Setelah tidak lagi menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo seolah menunjukkan dirinya sebagai oposisi pemerintah. Saat ini, Gatot bahkan begitu vokal bersama dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Menariknya, pemerintah akan memberikan Gatot bintang tanda jasa dalam waktu dekat. Mungkinkah terdapat intrik politik di balik pemberian tersebut?
“Keep your friends close, and keep your enemies closer” – Sun Tzu
Di kalangan eks Panglima TNI, Gatot Nurmantyo tampaknya harus diakui sebagai sosok yang paling memperlihatkan ambisi politiknya. Ini misalnya disorot oleh John McBeth dalam tulisannya yang berjudul Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics. Ia menyebut bahwa Gatot merupakan satu-satunya Panglima TNI yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya saat masih menjabat.
Manuver politik Gatot, misalnya, mulai terlihat ketika dirinya berusaha mengonsolidasi kondusivitas keamanan bersama dengan Polri saat terjadinya demonstrasi 411 dan 212 pada 2016 silam. Sejak saat itu, Gatot dinilai telah membangun hubungan dengan kelompok-kelompok Islam yang memang tengah mendapatkan momentum kebangkitannya, khususnya sejak kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok.
Selepas menjabat sebagai pemimpin pucuk tertinggi di TNI, manuver politik Gatot terlihat semakin kentara. Ia bahkan masuk dalam bursa kandidat presiden pada Pilpres 2019 lalu. Saat ini Gatot seolah memosisikan dirinya sebagai oposisi pemerintahan. Pergerakannya bersama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan jelas menunjukkan posisi tersebut.
Namun menariknya, setelah berbagai aktivis KAMI ditangkap belakangan ini, pemerintah justru terlihat seperti sedang mendekati Gatot. Bagaimana tidak? Dalam cuitan Menko Polhukam Mahfud MD pada 3 November, Gatot disebut akan dianugerahi gelar Bintang Mahaputera pada peringatan Hari Pahlawan pada 10-11 November nanti.
Kemungkinan untuk menepis dugaan terdapat intrik politik di balik tanda jasa tersebut, Mahfud melanjutkan bahwa semua mantan panglima dan semua mantan menteri serta pimpinan lembaga negara yang selesai satu periode juga mendapatkan Bintang Mahaputera. Tegasnya, itu harus diberikan tanpa pandang bulu.
Namun, publik agaknya paham terdapat pre-teks dalam setiap teks. Artinya, sangat terbuka peluang bahwa memang terdapat tujuan politik tertentu di balik pemberian tanda jasa tersebut. Lantas, kemungkinan apa yang sekiranya paling mungkin?
Reciprocity dan Politik Penghargaan
Sebelum Gatot, pemberian bintang tanda jasa kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon juga sempat menuai perhatian publik. Tentu publik paham, keduanya adalah sosok yang begitu vokal dalam mengkritik pemerintahan Jokowi. Sehingga tidak heran, pemberian Bintang Mahaputra Nararya kepada keduanya pada 13 Agustus lalu jamak disebut memiliki tujuan politik.
Secara teoritis, konteks tersebut pernah disinggung oleh Kyle C. Kopko, dan kawan-kawan tulisan mereka yang berjudul The Politics of the Presidential Medal of Freedom. Menurut mereka, terdapat beberapa alasan politis yang mungkin mendasari pemberian suatu bintang penghargaan dari presiden. Mulai dari untuk membentuk warisan politik, meningkatkan kepercayaan publik (approval rating), menguatkan dukungan di antara kelompok konstituen, menarik kelompok konstituen baru, atau memberikan sinyal tertentu pada aktor-aktor politik lain.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly memberikan kita konsep menarik mengapa tujuan politik dari diberikannya penghargaan dapat terwujud, yakni reciprocity. Mengutip psikolog Robert Cialdini, Dobelli menyebut selalu terdapat perasaan tidak enak apabila seseorang memiliki utang terhadap orang lain. Perasaan ini kemudian melahirkan fenomena yang disebut dengan balas jasa.
Pada praktiknya sehari-hari, reciprocity atau hubungan timbal-balik adalah konsep yang mendasari setiap hubungan sosial. Ini memungkinkan berbagai ikatan sosial, seperti pertemanan, kesetiaan, gotong-royong, dan pernikahan dapat terjadi.
Mengacu pada Kopko dan Dobelli, boleh jadi pemberian Bintang Mahaputera kepada Gatot memiliki tujuan politik tertentu, dan diharapkan akan mendapatkan timbal balik dari Gatot nantinya. Selain itu, konteks yang lebih menarik dapat kita lihat dari siapa sosok yang pertama kali mengumumkan pemberian bintang jasa tersebut.
Sama dengan kasus Fahri dan Fadli, sosok yang memberi pengumuman pemberian penghargaan adalah Menko Polhukam Mahfud MD. Pertanyaannya, mengapa harus Mahfud? Mengapa tidak sosok seperti Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, misalnya?
Dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Mahfud untuk menyampaikan informasi terkait keamanan, dan kepakarannya dalam bidang politik hukum, jelas terdapat suatu makna yang dapat ditelaah.
Ciptakan Ketertiban?
Selaku pakar politik hukum, tentu Mahfud sangat paham bahwa pada praktiknya hukum kerap kali dijadikan sebagai alat politik, khususnya untuk menciptakan ketertiban (order) di tengah masyarakat. Terlebih dengan posisinya sebagai Menko Polhukam saat ini, Ia tentunya harus memikirkan cara bagaimana membuat hukum dapat mencapai tujuannya sebagai pembuat ketertiban.
