Keputusan menggratiskan Jembatan Suramadu menuai polemik. Pemerintah beralasan bahwa hal itu dilakukan untuk mendorong kemajuan ekonomi masyarakat Madura, namun bagi oposisi, kebijakan tersebut dijadikan bahan pencitraan untuk meraup suara Masyarakat Madura.
Pinterpolitik.com
“Every role you do is kind of a side of yourself. That’s why they give you the part.”
:: John Cusack ::
[dropcap]K[/dropcap]ontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) kali ini cocok disematkan dengan istilah duel klasik antara Barcelona versus Real Madrid di La Liga, el clasico. Sebab, kedua kandidat bukan kali pertama bertarung di Pilpres. Selain itu, tensi panas terus meningkat dari waktu ke waktu.
Hal ini terlihat dari panasnya persaingan dari kalangan elite hingga akar rumput. Riuhnya beragam isu yang bertebaran juga mencerminkan kondisi itu. Salah satu isu yang menjadi nuansa politik adalah terkait dengan penggratisan biaya tol Jembatan Suramadu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu mengubah status Jembatan Suramadu dari jembatan tol menjadi non-tol biasa. Kebijakan ini menuai pro kontra, terutama karena dikaitkan dengan Pilpres 2019.
Bagi petahana pembebasan biaya Jembatan Suramadu untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di pulau Madura yang dianggap masih tertinggal apabila dibandingkan daerah lainnya di Jawa Timur.
Sementara bagi oposisi, menuduh kebijakan itu sebagai pencitraan calon presiden Jokowi demi meraup suara masyarakat Madura di pilpres tahun depan.
Dalam konteks demokrasi, sering kebijakan pemerintah dikatikan dengan politik elektoral, terlebih sang presiden adalah calon petahana. Memang, tidak ada yang salah kebijakan pemerintah yang pro rakyat, namun yang menjadi persoalan adalah mengapa keputusan tersebut lahir ketika tahun-tahun politik tiba.
Lantas, apakah keputusan Jokowi terkait dengan jembatan Suramadu adalah bagian dari strategi kampanye? Serta keuntungan seperti apa yang akan didapatkan oleh Jokowi?
Tol Suramadu Gratis, Motif Ekonomi Atau Pilpres?
Keputusan Jokowi yang membebaskan tarif tol jembatan Suramadu barangkali tidak akan bermakna politik apapun, apabila dilakukan dua atau tiga tahun lalu.
Tapi situasinya menjadi berbeda ketika itu terjadi di masa kampanye Pilpres. Bagi beberapa pihak, khususnya kubu oposisi, keputusan itu dianggap sebagai pencitraan Jokowi, sebab secara sederhana Madura bukanlah basis Jokowi. Hal itu dapat dilihat dari pilpres tahun 2014 lalu, fakta menunjukkan bahwa Jokowi kalah mutlak di empat kabupaten Pulau Garam tersebut.
Rinciannya, di Kabupaten Bangkalan Prabowo yang kala itu bersandingan dengan Hatta Rajasa unggul dengan angka sekitar 81 persen, di Pamekasan di atas 73 persen, di Sumenep Prabowo-Hatta meraup 57 persen suara, dan di Sampang pasangan itu unggul dengan 74 persen suara.
Meskipun demikian, jika dilihat secara provinsi yaitu Jawa Timur, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla unggul dengan persentase 53,17 persen berbanding dengan 46,83 persen.
Di lain pihak, tuduhan oposisi yang menggangap bahwa kebijakan Jokowi adalah untuk kepentingan Pilpres dibantah oleh kubu petahana. Tim pemenangan Jokowi menyebut tuduhan itu terlalu berlebihan karena didasari pertimbangan politik.
Menurut Jokowi, Jembatan Suramadu itu tidak banyak memberi pemasukan kepada Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Jembatan Suramadu hanya berkontribusi memberi pemasukan ke negara sebesar Rp 120 miliar per tahun, bahkan sejak beroperasinya tahun 2009, sumbangsih Jembatan Suramadu hanya Rp 1,5 triliun, angka yang relatif kecil dibanding dengan biaya pembangunannya sebesar Rp 5 triliun.
