Seolah tidak terima seniornya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menerbitkan instruksi demo untuk memprotes KPK. Nyatanya, resistensi PB PMII tersebut, tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah pergerakan politik, melainkan juga memperlihatkan apa yang disebut sebagai slave morality atau moral budak – hal yang pernah diungkapkan oleh dari filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche.
PinterPolitik.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Menariknya, merespon hal tersebut, PB PMII menerbitkan instruksi aksi serentak kepada seluruh kadernya di daerah. Tujuannya untuk melantangkan protes besar-besaran terhadap KPK atas penetapan tersangka pada Imam Nahrawi.
Tidak main-main, berbagai isu dan dugaan dilempar untuk menjadi alasan dari aksi. Katakanlah isu adanya “Taliban” di tubuh KPK, nuansa penetapan tersangka yang sangat politis dan tebang pilih, dan yang paling sentimental adalah penargetan kader-kader Nahdlatul Ulama (NU).
“Jangan usik senior kami” – sepertinya adalah pre-teks di balik seruan aksi dari PB PMII. Namun, seruan itu justru membelah tubuh PMII sendiri. Berbagai Pengurus Cabang (PC) PMII secara tegas menolak instruksi dan mendukung proses hukum yang dilakukan KPK terhadap seniornya, Imam Nahrawi.
Setidaknya terdapat enam PC PMII yang menolak instruksi demo tersebut, yaitu Sleman, Depok, Semarang, Purworejo, Surakarta, dan Jember.
Fenomena instruksi demo PB PMII tidak hanya memperlihatkan resistensi atas gangguan luar (KPK) dan sikap protektif atas sesama kader PMII, melainkan juga menyimpan dimensi pergulatan rasionalitas dan moralitas.
Lantas, pergulatan rasionalitas dan moralitas seperti apa yang sekiranya terdapat dalam resistensi dan sikap protektif PB PMII tersebut?
Rasionalisasi Ad Hominem
Melihat instruksi demo serentak dari PB PMII untuk semua kadernya di daerah, mungkin akan membuat kita mengerutkan dahi dan bertanya: “Mengapa PB PMII berani menginstruksikan demo di tengah luapan aksi dukungan terhadap KPK?”
Secara politis, dapat dilihat bahwa keberanian tersebut berasal dari bargaining position PMII yang cukup kuat dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini terlihat dari setidaknya ada lima menteri dalam kabinet Presiden Jokowi yang merupakan kader-kader PMII – sekalipun beberapa tak lagi menjabat, misalnya mantan Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa dan Marwan Jafar yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Desa.
Bargaining position itu semakin terlihat dalam penunjukan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Menpora oleh Presiden Jokowi. Hanif juga adalah kader PMII.
Akan tetapi, apakah bargaining position yang cukup kuat dapat menjadi alasan di balik putusan yang mengancam citra organisasi? Sekiranya, mestilah terdapat rasionalisasi yang kuat atas putusan tersebut.
Kredonya, setiap putusan tentu berdasar pada pertimbangan atau pilihan rasional. Dalam kaidahnya, pilihan rasional menegaskan bahwa putusan harus didasarkan pada pripsip maksimalisasi utilitas (utility maximizing principle) – yang berarti sebuah putusan harus memilih opsi yang paling memuaskan preferensi sang agen pembuat putusan.
Sekarang pertanyannya, preferensi apa yang digunakan oleh sang agen, atau dalam konteks ini adalah PB PMII? Untuk menjawabnya, kita perlu melakukan sedikit analisa terkait kemungkinan terbesar dari penyebab dikeluarkannya instruksi tersebut.
Melihat rentetan peristiwanya, instruksi itu keluar segera setelah Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka. Fakta itu menunjukkan bahwa instruksi adalah reaksi dari hal tersebut. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa preferensi PB PMII kemungkinan besar pada Imam Nahrawi.
Preferensi pada tokoh tertentu ini kemudian yang dikenal sebagai rasionalisasi ad hominem. Rasionalisasi ad hominem adalah rasionalisasi yang bekerja dalam rangka untuk memaksimalkan utilitas pada tokoh yang dijadikan preferensi.
Pada konteks ini, instruksi tersebut bertujuan sebagai dukungan kepada Imam Nahrawi, yang sekaligus menunjukkan sikap protektif PB PMII terhadapnya.
Dalam terang rasionalisasi, hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, mengingat rasionalisasi bekerja berdasarkan preferensi apa yang digunakannya.
Identitas Praktis
Christine Korsgaard menjelaskan mengapa rasionalisasi ad hominem semacam itu dapat terjadi.
Bagi Korsgaard, agen – yang pada konteks ini PB PMII – memiliki struktur reflektif dalam sistem kognitifnya yang mendukung alasan rasional tertentu yang menjadi preferensinya – dan yang menjadi dasar atas struktur reflektif tersebut adalah apa yang disebut sebagai identitas praktis.
