti bantuan sosial.
Bisa jadi, apa yang dilakukan PM Prayuth menggunakan cara yang memberikan akses pada public goods – mengingat tokoh junta tersebut memberikan akses terhadap dana publik melalui program kartu kesehjateraan.
Bila dibandingkan kembali dengan apa yang dilakukan Jokowi di Indonesia, apakah tidak cutinya Jokowi juga membantunya memperoleh suara dalam Pilpres 2019 dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mirip?
Terkait Pilpres 2019?
Jika berkaca pada kebijakan yang digunakan PM Prayuth dalam Pemilu Thailand 2019, Jokowi sebagai calon petahana di Indonesia bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang bisa jadi menguntungkannya. Beberapa di antaranya yang ramai dibicarakan media adalah kebijakannya untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS), anggota kepolisian, dan anggota TNI.
Perlu diketahui pula bahwa kenaikan gaji PNS baru dilaksanakan kembali pada tahun 2019. Sebelumnya, kenaikan gaji PNS berhenti pada tahun 2015. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sangat mungkin bermuatan politis sebab Jokowi mencalonkan diri lagi.
Guna menanggapi dugaan tersebut, pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun menampik dengan menyatakan bahwa kebijakan kenaikan gaji tidak memiliki kaitan dengan kontestasi politik. Kebijakan kenaikan gaji sendiri telah diajukan sejak Oktober 2018, tetapi baru dapat dilaksanakan pada April nanti.
Selain kenaikan gaji, Jokowi juga menerapkan kebijakan populer lain, yaitu peningkatan anggaran dana bantuan sosial (bansos) pada 2019. Ia juga secara signifikan menaikkan besaran anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi dua kali lipat. Realisasi anggaran dana bansos pun juga meroket dari Rp 13,87 triliun pada Februari 2018 menjadi Rp 23,6 triliun pada Februari 2019.
Pihak Kemenkeu pun kembali menampik keterkaitan kebijakan tersebut dengan Pilpres 2019. Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya menjelaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan penyesuaian terhadap tingkat inflasi terkini.
Namun, benarkah kebijakan-kebijakan seperti kenaikan gaji PNS dan kenaikan dana bansos sama sekali tidak terkait dengan Pilpres 2019?
Meskipun sering kali menampik keterkaitan kebijakan-kebijakan tersebut dengan Pilpres 2019, manuver-manuver lewat program-program tersebut jelas memiliki pengaruh terhadap perolehan suara. Cara ini bisa menjadi bagian dari strategi Jokowi dalam memenangkan hati sejumlah pemilik suara dalam Pemilu 2019.
Mungkin benar kebijakan-kebijakan populis Jokowi, seperti peningkatan gaji PNS, berkaitan dengan keikutsertaannya dalam Pilpres 2019. Hasil survei Charta Politika pun menunjukkan bahwa hanya 40,44 persen dari kalangan PNS dan pejabat desa yang menyatakan akan memilih Jokowi-Ma’ruf.
Artinya, kebijakan menaikkan penghasilan tersebut bisa jadi merupakan langkah Jokowi untuk meningkatkan perolehan suaranya di kalangan PNS. Selain PNS, kebijakan tersebut juga bisa jadi manuver Jokowi guna menanggapi adanya deklarasi dari kalangan purnawirawan TNI dan Polri yang mendukung Prabowo-Sandiaga.
Jika memang kebijakan-kebijakan tersebut merupakan manuver Jokowi dalam Pilpres 2019, penggunaan sumber-sumber negara tersebut tentu hanya memberikan keuntungan lebih terhadap dirinya sebagai petahana karena kandidat lain tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber tersebut. Hal ini tentu menciptakan iklim kompetisi yang asimetris dan tidak menguntungkan bagi Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019.
Pada akhirnya, mungkin benar apa yang dikatakan Big K.R.I.T. bahwa akan semakin sulit mengalahkan Goliath ketika ia memiliki kekuasaan yang lebih besar lagi. Lagipula, masyarakat tetap akan memilih pemimpin yang benar-benar jujur, seperti lagu milik grup band Radja yang dinyanyikan Jokowi dalam kampanye lalu. Bukan begitu? (A43)