HomeNalar PolitikDi Balik Grace Natalie

Di Balik Grace Natalie

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie dinilai membawa suasana baru di dunia perpolitikan Indonesia. Ia sering mengutarakan kritik terhadap korupsi dan mahar politik yang terjadi di partai-partai lama.


Pinterpolitik.com

Indonesia kedatangan penantang baru di dunia politik dengan kehadiran Grace dan PSI. Eksistensi PSI di Indonesia semakin terdengar terutama lewat berbagai pemberitaan media. PSI dinilai membawa berbagai perubahan untuk kemajuan Indonesia.

PSI sering kali menegaskan bahwa mereka adalah partai yang berisi kaum muda. Hal tersebut bisa dilihat dari kepengurusan partai yang berisi anak-anak muda. Grace sendiri merupakan Ketua Umum partai politik termuda di Indonesia.

Berdasarkan pengumuman KPU, PSI yang baru didirikan tiga tahun lalu ternyata mampu menjadi peserta pemilihan umum (pemilu) 2019.  Grace menyatakan bahwa PSI mampu melewati syarat mahaberat yang dibuat oleh KPU.

“Di Balik Grace Natalie”
PSI saat pengambilan nomor urut di KPU (Foto : Istimewa)

Kehadiran PSI di pemilu 2019 akan memberikan alternatif pilihan kepada masyarakat yang sudah jenuh dengan partai politik mainstream, apalagi jika berkaca pada usaha PSI yang menggaet generasi muda yang masih mempertahankan idealismenya. Pada narasinya PSI menganggap dirinya sebagai partai baru yang tidak tersandera oleh klientalisme, rekam jejak, beban sejarah dan citra buruk seperti partai politik lainnya.

Di sisi lain, kedatangan PSI memberikan banyak tanda tanya terkait latar belakang partai itu, termasuk juga sosok Grace. Apalagi banyak partai baru seperti Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya dan Partai Garuda yang digawangi oleh tokoh-tokoh mainstream yang cukup terkenal memiliki modal finansial dan politik macam Hary Tanoesoedibjo hingga Tommy Soeharto.

Adakah sosok di belakang PSI dan Grace yang menyokong perkembangan PSI? Lalu akan seperti apakah kiprah PSI pada pemilu 2019.

PSI Anti Korupsi

PSI terbentuk pada tanggal 16 November 2014, dan memiliki banyak platform kebijakan untuk kemajuan Indonesia, mulai dari ekonomi dan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, energi dan sumber daya alam dan lain sebagainya.

Pernyataan-pernyataan dari beberapa kader PSI juga kadang menggelitik beberapa politisi senior di partai lain, misalnya ketika Grace mengomentari persoalan korupsi dan mahar politik yang marak terjadi di Indonesia. Ia menyebut ada mahar yang harus diberikan kepada partai oleh calon yang tertarik untuk terjun ke dunia politik.

Kemudian, ada juga pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni yang menyebut jika ingin melihat Operasi Tangkap Tangan (OTT) lebih banyak lagi, maka masyarakat dipersilahkan untuk memilih partai lama. Kritik pedas yang disampaikan oleh Grace dan Raja Juli ini memang tidak main-main terhadap para seniornya, bahkan sampai membuat Ketua Hanura Oesman Sapta Oedang (OSO) “baper”.

PSI mengklaim apa yang dikatakan oleh petinggi partai sesuai dengan tindakan partai tersebut. Misalnya saja, ketika berbicara tentang pengelolaan keuangan yang bersih, partai berlambang mawar itu melakukan penggalangan dana dan meminta sumbangan kepada publik untuk pembiayaan partai. PSI juga mempublikasikan laporan pemasukan dan pengeluaran partai, walaupun belum secara terbuka menyebutkan sumber-sumbernya.

Hal ini merupakan upaya PSI untuk menghindari kepentingan kelompok yang menginginkan take and give terhadap partai. Apalagi kepentingan-kepentingan tersebut dianggap sering membuat kader partai politik terjerat korupsi.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Tentunya sumbangan ini memaksimalkan kepentingan publik untuk ikut serta mengarahkan kebijakan partai. Grace sendiri mengatakan bahwa entah itu donatur yang menyumbang Rp 1 miliar maupun Rp 25 ribu, semuanya sama-sama memiliki satu suara. Namun apakah benar seperti itu?

