Dengan merebaknya virus Corona (Covid-19) ke ratusan negara sehingga membuat aktivitas ekonomi menjadi lumpuh, elemen masyarakat di berbagai negara kemudian menuntut Tiongkok untuk membayar ganti rugi karena menilai negeri Tirai Bambu gagal untuk mencegah Covid-19 menyebar ke berbagai negara. Namun, mungkinkah terdapat sentimen rasial dan intrik politik di balik gugatan tersebut?
PinterPolitik.com
Semenjak manusia mengenal konsep kepemilikan akan sesuatu, konsep hukum untuk menjamin hak milik tersebut kemudian dibuat. Saat ini, kita tentu akrab dengan simpulan bahwa ketika seseorang memberikan kerugian, maka ia layak membayar ganti rugi yang setimpal. Tidak hanya terumuskan dalam hukum tertulis, prinsip ganti rugi semacam itu telah menjadi konsensus kolektif yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Kini, prinsip ganti tersebut tengah digalakkan oleh elemen masyarakat di berbagai negara terhadap Tiongkok karena menilai penyebaran virus Corona (Covid-19) yang telah merongrong ratusan negara terjadi karena negeri Tirai Bambu gagal untuk mencegah penyebarannya. Selain itu, negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut juga diduga telah menyembunyikan informasi terkait Covid-19, sehingga berbagai negara tidak memiliki langkah preventif yang memadai.
Tidak tanggung-tanggung, Tiongkok dituntut untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 6 triliun atau sekitar Rp 90 ribu triliun. Besarnya tuntutan tersebut sepertinya cukup beralasan, menimbang pada besarnya skala kerusakan ekonomi yang diakibatkan oleh Covid-19. Merujuk pada penularan Covid-19 yang sangat mudah dan cepat, diberlakukannya kebijakan lockdown (karantina wilayah) dan physical distancing di berbagai negara telah membuat lumpuhnya aktivitas ekonomi.
International Monetary Fund (IMF) bahkan menyebut krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 adalah yang terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression). Jika Depresi Besar yang terjadi pada 2009 mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 0,1 persen, maka krisis ekonomi akibat Covid-19 yang disebut sebagai Great Lockdown dapat menurunkan PDB global sebesar 3 persen.
Merespons tuntutan yang diinisiasi oleh masyarakat Amerika Serikat (AS) tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang menyebutkan bahwa pada 2009 lalu, virus H1N1 dari AS juga menyebar di 214 negara dan mengakibatkan 200 ribu korban jiwa. Lantas pertanyaannya, apakah AS diminta ganti rugi atas hal tersebut?
Kemudian, sebuah pernyataan menarik dari Gubernur New York Andrew Cuomo memberikan kita sudut pandang yang berbeda atas tudingan Tiongkok menjadi “tersangka” atas penyebaran Covid-19 di AS. Menurut Cuomo, besar kemungkinan penyebaran Covid-19 di AS justru berasal dari Eropa karena adanya 2,2 juta penerbangan dari Eropa ke New York yang terjadi pada Januari dan Februari.
Tidak hanya itu, Cuomo bahkan menyalahkan Presiden AS Donald Trump atas penyebaran Covid-19 di AS karena terlambat memberlakukan larangan penerbangan.
Merujuk pada Geng Shuang dan Cuomo, mungkinkah gugatan class action yang diinisiasi oleh masyarakat AS tersebut merupakan strategi “kambing hitam” atas Tiongkok?
Gugatan yang Tidak Mungkin?
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Geng Shuang, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa pada 2009 tidak terjadi tuntutan atas AS karena menyebarnya virus H1N1. Pun begitu dengan merujuk pada pernyataan Cuomo, mengapa masyarakat AS justru tidak menuntut Trump yang terlambat memberlakukan larangan penerbangan sehingga Covid-19 menyebar di AS, khususnya di New York.
Di luar keganjilan gugatan tersebut, secara teknis, gugatan class action terhadap Tiongkok juga tidak mungkin untuk dilakukan. Stephen L. Carter dalam tulisannya No, China Can’t Be Sued Over Coronavirus menyebutkan bahwa, kendatipun benar Tiongkok telah menutup informasi tentang Covid-19 dan gagal mencegahnya menular ke berbagai negara, gugatan ganti rugi tersebut tidak dapat dilakukan karena negeri Tirai Bambu dilindungi oleh doktrin sovereign immunity.
Sovereign immunity adalah doktrin hukum yang mulai berlaku di AS pada tahun 1976 dengan nama Foreign Sovereign Immunities Act (FSIA). FSIA menyatakan bahwa negara-negara asing menikmati kekebalan dari yurisdiksi sipil pengadilan AS yang membuatnya kebal dari gugatan sipil.