Dengan gaduhnya situasi politik saat ini dengan pergerakan KAMI, pemerintah mungkin merasa perlu memberikan semacam penawaran tertentu kepada tokoh prominen dalam gerakan tersebut, yang tidak lain adalah Gatot. Jika menggunakan langkah represif, seperti menjerat dengan pasal tertentu, ini tentu akan semakin menciptakan kegaduhan. Oleh karenanya, pemberian tanda jasa, boleh jadi merupakan langkah alternatif yang jauh lebih lunak.
Konteks ini juga disinggung oleh Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis (Sudra), Fadhli Harahab, yang menyebutkan bahwa pemberian penghargaan tersebut dapat memiliki potensi untuk mengendurkan intensitas kritik Gatot kepada pemerintah.
Melihat sepak terjang politik Presiden Jokowi selama ini, mantan Wali Kota Solo tersebut memang terlihat mengupayakan berbagai cara agar situasi politik tidak menjadi gaduh dengan cara merangkul oposisi.
Pada 16 Juli lalu, misalnya, Presiden Jokowi merangkul Partai Golkar dan PAN masuk ke kabinet melalui reshuffle. Saat itu, kursi Menteri Perindustrian diberikan ke Airlangga Hartarto dari Golkar, sementara PAN mendapat kursi Menpan RB yang diduduki Asman Abnur.
Lalu, rangkulan yang begitu fenomenal publik saksikan adalah ketika Prabowo Subianto dan Partai Gerindra justru ditarik masuk ke dalam koalisi pemerintahan. Setelah bersaing ketat di dua gelaran Pilpres, masuknya Prabowo jelas merupakan gerakan politik yang benar-benar tidak disangka oleh banyak publik.
Pada kasus Gatot, sepertinya pemerintah mengambil langkah cepat untuk segera mendekatinya karena melihat besarnya potensi gangguan politik yang dapat muncul nantinya. Ini tidak hanya karena pergerakan Gatot bersama KAMI, melainkan juga kedekatan sang jenderal dengan kelompok-kelompok Islam yang beroposisi dengan pemerintah, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Presidium Alumni (PA) 212.
Melihat langkah pemerintah dalam merespons kelompok-kelompok Islam tersebut, terlihat jelas terdapat usaha untuk meredupkan pemimpin sentralnya. Seperti yang kita ketahui, Imam Besar FPI yang begitu disegani, Habib Rizieq Shihab, bahkan sampai sekarang masih berdiam di Arab Saudi.
Menariknya, sosok-sosok potensial untuk menjadi pemimpin kelompok tersebut juga diredupkan sejak dini. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diketahui dekat dengan mereka, misalnya, terus mendapat serangan. Lalu, Prabowo yang didukung dalam Pilpres 2019 justru dirangkul masuk ke dalam pemerintahan. Praktis itu membuat mantan Danjen Kopassus tersebut dicoret dari daftar pemimpin potensial.
Nah sekarang, Gatot sepertinya dilihat sebagai sosok potensial untuk menjadi pemimpin kelompok-kelompok tersebut. Apalagi, kelompok-kelompok Islam tersebut tampaknya mulai sadar bahwa mereka membutuhkan kekuatan politis berupa pemimpin yang mendukung pergerakan mereka. Dengan kata lain, mereka perlu meng-endorse sosok tertentu untuk menjadi presiden. Di sini, Gatot jelas merupakan kandidat potensial.
Jika nantinya Gatot berhasil “dijinakkan” oleh pemerintah, kelompok-kelompok Islam yang selama ini beroposisi terhadap pemerintah jelas tidak akan memiliki kekuatan politik yang berarti. Pada akhirnya, tujuan untuk menciptakan ketertiban atau setidaknya mengurangi kegaduhan politik menjadi tercapai.
Apalagi, kelompok-kelompok Islam tersebut jamak dinilai sebagai sumber dari menajamnya polarisasi politik dan politik identitas dalam beberapa tahun belakangan ini. Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment menyebutkan bahwa masalah utama pembusukan demokrasi saat ini adalah terus menajamnya politik identitas.
Politik identitas adalah ganjalan besar dalam tujuan demokrasi yang disebut Fukuyama, yakni untuk menciptakan kualitas pengakuan yang sama terhadap setiap individu. Terus dipromosikannya identitas-identitas yang bersifat partikular telah membuat masyarakat tenggelam dalam sekat-sekat yang justru memperlebar ketimpangan hak.
Pasalnya, setiap kelompok mestilah mempromosikan identitasnya masing-masing dan memiliki harapan yang tinggi agar identitasnya mendapatkan pengakuan yang lebih. Masalahnya, Fukuyama menyebut tidak terdapat suatu batasan yang jelas sejauh mana identitas tersebut harus diakui.
Mengacu pada Fukuyama, adanya usaha meredam kelompok-kelompok Islam, seperti FPI dan PA 212, bukan hanya karena mereka merupakan oposisi pemerintah yang bising, melainkan juga karena aktivitasnya yang mempertajam politik identitas justru berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri.
Akan tetapi, tentu kita paham, sekelumit analisis yang ada hanyalah hipotesis belaka. Gatot sendiri hanya merespons pasif saat ditanya perihal dirinya yang akan mendapatkan Bintang Mahaputera. Selain itu, Fahri dan Fadli yang telah mendapatkan bintang tanda jasa pada Agustus lalu nyatanya tetap berlaku kritis terhadap pemerintah.
Dengan demikian, seperti yang dikemukakan oleh Mahfud, pemberian penghargaan ini memang karena Gatot merupakan sosok yang memenuhi kualifikasi untuk mendapatkannya. (R53)