“Di Balik Grace Natalie”
Grace Natalie (Foto : Istimewa)

Mencari “Peternak” Grace

Pertanyaan yang umum muncul di masyarakat adalah apakah PSI benar-benar murni menjadi partai yang digerakan oleh grassroot? Atau jangan-jangan partai ini juga mengikuti pola partai politik di Indonesia yang umumnya menjadi boneka konglomerasi bisnis?

Grace Natalie sendiri adalah mantan news anchor dan wartawan berpengalaman di berbagai stasiun televisi, mulai dari SCTV, ANTV dan TVOne. Ada beberapa pihak yang menyebut atas dasar latar belakang Grace tersebut, membuat PSI memiliki kedekatan dengan para pebisnis media, misalnya dengan pemilik SCTV, Eddy Kusnadi Sariaatmadja. Namun, belum ada jejak yang mengarah ke titik tersebut.

Jejak hubungan politik lain sangat mungkin terjadi melalui jalaur bisnis. Grace, terutama suaminya Kevin Osmond, merupakan pengusaha startup yang cukup sukses di Indonesia. Beberapa startup seperti Bouncity, Tiket, dan Weekend Inc merupakan karya Kevin Osmond, selain  aplikasi Printerous yang paling terkenal.

Link bisnis Kevin mungkin saja ikut membantu Grace dan PSI, apalagi Kevin adalah lulusan Universitas Bina Nusantara (Binus), yang nota bene mencatat banyak pengusaha muda startup sukses, macam Tokopedia hingga Kaskus. Hal ini juga beralasan mengingat Grace pernah menyebut para pendukung PSI berasal dari kelompok pengusaha menengah.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik akan sulit bergerak tanpa dukungan dana. Pada awal pendirian PSI, Grace dan pimpinan PSI lainnya bertemu dengan sejumlah pengusaha. Grace menyatakan hanya menggaet perusahaan yang usahanya “putih” – istilah untuk usaha yang bersih dan tidak bermasalah.

Hal lain yang cukup menarik adalah terkait iklan di televisi. PSI pernah menyatakan tidak akan melakukan iklan di televisi karena tidak memiliki dana yang cukup, apalagi iklan televisi membutuhkan dana yang besar. Namun, faktanya partai tersebut adalah yang paling sering beriklan di televisi selain Perindo.

“Di Balik Grace Natalie”
Iklan PSI di televisi (Foto : Istimewa)

Artinya, ada dukungan pendanaan yang besar bagi PSI, entah itu dari pengusaha media atau yang lainnya yang membuat partai tersebut mampu beriklan di televisi. Mungkinkah dari media yang menyiarkan iklan tersebut? Boleh jadi demikian. Pasalnya, tokoh media semisal Wishnutama dari NET TV pernah menyatakan akan mendukung PSI jika partai tersebut konsisten. Namun, dukungan tersebut tentu saja tidak terbatas, mengingat siapa pun bisa beriklan di televisi asalkan mempunyai modal yang besar.

Terkait persoalan pendanaan, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, menyatakan bahwa PSI memiliki financial capital yang tentu saja berasal dari dukungan bisnis, karena apabila dikalkulasikan, dana yang dibutuhkan untuk mendirikan partai politik dan bahkan untuk lolos hingga menjadi peserta pemilu tentu saja luar biasa besarnya.

Selain kemungkinan-kemungkinan tersebut, di beberapa pemberitaan sempat mencuat nama politisi sukses asal Sumatera Barat, Jeffry Geovanie sebagai salah satu donator PSI. Sebelumnya Jeffry pernah menjadi kader Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar dan Nasional Demokrat (Nasdem). Saat ini ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Sumatera Barat. Dukungan Jeffry membuatnya tercatat sebagai Pembina Utama PSI saat ini dan digadang-gadang menjadi calon anggota DPR fraksi PSI dari Dapil Sumatera Barat.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Apakah hanya dari pengusaha menengah? Nyatanya di beberapa media juga disebutkan bahwa saat PSI didirikan, ada grup konglomerasi besar yang memberikan pendanaan hingga ratusan miliar untuk partai tersebut. Grup konglomerasi itu disebut ingin membawa perubahan dan menghilangkan nuansa SARA dari pentas politik nasional. Walaupun demikian, belum ada pemberitaan yang secara terbuka menyebutkan nama grup konglomerasi bisnis tersebut.