Dengan kata lain, gugatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di Missouri, Florida, ataupun Las Vegas tersebut tidak dapat dilakukan karena Tiongkok selaku pihak asing dilindungi oleh aturan hukum yang berlaku di AS.
Chimène Keitner dalam tulisannya Don’t Bother Suing China for Coronavirus menyebutkan keheranan tersendiri terhadap firma hukum AS yang melayangkan gugatan tersebut karena tidak mempertimbangkan doktrin sovereign immunity atau FSIA yang berlaku di AS.
Secara tidak langsung, Keitner menyebut bahwa tuntutan tersebut kemungkinan merupakan bentuk upaya “kambing hitam” terhadap Tiongkok. Lanjutnya, upaya kambing hitam tersebut telah memicu xenofobia dan rasisme terhadap orang-orang Asia.
Senada, Lily Kuo dan Helen Davidson dalam tulisannya ‘They See My Blue Eyes then Jump Back’ – China Sees a New Wave of Xenophobia juga menyebutkan bahwa Covid-19 telah menciptakan gelombang xenofobia yang terjadi di berbagai tempat terhadap orang Tiongkok.
Dengan demikian, boleh jadi tuntutan tersebut merupakan bagian dari Xenofobia dan rasisme yang terjadi, sehingga Tiongkok ingin dijadikan pesakitan atas pandemi Covid-19. Tidak hanya masyarakat AS, para petinggi AS seperti Trump juga disebut memperparah xenofobia dan rasisme terhadap Tiongkok karena menyebut Covid-19 sebagai “virus China”.
AS Balikkan Keadaan?
Tuntutan tersebut tidak hanya ganjil karena seolah tidak mempertimbangkan aturan hukum yang ada, melainkan juga sepertinya terdapat kepentingan politik AS, khususnya Trump di baliknya.
Pertama, jika alasan tuntutan adalah skala kerugian, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa Iran, Italia atau Spanyol yang notabene terdampak hebat oleh Covid-19 justru tidak terlihat melakukan tuntutan.
Selain AS, yang melakukan tuntutan adalah Israel, Inggris, Australia, dan Jerman. Menariknya, negara-negara tersebut disebut memiliki hubungan yang baik dengan AS. Dengan kata lain, mungkinkah terdapat semacam kesepakatan tertentu di antara negara-negara tersebut?
Kedua, dengan parahnya kondisi AS akibat Covid-19, berbagai pihak menilai AS telah gagal dalam ujian kepemimpinan karena tidak mampu memimpin dunia dalam menghadapi pandemi tersebut.
Namun, di sisi lain, Tiongkok justru dinilai telah melalui situasi krisis Covid-19, yang mana saat ini negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut disebut tengah melakukan diplomasi masker dengan memberikan bantuan masker ke berbagai negara di Eropa.
Artinya, jika diplomasi masker tersebut berhasil, itu akan membuat posisi Tiongkok akan lebih baik dari AS, sekaligus memperbaiki citranya di dunia internasional.
Merujuk pada dua hal tersebut, mungkin dapat disimpulkan bahwa AS sepertinya tengah ingin mengembalikan citranya sebagai pemimpin internasional dengan menginisiasi gugatan terhadap Tiongkok. Selain itu, strategi kambing hitam tersebut juga sepertinya untuk memukul balik diplomasi masker yang dilakukan oleh Tiongkok.
Apalagi, Trump yang tengah bertanding di Pilpres AS juga perlu memperbaiki citranya yang memburuk karena dinilai gagal dalam menangangi Covid-19 di AS. Dengan kata lain, strategi menempatkan Tiongkok sebagai kambing hitam, sepertinya juga merupakan strategi Trump untuk mendulang simpati publik sebagai modal dalam Pilpres AS.
Melanie Hart dan Michael Fuchs dalam tulisannya Trump’s Coronavirus Survival Strategy: Blame China juga menyebutkan, alih-alih membenahi upaya penanggulangan Covid-19 di AS, Trump justru mengkampanyekan agenda untuk menjadikan Tiongkok sebagai kambing hitam atas pandemi tersebut.
Sedikit berspekulasi, dengan tuntutan tersebut diinisiasi oleh masyarakat AS, terdapat kemungkinan bahwa itu merupakan bagian dari kampanye Trump dalam menjadikan Tiongkok sebagai kambing hitam atas kritisnya kondisi AS akibat Covid-19.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami bahwa di luar benar tidaknya tuntutan terhadap Tiongkok adalah bagian dari kampanye Trump, secara hukum tuntutan tersebut tidak dapat dilakukan. Akan tetapi, tentu disayangkan, alih-alih membangun sinergi antar negara untuk memerangi pandemi Covid-19, strategi kambing hitam semacam itu justru menjadi tontonan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.