Selain itu, Jokowi menyebut kebijakan pemerintah menggratiskan tarif tol Jembatan Suramadu sebagai bagian dari upaya untuk memajukan perekonomian Madura yang masih tertinggal dibanding wilayah lainnya di Jawa Timur.
Pembebasan biaya Jembatan Suramadu ini juga diharapkan bisa menarik investasi, karena pembebasan biaya ini dapat menurunkan tarif logistik yang bisa menguntungkan investor.
Hal ini senada dengan pendapat dari peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati yang menyebut bahwa tuduhan oposisi berlebihan. Sebab kebijakan tersebut sudah dirancang sejak lama dan memiliki tujuan pro rakyat.
Konsen pemerintah adalah memperlancar arus barang dan jasa dari Madura ke Surabaya dan sebaliknya. Lebih lanjut Jati menilai bahwa selama ini ekonomi di daerah timur Pulau Jawa itu terlalu condong ke Surabaya.
Meskipun demikian, isu yang sudah masuk dalam lokus politik ini mau tidak mau menjadi komoditas politik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pada Pilpres 2014 Jokowi kalah di Madura, maka bukan sesuatu yang berlebihan jika menyebut Jokowi memiliki kepentingan untuk memenangkan di pulau sejuta langgar tersebut.
Dilihat secara lebih luas, wilayah Jawa Timur cukup unik. Merujuk pada Pilgub 2018, persebaran kekuatan politik pada saat Pilgub tidak segaris dengan kekuatan koalisi Pilpres.
Selain itu, dihitung secara matematis, Jawa Timur bisa menjadi penentu, dengan melihat dari aspek jumlah pemilih dan aspek persebaran peta kekuatan politik di Jawa.
Apalagi, seperti yang sudah diketahui, upaya Jokowi untuk memenangkan Pilpres kali ini adalah dengan menggunakan kepala daerah.
Penggunaan kepala daerah sebagai daya gedor misalnya terlihat dalam tulisan The Battle of Javanesia, yang menyebutkan bahwa adanya intensi Jokowi mendukung calon kepala daerah pada masa Pilgub – Ridwan Kamil untuk Jawa Barat, Ganjar Pranowo untuk Jawa Tengah, dan Khofifah Indar Parawansa untuk Jawa Timur – tinggi terutama di wilayah dengan tingkat populasi tertinggi.
Tiga nama yang didukung oleh Jokowi tersebut memenangkan kontestasi Pilgub di daerahnya masing-masing. Khususnya bagi Khofifah dengan Jawa Timurnya, ia memiliki peran untuk mengamankan suara Jokowi khususnya di wilayah Madura.
Pengaruh Khofifah-Soekarwo
Pada Pilpres kali ini, Jokowi akan menerapkan teknik “sapu bersih” terutama di wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Prabowo. Oleh karenanya, Madura menjadi perhitungan tersendiri agar tidak menimbulkan kecacatan perolehan suara.
Namun di lain pihak, teknik itu akan sedikit terganjal sebab ada Partai Demokrat di kubu Prabowo.
Sebab, Demokrat memiliki pengaruh yang cukup kuat di Jawa Timur, apalagi Madura. Seperti diketahui bahwa pembangunan serta pengesahan Jembatan Suramadu ada pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski demikian, hal ini tergantung pada upaya Demokrat untuk mempromosikan Prabowo di daerah tersebut. Beberapa pihak menilai bahwa Demokrat tidak jor-joran dalam mendukung Prabowo.
Belum utuhnya dukungan Demokrat tersebut membuat Jokowi akan berharap banyak pada kinerja gubernur Jawa Timur yang baru untuk mengkonsolidasikan dukungan di akar rumput.
Secara khusus, Jokowi memiliki Soekarwo, ketua DPP Partai Demokrat Jawa Timur yang disebut-sebut menyeberang mendukung Jokowi. Pria yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur selama dua periode itu dikenal memiliki pengaruh signifikan di timur Pulau Jawa tersebut.
