Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Jokowi Pecat Terawan

Di Balik Jokowi Pecat Terawan

Eks Menkes Terawan Agus Putranto (Foto: Suara)

Dalam konferensi pers resmi pertamanya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut bahwa Indonesia sedang dalam proses finalisasi pengadaan vaksin Pfizer dan AstraZeneca. Di sisi lain Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Riza menyebut bahwa eks Menkes Terawan sempat tak mau meneken kesepakatan kerja sama pengadaan vaksin oleh sejumlah produsen, termasuk Pfizer. Apakah hal tersebut yang membuat dirinya terdepak dari kursi kabinet?


PinterPolitik.com

‘Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali’, boleh jadi itu adalah salah satu nasihat orang tua yang paling diilhami oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski sudah sejak lama sekali disuarakan, namun keputusan Kepala Negara untuk mencopot Terawan Agus Putranto dari jabatan Menteri Kesehatan (Menkes) beberapa waktu lalu nyatanya tetap mendapat sambutan positif publik.

Sebagian optimis keputusan ini memberikan secercah harapan baru bagi penanganan pandemi Covid-19 yang memang kembali menggila dalam beberapa waktu terakhir.  Namun begitu, sebagian lain justru mempertanyakan pilihan Presiden Jokowi menunjuk Budi Gunadi Sadikin yang merupakan lulusan fisika nuklir dan memiliki latar belakang seorang bankir sebagai pengganti Terawan.

Meski sempat diragukan publik karena berasal dari dua dunia yang sangat berbeda, namun nyatanya penunjukan Budi Sadikin justru mendapat dukungan dari pakar kesehatan. Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono bahkan sudah mempromosikan nama Budi Sadikin sebelum Presiden Jokowi membeberkan nama menteri-menteri barunya itu. 

Seolah tak ingin menghancurkan ekspektasi publik, Menkes Budi dalam konferensi pers resmi pertamanya beberapa waktu lalu memberikan kabar yang cukup menggembirakan terkait prospek rencana vaksinasi pemerintah. Ia mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang dalam tahap negosiasi akhir untuk memboyong vaksin produksi AstraZeneca dan Pfizer-BioNTech. 

Prospek ini tentunya bisa menjawab keragu-raguan publik terhadap satu-satunya vaksin yang sudah diamankan pemerintah sejauh ini, yakni CoronaVac buatan pabrikan asal Tiongkok, Sinovac. Keraguan tersebut tak bisa dilepaskan dari banyaknya rumor-rumor miring seputar vaksin Sinovac terutama terkait tingkat efektivitasnya. 

Menariknya, tak lama sebelum Budi Sadikin mengumumkan kabar gembira tersebut, Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Riza menyebut bahwa eks Menkes Terawan sempat menolak menandatangani kesepakatan kerja sama pengadaan vaksin oleh sejumlah produsen, seperti AstraZeneca, Sinopharm, bahkan Sinovac sendiri. Hal ini kemudian yang diduga kuat menyebabkan Indonesia sejauh ini baru berhasil mengantongi 1,8 juta dosis vaksin buatan Sinovac. 

Lantas jika memang benar demikian, maka pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan publik tak begitu mempercayai vaksin produksi Sinovac? Lalu apakah hal ini juga lah yang menyebabkan Terawan terdepak dari kursi kabinet?

Vaksin Sulit Dipahami?

Meski telah terbukti melindungi manusia dari banyak penyakit, keberadaan vaksin sendiri secara umum memang belum bisa diterima oleh semua kalangan. Bahkan ada istilah khusus yang diberikan kepada para penolak vaksin, yakni Antivax, atau kependekan dari Anti Vaccine

Resistensi terhadap vaksin agaknya tak bisa dilepaskan dari cara kerjanya yang memanfaatkan virus atau setidak-tidaknya bagian dari virus untuk merangsang kekebalan tubuh. Hal tersebut kerap menimbulkan kontroversi terkait keampuhan, keamanan, hingga kehalalannya. 

Selain itu, Sadie Witkowski dalam tulisannya yang berjudul Psychology Researchers Explore How Vaccine Beliefs Are Formed, juga mengatakan bahwa ada sejumlah bias kognitif yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terkait vaksin. Ia menyebut bahwa ketika sampai pada domain yang lebih rumit, seperti sains, intuisi manusia kerap kali salah. 

Hal tersebut kemudian membuat manusia perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan sains. Namun di sisi lain, ada tendensi dalam psikologis manusia yang cenderung malas memaksimalkan kemampuan kognitifnya. Sebab, penalaran tingkat tinggi membutuhkan banyak upaya mental. 

Singkatnya, Ia menyebut bahwa orang dengan sedikit pengetahuan tentang vaksin mungkin merasa sangat yakin tentang sedikit informasi yang mereka miliki, terlepas apakah itu benar atau tidak. 

Dengan mempertimbangkan adanya bias kognitif yang dapat menghalangi pemahaman manusia, maka diperlukan informasi sebanyak-banyaknya agar tak terjadi disinformasi terkait vaksin. Namun sayangnya, Sinovac dan perusahaan-perusahaan asal Tiongkok lainnya bisa dibilang sangat buruk dalam hal transparansi. 

Flynn Murphy dalam tulisannya di Nikkei Asia menyebut bahwa salah satu faktor yang menyebabkan vaksin-vaksin Tiongkok banyak mendapatkan sorotan minor global adalah karena persoalan minimnya data. 