Identitas praktis sendiri dapat dipahami dalam dua makna. Pertama, sebagai kondisi partikular identitias seseorang, dan kedua, sebagai karakter umum yang melekat pada kemanusiaan seseorang.
Menurut Korsgaard, kewenangan rasionalitas dalam mendikte tindakan, bergeser dari fakta psikologis partikular ke identitas praktis sebagai karakter umum agen yang menjadi komitmen untuk melakukan tindakan.
Dengan demikian, dalam rasionalisasi ad hominem, dapat dipahami bahwa pendasaran dari refleksinya berdasar pada preferensi identitas, yang dalam konteks ini adalah identitas sebagai kader PMII.
Lebih lanjut, identitas praktis bahkan memaksa agen untuk bertindak mempertahankan rasa identitas yang telah menyatu dalam dirinya. Lebih lanjut, rasionalisasi ini kemudian melahirkan politik identitas.
Pada titik ini, instruksi PB PMII telah memperlihatkan eksklusivitas identitas yang membuatnya melihat identitas di luar dirinya yang mengancam – yang dalam konteks ini adalah KPK – sebagai identitas yang patut untuk dimusuhi. Hal ini memberikan penjelasan mengapa demo PMII di gedung KPK berjalan tidak kondusif.
Slave Morality
Penjelasan rasionalisasi ad hominem ataupun identitas praktis dari Korsgaard pada dasarnya merupakan penjelasan deskriptif atau terkait bagaimana cara kerja sesuatu hal.
Untuk memperjelas dan memperdalam pemahaman mengenai resistensi PB PMII terhadap penetapan tersangka Imam Nahrawi, dibutuhkan penjelasan yang menerangkan mengapa rasionalisasi ad hominem ataupun identitas praktis tersebut terjadi.
Rasionalisasi ad hominem ataupun identitas praktis tidak terjadi begitu saja. Keduanya butuh suatu dorongan moral yang kuat agar dapat bekerja dengan maksimal. Pada permasalahan ini, pelemparan isu Taliban ataupun tuduhan negatif lainnya atas KPK menjadi jawaban.
Pertanyaannya, bagaimana kedua variabel ini berkorelasi?
Untuk menjawabnya, kita butuh meminjam konsep slave morality atau moralitas budak dari filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche.
Moralitas budak adalah konsep yang cukup menohok dari Nietzsche. Seperti namanya, konsep ini berasal dari pergulatan budak dan tuannya. Di sisi lain, Nietzsche juga menjelaskan mengenai konsep master morality atau moralitas tuan.
Massa PMII Kembali Demo Di KPK, Tuntutannya Masih Sama #KlikRMOLID #RepublikMerdeka https://t.co/y3S79tbrzO
— Republik Merdeka (@rmol_id) September 23, 2019
Moralitas budak adalah devaluasi dari moralitas tuan. Seperti namanya, moralitas tuan adalah moral mereka yang berkuasa, mereka yang memiliki keinginan kuat dan mandiri. Moralitas budak pada dasarnya ingin menjadi tuan-tuan baru, akan tetapi mereka sadar akan ketidakmampuan ataupun kelemahannya.
Yang menjadi masalah adalah kesadaran tersebut tidak dijadikan motivasi untuk menjadi individu yang berkemauan kuat, melainkan dijadikan alasan untuk merasionalisasi penindasan, sehingga menginginkan konsep keadilan dan kesetaraan (egaliter). Ini membuat moralitas budak dapat diringkas sebagai moralitas pembalik nilai.
Untuk memperjelas, perhatikan ilustrasi berikut: ketika X mampu membeli mobil Ferrari, Y akan iri dan ingin membeli mobil Ferrari juga.
Akan tetapi, Y tidak memiliki sumber daya yang sama dengan Y, sehingga Y justru membalik nilai dengan mengatakan X telah berlaku riya dan sombong. Di sini, kemudian Y menuntut kesetaraan bahwa X tidak perlu memamerkan kekayaannya.
Pada konteks instruksi demo PB PMII yang melakukan rasionalisasi ad hominem dan identitas praktis, mereka melontarkan berbagai isu dan tuduhan negatif sebagai upaya pembalik nilai.
Alih-alih mengintrospeksi diri terkait kadernya yang melakukan dugaan korupsi, justru terjadi pembalikan nilai dengan menyebut KPK tebang pilih, penangkapan bersifat politis, adanya Taliban dalam tubuh KPK, ataupun penargetan kader-kader NU.
Sejarah sudah terlanjur mencatat, sekarang adalah persoalan apakah PB PMII dapat berlapang dada melonggarkan sedikit kesadaran akan bargaining position-nya yang cukup kuat, sehingga mampu keluar dari moralitas budak menuju moralias tuan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.