2016 mmang prnah di usul kan sma pak de karwo. Tpi tdak ada respon dri pemerintah,, la kok tiba" dket ama pilpres die malah gratisin. Jdikan rakyat bertnya" .apa mau cari suara di Madura kita kan gak tau. .klo kita pakai logika yg pstinya bgitu
— Pak kriwil (@Kriwil90) October 29, 2018
Hal itu juga berlaku di Pulau Madura. Jika melihat pada pemilihan gubernur Jawa Timur di Madura, nama Khofifah dan Soekarwo memiliki pengaruh. Soekarwo dan Khofifah adalah representasi kalangan kultur santri dan nasionalis yang menjadi bagian dari budaya Jawa Timur.
Secara kultural, warga Madura masih berpegang teguh pada nilai relijiusitas. Ritus sosial selalu dikaitkan dengan spirit keagamaan dengan kiai sebagai aktor utama. Dinamika sosial ini membuat agama memiliki akar dalam struktur sosial dan kultural masyarakat sehingga mengalami proses penyatuan identitas.
Begitu pula dengan kiai, dengan kapasitas dan kemampuannya dalam menafsirkan wacana agama mampu menghegemoni struktur terdalam di ruang batin, pikiran dan perilaku masyarakat. Media-media keagamaan yang bertebaran di Madura dengan sendirinya membuat kiai semakin signifikan dalam dinamika masyarakat Madura.
Hal itu juga berlaku dalam kehidupan sosial politik. Masih banyak warga Madura yang taqlid terhadap kiai. Sehingga apa yang dikatakan oleh kiai maka akan dituruti oleh masyarakat, termasuk pilihan politik.
Kondisi ini menguntungkan Khofifah dan Soekarwo, dengan posisi – baik secara formal maupun kultural – keduanya punya jaringan kuat di birokrasi, kaum nasionalis, maupun para kaia sepuh di Jawa Timur.
Kontrol Instrumen Negara
Sejarawan dari Universitas Washington Allan Lichtman menyebutkan bahwa seseorang petahana memiliki beberapa keunggulan dibandingkan lawan politiknya.
Keunggulan itu di antaranya adalah pengenalan atas nama, perhatian secara nasional, terkait dengan pendanaan kampanye, kontrol terhadap instrumen negara, pengalaman kampanye di Pilpres sebelumnya, dan pemilih yang memiliki kecenderungan enggan atau malas untuk memilih orang lain.
Penggratisan Jembatan Suramadu bisa dibilang masuk dalam keunggulan Jokowi untuk mengontrol instrumen negara. Posisi Jokowi sebagai presiden tentu memudahkan dirinya untuk memilih kebijakan mana yang dapat menguntungkan dirinya untuk politik elektoral.
Madura adalah basis di mana Jokowi “keok” terhadap Prabowo pada Pilpres 2014. Dengan menggunakan Jembatan Suramadu maka sedikit banyak akan memberikan dampak bagi Jokowi di mata warga Madura.
Hal itu misalnya seperti testimoni oleh Ikatan Keluarga Madura (IKAMA), mereka menyambut baik keputusan Jokowi dan menyebut bahwa keputusan itu akan berdampak positif bagi masyarakat Madura.
Sebelumnya Jokowi sudah mengatur strategi sedemikian rupa untuk merengkuh Jawa Barat, https://pinterpolitik.com/strategi-jokowi-rebut-jabar/ maklum wilayah tersebut juga salah satu tempat kekalahan Jokowi pada 2014 lalu.
Dengan teknik seperti ini, Jokowi nampaknya memainkan strategi “sapu bersih” khususnya di wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Prabowo.
Bisa jadi, keputusan Jokowi untuk menggratiskan Jembatan Suramadu adalah langkah yang tepat dan dipandang baik oleh masyarakat Madura. Hal itu tentu saja menjadi modal positif bagi Jokowi di bilik suara.
Melalui keputusan tersebut, mungkin saja Jokowi serupa dengan yang disebut oleh John Cusack di awal tulisan, bahwa langkah-langkah yang diputuskan oleh dirinya, pada akhirnya akan mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Jokowi. (A37)