Jika demikian, siapa pendana utama PSI? Masih sulit untuk menebak-nebak ke arah sana. Yang pasti, partai politik di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri tanpa sosok pemodal di belakangnya. Jika hal tersebut berlaku juga untuk PSI, maka bisa dipastikan baik PSI maupun Grace dalam segala kapasitas politiknya, berdiri mewakili konglomerasi bisnis tertentu, sekalipun kepentingan politik yang dibawa mungkin saja tidak berhubungan langsung dengan persoalan bisnis.

Grace pernah mengatakan bahwa partainya akan membuka persoalan pendanaan itu suatu saat nanti. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu apa yang akan dikatakan oleh mantan pembaca berita itu nanti.

Di Balik Grace Natalie

Ramalan PSI di Pemilu 2019

Apa yang menjadi misi Grace dan PSI sebenarnya dapat dikaitkan dengan teori transformational leadership yang diungkapkan oleh seorang sejarahwan Amerika Serikat sekaligus ilmuwan politik James Macgregor. Transformational leadership didefinisikan sebagai pendekatan kepemimpinan yang menyebabkan perubahan pada individu dan sistem sosial.

Karena bentuknya yang ideal akhirnya tercipta perubahan yang berharga dan positif kepada pengikutnya dengan tujuan mengembangkan para pengikut tersebut menjadi pemimpin. Konsep transformational leadership meningkatkan motivasi, moral dan kinerja pengikut melalui berbagai mekanisme.

Hal tersebut sangat dekat apabila dikaitkan dengan Grace yang mendambakan untuk menuntun kader-kader PSI membawa perubahan di Indonesia seperti yang ia jelaskan pada pidatonya di berbagai kesempatan.

Namun, PSI masih perlu terus berbenah. Apalagi, elektabilitas partai itu masih cukup rendah jika dibandingkan partai politik lainnya. Survei popularitas partai politik yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) soal orientasi politik generasi milenial menempatkan PSI di posisi paling akhir. Menurut survei tersebut, elektabilitas PSI hanya mencapai 2 persen.

Padahal ambang batas parlemen mencapai 4 persen, dan jika PSI ingin melenggang ke DPR, tentu saja partai itu perlu berusaha lebih keras, apalagi dengan kondisi partai yang jumlahnya makin banyak saat ini. Elektabilitas 2 persen tentu saja adalah ancaman nyata untuk PSI.

Pada akhirnya, siapa pun kekuatan bisnis di balik partai ini, PSI harus mampu membuktikan diri layak ada di DPR atau pemerintahan. Gagasan perubahan saja tidak cukup untuk membuat sebuah partai politik bertahan. Modal finansial nyatanya memang mendukung posisi politik partai.

Jadi, siapa pun di belakang PSI, pasti punya kekuatan yang cukup besar sehingga mampu membuat seorang Grace Natalie mengkritik KPU dan partai politik lain. Bukan begitu? (L15)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Narkoba, Bertemu Lawan Baru!

Indonesia dianggap sebagai surga bagi peredaran narkoba internasional. Adanya permintaan yang tinggi, harga yang kompetitif dan hukum yang bisa dibeli menjadi alasan mengapa gembong...

IMF Rindu Indonesia?

Structural Adjusment Program (SAP) yang ditawarkan International Monetary Fund (IMF) kepada Soeharto pada 1997, dinilai memperburuk perekonomian Indonesia. Kedatangan Direktur IMF Christine Lagarde ke...

Novel, Berakhir Seperti Munir?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam mengusut tuntas kasus Novel Baswedan. Beberapa pihak meragukan bahwa pembentukan TGPF...