Setelah Presiden Jokowi mengimbau masyarakat untuk aktif memberikan kritik dan masukan dalam sambutannya di Laporan Akhir Tahun Ombudsman. Penegasan serupa kembali diungkapkan RI-1 di peringatan Hari Pers Nasional . Dengan adanya UU ITE dan buzzer politik, mengapa pernyataan tersebut dikeluarkan?
“Everything the State says is a lie, and everything it has it has stolen” – Friedrich Nietzsche, filsuf asal Jerman
Pada 8 Februari, dalam sambutannya di Laporan Akhir Tahun Ombudsman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah ataupun potensi maladministrasi.
Sehari kemudian, dalam sambutannya di Hari Pers Nasional (HPN) 2021, mantan Wali Kota Solo ini kembali mengungkapkan hal serupa. Tuturnya, “Pemerintah terus membuka diri terhadap masukan dari insan pers.”
Namun dalam peringatan HPN kemarin, Presiden Jokowi bukanlah satu-satunya perwakilan Istana yang menegaskan pentingnya kritik. Adalah Sekretaris Kabinet (Setkab) Pramono Anung yang bahkan memberikan penegasan yang lebih lugas.
Ujarnya, “Bagi Pemerintah, kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar.”
Dalam terang politik demokrasi, pernyataan Presiden Jokowi maupun Setkab Pramono tentunya adalah sinyal positif. Terlebih lagi, di tengah besarnya koalisi pemerintah saat ini, checks and balances dari masyarakat maupun insan pers tentunya sangat dibutuhkan.
Akan tetapi, alih-alih direspons positif, publik justru menanggapi sinis pernyataan tersebut. Adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan buzzer politik di dunia maya menjadi catatan kritis tersendiri.
Seperti yang diketahui, UU ITE telah banyak menjebloskan seseorang ke dalam tahanan. Pun begitu dengan buzzer politik yang selalu siap menyerang pihak yang dinilai memberikan kritik keras terhadap laju pemerintahan.
Baca Juga: Inikah “Jebakan Batman” ala Jokowi?
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, yang juga merupakan politisi PDIP Kwik Kian Gie bahkan secara terbuka mengungkapkan ketakutannya untuk mengkritik di tengah eksistensi para buzzer. Tulisnya, “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil.”
Di sini menjadi menarik dipertanyakan, mengapa pernyataan pentingnya kritik tiba-tiba mencuat? Kemudian di HPN 2021, mengapa penekanan agar pers menjadi penjaga hoaks tidak keluar? Padahal, beberapa kali Presiden Jokowi menekankan persoalan tersebut, misalnya pada polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Kepentingan Pidato Semata?
Pernyataan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago pada 7 November 2019 lalu tampaknya menarik untuk direnungkan dalam memahami pernyataan sang RI-1. Saat memberi sambutan dalam perayaan HUT ke-55 Partai Golkar pada 6 November 2019, Presiden Jokowi memberi pujian kepada Airlangga Hartarto.
Kala itu, berbagai pihak menilai Presiden Jokowi tengah meng-endorse Airlangga yang sedang berjuang agar terpilih kembali sebagai ketua umum partai beringin. Namun menariknya, Pangi justru menyebutkan pernyataan tersebut bisa jadi merupakan majas. Menurutnya, Presiden Jokowi terkadang menggunakan bahasa Jawa dengan pola majas, bersayap-sayap dan banyak sindiran yang maknanya sulit ditangkap.
Lantas, jika benar Presiden Jokowi kerap menggunakan majas, mungkinkah pernyataannya di Laporan Akhir Tahun Ombudsman dan HPN 2021 merupakan suatu majas? Jika benar demikian, maka Presiden Jokowi bisa jadi tengah menggunakan majas ironi, yakni suatu pernyataan yang sebenarnya bermakna sebaliknya.
Ihwal tersebut juga dikemukakan pengamat politik Rocky Gerung yang menyebut pernyataan meminta kritik tersebut adalah “permainan bermuka dua”. Menurut Rocky, pernyataan itu bermakna silahkan memberi kritik secara bebas, tapi setelah mengkritik kebebasan tersebut tidak lagi dijamin. Selepas itu akan datang buzzer, atau bahkan ditunggu di pengadilan.
Akan tetapi, di luar persoalan apakah itu majas atau bukan, pernyataan Presiden Jokowi, maupun Setkab Pramono dengan mudah dapat dipahami melalui tulisan Tom Ricci yang berjudul Public Speaking: Know Your Audience. Menurut Ricci, dalam setiap penyusunan pidato, pembicara harus menyesuaikan topik pidatonya dengan audiens.
Baca Juga: Wajar Jokowi Klaim Pandemi Terkendali?
Dengan kata lain, pernyataan Presiden Jokowi di Laporan Akhir Tahun Ombudsman sebenarnya tidak bermakna bahwa masyarakat diminta mengkritik dalam artian kritik politik, melainkan kritik dan masukan atas persoalan maladministrasi. Seperti yang diketahui, Ombudsman adalah lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.