Ia menyebut, hasil lengkap dari uji coba fase akhir vaksin oleh Pfizer, Moderna dan AstraZeneca dan Universitas Oxford semuanya telah diterbitkan dalam jurnal peer-review untuk diteliti dunia. Sementara vaksin produksi pabrikan Tiongkok hanya menerbitkan hasil dari uji coba tahap awal dan menengah. Ia berpendapat kebijakan pemerintah Tiongkok yang mengontrol sebagian besar pengembangan vaksin dan rantai manufaktur lah yang membuat proses ini menjadi tidak transparan.

Belum lagi ditambah track record dari Sinovac sendiri yang pernah terlibat skandal suap pada 2016, di mana perusahaan tersebut disebut-sebut pernah menyuap Badan Pengawas Obat dan Makanan Tiongkok terkait izin pengembangan vaksin SARS pada 2003 dan flu babi pada 2009. Faktor-faktor tersebut tentu saja mempengaruhi persepsi publik terhadap vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan saat ini. 

Lantas apakah ketidakpercayaan terhadap vaksin Sinovac juga melanda Indonesia? Lalu apa hubungan hal tersebut dengan dicopotnya Terawan dari kursi Menkes?

Sinovac Seret Terawan?

Pada 25 Desember lalu, anggota DPR dari Partai Gerindra Fadli Zon mengkritik langkah pemerintah yang dinilainya terlalu bergantung pada vaksin Sinovac. Ia menyarankan kepada pemerintahan Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan mengimpor vaksin produksi Pfizer-BioNTech yang telah digunakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris. 

Fadli adalah satu dari sekian banyak masyarakat yang meragukan efektivitas vaksin Sinovac. Sebuah survei yang dilakukan oleh Koalisi Warga Lapor Covid-19 pada September lalu  menyebut 60 persen responden mereka menyatakan keraguannya terhadap vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac dan Bio Farma. Bahkan, sebagian diantaranya menyatakan tidak bersedia untuk divaksinasi menggunakan vaksin tersebut.

Dalam konteks Indonesia, ketidakpercayaan publik terhadap vaksin Sinovac agaknya juga dipengaruhi oleh kebijakan dari pemerintah sendiri. Presiden Jokowi memang kerap menggunakan vaksin sebagai politics of hope untuk memberikan harapan kepada publik di tengah surplus tendensi negatif terhadap penanganan pandemi pemerintah.

Namun begitu, pemerintah agaknya terlalu sering menggunakan strategi ini sehingga membuatnya terkesan menjadi mengeksploitasi harapan publik. Misalnya saja dengan terang-terangan memamerkan kedatangan 1,8 juta vaksin Sinovac beberapa waktu lalu, yang pada saat itu laporan uji klinis fase III saja belum dirilis. 

Jeremy Snyder dalam tulisannya yang berjudul The Ethics of Exploiting Hope during a Pandemic mengatakan bahwa harapan untuk kehidupan yang lebih baik – atau dalam hal ini, harapan untuk mengakhiri pandemi memang dapat memicu masyarakat untuk menaruh kepercayaan pada orang lain, khususnya pemimpin politik. Namun, ketika harapan tersebut tak kunjung terpenuhi, kepercayaan publik pada proses politik akan semakin luntur.

Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Sinovac tentu dapat berkorelasi buruk terhadap program vaksinasi yang tengah dirancang pemerintah. Maka untuk menyelesaikan persoalan ini, pemerintah memang perlu untuk mengadakan vaksin dari sumber lain. 

Namun menurut sebuah laporan yang diterbitkan Kumparan, dibeberkan alasan mengapa Indonesia sempat gagal mencapai kesepakatan dalam pengadaan vaksin produksi Pfizer-BioNTech. Hal ini diduga terjadi karena lambannya respons Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang saat itu masih dipimpin oleh Terawan dalam menandatangani kontrak kerja sama. 

Meski dibantah oleh pihak Kemenkes, namun nyatanya laporan tersebut menjadi masuk akal jika kita mengingat kembali pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi. Kepala negara memang sempat menegur Terawan terkait rendahnya serapan anggaran. Presiden juga pernah terang-terangan memarahi menteri-menterinya yang disebutnya tak memiliki sense of crisis di tengah pandemi. 

Selain itu, asumsi ini juga kembali mendapat afirmasinya karena tak lama setelah Terawan lengser dari kursi Menkes, penerusnya Budi Gunadi Sadikin akhirnya mengonfirmasi bahwa pemerintah sedang dalam tahap finalisasi kerja sama dengan Pfizer dan AstraZeneca. Budi sendiri disebut Tempo dipersiapkan sebagai Menkes karena berhasil melobi berbagai produsen vaksin. 

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka patut diduga kuat bahwa pencopotan Terawan mungkin saja berkaitan dengan rencana program vaksinasi. 

Kendati begitu, sekelumit ulasan ini hanyalah argumentasi teoretis yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Bagaimana pun yang tahu pasti alasan di balik pencopotan seorang menteri hanyalah Presiden sendiri. Namun yang jelas, publik kini menaruh harapan cukup tinggi terhadap sosok Budi Gunadi Sadikin agar mampu membuat penanganan pandemi Covid-19 semakin baik. Menarik ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version