Pun begitu di HPN 2021, baik Presiden Jokowi maupun Setkab Pramono, sekiranya hanya menyesuaikan konteks pidatonya. Seperti diketahui, pers merupakan pilar keempat demokrasi yang bertugas melakukan pengawasan dengan cara memberitakan laju pemerintahan ke hadapan publik.
Seperti yang disebutkan Akhmad Zaini Abar dalam tulisannya Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia, menyampaikan kritik sosial adalah cara pers dalam menyalurkan aspirasi, kegelisahan, keprihatinan, dan kemarahan masyarakat.
Testing the Water?
Di titik ini, mungkin dapat disimpulkan bahwa publik sepertinya merespons berlebihan pernyataan Presiden Jokowi tersebut. Pernyataan itu mungkin hanya template pidato semata.
Namun menariknya, ihwal serupa tidak dilihat oleh pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Menggunakan perspektif ilmu intelijen, Fahmi justru melihat pernyataan Presiden Jokowi dan Setkab Pramono merupakan agenda dalam mengonsolidasi isu nasional.
Di sini, Fahmi juga mengutip tulisan Akhmad Zaini Abar yang menyebutkan pemerintah menggunakan berbagai cara untuk mengondisikan kritik sosial dari pers. Namun, berbeda pada konteks tulisan Akhmad Zaini Abar yang membahas pers Orde Baru, saat ini pemerintah juga berjibaku dengan media sosial (medsos).
Dengan fakta tidak mungkin meredam narasi-narasi di medsos, teknik yang digunakan saat ini adalah manajemen isu, atau mencegah isu krusial mengkristal di tengah masyarakat – pengalihan isu.
Konteks tersebut juga dibahas oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian. Menurutnya, media sosial saat ini adalah ancaman tersendiri bagi demokrasi karena dapat menjadi sarana dalam memperdalam politik identitas.
Menurut Fukuyama, media sosial juga memfasilitasi sirkulasi informasi yang buruk dan memudahkan upaya untuk mencoreng dan melemahkan lawan politik. Selain itu, anonimitas media sosial juga membuat publik menghilangkan batasan terkait kesopanan.
Sadar akan bahaya media sosial, Fukuyama melihat negara-negara otoriter seperti Tiongkok dan Rusia telah menemukan cara agar media sosial tidak lagi berbahaya secara politik, dan bahkan dapat menjadi senjata untuk melemahkan saingan politiknya. Jika Tiongkok membatasi akses, sedangkan Rusia menggunakan bot untuk membanjiri media sosial.
Dengan kata lain, dengan peran media sosial saat ini yang menjadi tempat masyarakat mendapatkan informasi dan membentuk persepsi, sangat penting untuk memenangkan perang wacana. Pentingnya hal ini juga tersirat dalam pernyataan politisi senior PDIP, Eva Kusuma Sundari pada 25 Oktober 2020 lalu.
Menurutnya, media sosial telah didominasi oleh oposisi pemerintah. Ini kemudian membuat masyarakat mudah mengkritik dan memandang buruk laju pemerintahan karena narasi yang ada didominasi oleh oposisi.
Nah sekarang pertanyaannya, jika pernyataan Fahmi tepat, manajemen isu apa yang hendak dilakukan? Menurut alumnus ilmu politik Universitas Airlangga ini, pemerintah tengah mencari isu agar isu politik identitas tidak lagi menjadi isu dominan di tengah masyarakat.
Simpulan itu ditarik Fahmi dengan bertolak dari sudah berhasilnya pemerintah dalam meredam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Kemudian, keberanian Presiden Jokowi mencalonkan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri yang diterpa isu agama, juga mengindikasikan isu politik identitas ingin ditinggalkan.
Baca Juga: Abu Janda akan Segera Tamat?
Berkaca pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, isu politik identitas benar-benar begitu menguras psikologi publik. Terlebih lagi, seperti yang disebutkan oleh Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: the Illusion of Destiny, isu identitas kerap kali bermuara pada kekerasan, pembunuhan, hingga perang saudara.
Oleh karenanya, perlu ada isu lain, yang lebih longgar atau tidak menguras psikologis sebesar isu identitas.
Singkatnya, Presiden Jokowi dan Setkab Pramono Anung kemungkinan besar tengah melakukan strategi testing the water atau sedang memetakan isu apa yang paling banyak muncul akibat pernyataan tersebut.
Mengacu pada Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, ini adalah strategi intelijen “to bring the target to our direction”, yakni mengarahkan target (masyarakat) pada kondisi atau persepsi yang diinginkan.
Pada akhirnya, mungkin kita dapat menarik dua kesimpulan dari pernyataan Presiden Jokowi dan Setkab Pramono baru-baru ini. Pertama, ini mungkin hanya pidato normatif semata atau gimmick politik. Kedua, dalam kacamata ilmu intelijen, ini mungkin adalah strategi pemetaan isu. Entah mana yang benar. (R53)